Pada tahun 2017, telah diselenggarakan 101 pilkada serentak di tujuh Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota. Tahun 2018 juga telah diramaikan pesta yang sama dengan 171 daerah yang terdiri dari 17 Provinsi, 49 Kota dan 115 Kabupaten. Selanjutnya tahun 2019 akan dihelat pesta demoksrasi terbesar yakni Pilpres 2019. Pasangan yang akan saling beradu program kerja ini adalah Bapak Joko Widodo berpasangan KH. Ma’ruf Amin dan Bapak Prabowo Subianto berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno.
Nampaknya kita harus tetap waspada dengan hal-hal yang dapat mengurangi kesuksesan Pilpres yang akan dilaksanakan. Sikap waspada patut menjadi perhatian agar meminimalisir gugatan sengketa dan pelanggaran selama masa Pilpres. Etika kampanye, manipulasi data, hoaks, money politic, coblos ganda dan pelanggaran-pelanggaran lainnya bisa saja terjadi dan berimbas terhadap berkurangnya sikap saling percaya sesama anak bangsa.
Pilpres 2019 merupakan pesta demokrasi yang memberi ruang kepada setiap warga negara wajib pilih untuk memilih Presiden yang terbaik menurut pandangan mereka masing-masing. Efek yang dilahirkan oleh Pilpres 2019 mampu menjadi media pembelajaran bagi masyarakat untuk bijak melihat dinamika perpolitikan di Indonesia. Pilpres sebagai arena pertarungan dan adu gagasan bagi calon pemimpin bangsa ini.
Tentunya kita mengharapkan nilai positif dari pesta demokrasi ini dapat terukur secara realistis mengingat suhu perpolitikan di setiap daerah mengalami peningkatan dari suhu adem menjadi memanas.
Pemuda adalah aset yang paling berharga yang harus dididik secara matang dalam menjaga kelangsungan bernegara yang berbudaya, religius dan bermartabat. Tugas pemuda adalah belajar mempersiapkan diri sebagai generasi penyambung estafet kepemimpinan saat yang akan datang.
Wajah Indonesia ke depan dapat dilihat sejauh mana pemuda diberdayakan dan diedukasi saat ini. Lalu apa tugas pemuda dalam menyikapi pesta demokrasi yang tidak lama lagi dihelat ini?
Pemuda membutuhkan edukasi dalam mengenal identitas dirinya sendiri dan identitas budaya di mana pemuda mengabdi. Pendidikan budaya, agama dan politik adalah pendidikan awal yang harus ditanamkan agar benar-benar menjadi pemuda ideal.
Indonesia patut bersyukur karena masih memiliki sistem sosial yang kental dan berpegang teguh terhadap sistem sosial yang mereka bangun sendiri selama berabad-abad lamanya. Tindakan, sikap dan karakter individu dibangun berdasarkan pada proses dialektika ruang dan waktu yang sangat natural lalu kemudian menjadi sebuah norma tersendiri berangkat dari hasil konsensus mereka sendiri.
Proses dinamika dan dialektika yang terjadi menjadi struktur sosial yang sangat bermamfaat terhadap kelangsungan pola dan gaya hidup masing-masing daerah. Kesuksesan Pilpres 2019 akan banyak dipengaruhi oleh sejauh mana masyarakat defend terhadap sistem sosial mereka masing-masing dan resisten terhadap ancaman konflik Pilpres.
Jika mereka mampu defend dan resisten, maka ancaman konflik dapat diminimalisir. Kita sadar betul bahwa Pilpres dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena faktor pilihan dan kepentingan, namun upaya meminimalisir konflik tersebut adalah mengangkat kearifan lokal dan budaya sebagai payung perdamaian.
Berbicara sistem sosial dalam konteks Sulawesi Selatan yang notabenenya adalah suku Bugis dan Makassar, kita punya optimisme terhadap tercapainya Pilpres 2019 yang berbudaya dan bermartabat. Bugis-Makassar cukup kaya dengan kearifan lokalnya, misalnya pangngadereng (norma), nilai-nilai budaya dan mekanisme budaya yang sudah matang.
