Tulisan ini berangkat keprihatinan penulis yang melihat masih banyak tatakelola masjid yang sangat kuno. Bahkan beberapa masjid sangat konservatif, misalnya salah satu masjid besar di Jawa Timur masih menuliskan di dalam ruangan dan serambinya “dilarang membicarakan hal duniawi di dalam masjid.”
Praktis dengan adanya hal itu masjid murni menjadi satu tempat untuk beribadah saja, setelah shalat ya harus pulang, karena tidak boleh membicarakan hal duniawi di dalamnya.
Di samping itu banyak masjid yang lebih menekankan pada sisi rias diri dengan berlomba-lomba melakukan pembangunan secara besar-besaran. Banyak yang meminta sumbangan di jalan-jalan, kadang mengganggu lalu lintas pengguna jalan.
Titik tekan pada pola seperti ini persis seperti hadis tanda-tanda kiamat, dimana orang-orang berlomba-lomba membangun megah masjid mereka namun setelah masjid megah, tidak ada jamaah yang masuk ke dalamnya.
Pada umumnya banyak masjid senang menyimpan uang hasil infaq dari para jamaah, bahkan berbangga mengumumkan hasil infaknya. Uang tersebut menumpuk dan tebal di rekening masjid tanpa pengeluaran yang berarti. Jarang terdapat pengumuman bahwa masjid telah menggunakan dan mentasharrufkan uang hasil infak demi kemaslahatan jamaah dan lainnya.
Penekanan pada masjid sebagai tempat murni untuk ibadah, pembangunan fisik masjid dan kesan menumpuk hasil infak menjadi satu hal yang lazim di hampir seluruh masjid di negara kita.
Menurut hemat penulis kesan yang seperti ini sudah sangat perlu ditinggalkan. Karena sebenarnya hal-hal tersebut tidak terlalu sejalan dengan prinsip doktrin dalam ajaran “meramaikan/memakmurkan masjid”.
Di Yogyakarta, terutama di kota dan pinggirannya, sudah banyak yang mulai meninggalkan kesan-kesan di atas. Bahkan tampaknya para takmir sudah mulai ‘malu’ bilamana masjid tidak memiliki beberapa hal ini: takmir masjid yang tinggal di masjid; Taman Pendidikan al-Quran (TPA); LAZIS; Jumat free lunch/snack, seperti di masjid Qalbun Salim, depan Jogja TV, yang memberikan menu makan siang beragam; serta ta’jil atau buka bersama pada bulan Ramadhan di hampir seluruh masjid kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Dengan demikian, masjid tidak melulu melaksanakan pengajian dan ceramah yang telah rutin dilakukan. Masjid di kota ini juga tampak menyesuaikan diri dengan realitas Yogyakarta sebagai kota pelajar.
Diskusi-diskusi akademik dan pemberdayaan juga rutin dilakukan seperti di Masjid Azzahrotun, Banguntapan. Banyak masjid yang menempatkan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi Yogyakarta sebagai kota tempat menimba ilmu.
Masjid-masjid di kota ini telah banyak berbenah dalam mengatasi persoalan umum di masjid, misal, mencegah kehilangan sandal atau tertukar sandal dengan sistem kamera. Kamera juga mengatasi masalah kehilangan kendaraan yang sering terjadi di lingkungan masjid.
Kamera juga penting untuk melihat dan menghitung berapa jamaah yang keluar masuk. Kamera saat ini sudah sangat terjangkau harganya, dan ia memiliki banyak fungsi lain selain hal-hal di atas. Bahkan beberapa masjid sudah banyak pula yang memiliki website.
Para takmir menjadikan masjid sebagai salah satu pusat aktivitas yang menyenangkan dan menarik para jamaah. Dibuatkannya arena bermain bagi anak-anak merupakan salah satu daya tarik yang sengaja dipasang untuk menarik masyarakat agar tidak sungkan dan segan pergi ke masjid.
Dengan adanya tempat bermain, anak-anak akan semakin cinta dengan masjid, meskipun awalnya akan menimbulkan problem misalnya jamaah yang kurang khusyuk saat melaksanakan shalat. Tunggu dulu, itu hanya permulaan, tindak lanjutannya adalah, takmir mengumumkan agar anak-anak didampingi orang tuanya terutama saat shalat jamaah berlangsung. Dengan begitu, orang tua si anak tentu akan segan jika tidak ikut shalat berjamaah di dalamnya.
Pemberian wifi gratis juga menarik para generasi milenial untuk naik ke masjid. Mungkin takmir tidak bisa mengontrol mereka mengenai konten apa yang dibuka di smartphone mereka.
Bisa saja yang dibuka adalah situs-situs yang tidaksejalan, misalnya main game online, membuka situs khusus dewasa. Tapi hemat penulis, sejauh mereka paham mengenai masjid sebagai salah satu tempat ibadah, pasti mereka akan secara sembunyi-sembunyi melakukan hal itu.
Hal yang tidak kalah penting adalah infak dan LAZIS. Penggunaan keuangan masjid untuk peningkatan kesejahteraan warga masyarakat masjid merupakan satu hal yang perlu dilakukan, dan ini juga telah banyak dilakukan masjid-masjid di Yogyakarta. Bahkan ada masjid yang rutin mengembalikan nilai keuangan masjid menjadi nol rupiah.
Jogokaryan tampak menjadi kiblat bagi hal yang satu ini. Apa artinya, uang infak masyarakat itu dikembalikan dan ditasharrufkan semuanya kepada masyarakat, terutama masyarakat yang membutuhkan, misalnya pemberian sembako, bantuan beasiswa, dan bahkan pinjaman ke masyarakat yang membutuhkan dana untuk usaha demi peningkatan kesejahteraan ekonomi umat. Para takmir melakukan melaporkan ini secara rutin kepada jamaah.
Yang terjadi setelah itu justru luar biasa. Kepercayaan jamaah dan masyarakat kepada masjid semakin tinggi. Mereka tidak segan memberikan infak yang banyak serta banyak jamaah yang ingin menjadi donatur tetap.
Semakin tinggi dan transparan tatakelola keuangan masjid dilakukan oleh takmir, otomatis meningkatkan kepercayaan publik untuk menyisihkan uang sedekah dan zakatnya kepada masjid.
Praktis jika demikian halnya, jumlah jamaah yang hadir di masjid akan semakin ramai. Masjid tidak lagi hanya untuk beribadah saja, namun menjadi salah satu pusat kegiatan umat Islam yang memiliki dampak pada aktivitas ibadah dan memiliki tanggung jawab sosial pada kesejahteraan umat.
Dengan begitu visi dan nilai meramaikan masjid sebagaimana disabdakan rasulullah teraktualisasi di jaman yang senantiasa dinamis terhadap perubahan. Masjid-masjid perlu berbenah dan mengikuti arus dan tren yang senantiasa berubah itu, karena jika tidak demikian, masjid akan ditinggalkan oleh jamaahnya. Waallahu a’lam
0 Comments