Pangngadereng (norma) yang terbangun berabad-abad lamanya pada suku Bugis-Makassar adalah bentuk keseriusan masyarakat dalam membangun konsensus untuk mengatasi setiap perbedaan dan perpecahan yang terjadi di antara mereka.
Keseimbangan dan keselarasan adalah orientasi utama dari Pangngadereng (norma). Ada proses penyatuan sikap, rasa dan jiwa pada setiap elemen masyarakat dengan mengedepankan keseteraan hak, hukum dan ekonomi, bukan menonjolkan karakter penghakiman.
Pangngadereng (norma) sebagai batang yang kokoh dari sistem sosial Bugis-Makassar melahirkan nilai budaya sebagai karakter yang sudah meresap pada setiap jiwa masyarakat Bugis-Makassar. Nilai budaya lempu’ (jujur), macca (cendikia), warani (berani), siri’ (harga diri), pesse (empati) dan banyak nilai luhur lainnya bukan sekadar nilai pajangan dalam literatur, namun nilai tersebut telah mengisi falsafah hidup pada diri setiap masyarakat Bugis-Makassar.
Falsafah hidup yang terpatri dalam setiap jiwa masyarakat Bugis-Makassar adalah salah satu indikator kesuksesan dan kegagalan Pilpres 2019. Setiap daerah memiliki kearifan lokal masing-masing, misalnya nilai jujur dan keadilan. Dengan hadirnya nilai-nilai ini dalam kehidupan masing-masing maka Pilpres dapat berlangsng secara fair. Maka dari itu terus mengedukasi pribadi dan kelompok dengan kearifan lokal masing-masing sangat dibutuhkan.
Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman agama yang benar. Pemahaman agama yang baik dan benar terhadap agama yang dianut masing-masing. Memahami dan meresapi perintah agama terutama dalam menangkal isu-isu SARA yang seringkali menjadi tema yang sangat sensitif selama proses pelaksanaan Pilpres. Tugas utama pemeluk agama adalah menghindari tindakan intoleran terhadap sesama pemeluk agama.
Masyarakat yang awam terhadap agama yang mereka anut adalah objek yang paling menarik untuk dimanfaatkan oleh sebagian oknum yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan politik kekuasaan. Agama menjadi subjek yang sangat seksi untuk dijadikan sebagai alat untuk memicu konflik. Agama bagaikan pisau bermata dua, pada sisi yang lain dapat berjalan sebagaimana substansinya dan pada sisi lain dapat menjadi malapetaka bagi mereka yang memahaminya secara serampangan.
Tugas pemeluk agama adalah memahami agama secara objektif dan membedakan agama yang digunakan oleh oknum sebagai alat kepentngan politik dengan agama yang memang merupakan dasar dalam berpolitik. Sikap reaktif terhadap isu-isu SARA atas nama agama harus diganti menjadi sikap yang antisipatif.
Tidak ikut mengkampanyekan isu-isu SARA, terutama menggunakan topeng agama sangat dibutuhkan. Perkawinan antara budaya dan agama secara integratif yang hadir dalam diri setiap individu-individu tak dirgukan lagi akan menjadi perisai yang sangat kuat dalam mengawal Pilpres 2019 yang berbudaya dan bermartabat.
“Ketuhanan yang berbudaya” adalah salah satu pandangan Pendiri Bangsa Ir. Soekarno-Hatta, bagaimana melihat posisi agama dan kebudayaan memiliki kaitan yang erat. Agama dan budaya dapat terintegrasi sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan kita. Penguatan pemahaman keagamaan dan kebudayaan pada setiap individu-individu adalah salah satu parameter kesuksesan pesta demokrasi Indonesia ke depan, dengan harapan Pilpres 2019 melahirkan Presiden yang amanah.
0 Comments