Saudi yang Dulu, Bukanlah yang Sekarang

"..Sungguh, Saudi yang sekarang, bukan Saudi yang dulu. Ini sekaligus warning keras bagi kelompok fanatik Saud di tanah air.."2 min


7
11 shares, 7 points
Sumber foto: dreamstime.com

Saudi kian kemari kian rutin membedah diri ke arah yang lebih terbuka dan demokratis. Wacana reformasi yang digulirkan awalnya sungguh mengejutkan warga internasional. Betapa tidak, reformasi itu terkesan dadakan dan reflektif. Bahkan, agenda akbar itu terlihat bak proyek pemindahan “Las Vegas ke Saudi.” Benar-benar sebuah perubahan yang fantastis, 299 derajat. Dulu bioskop dilarang, sekarang dilegalkan. Dulu perempuan dipisahkan dari stir mobil dan dijauhkan dari stadion, sekarang dipersilahkan. Aktor dari terobosan baru Saudi tersebut adalah Muhammad bin Salman (MBS).

Pangeran muda Saudi yang dikenal progresif dan ambisius itu sepertinya menangkap baik kecemasan yang sedang dialami negaranya, terutama perihal ketidakstabilan sektor ekonomi. Kondisi tersebut memaksa “Negeri Wahabi” itu untuk mencanangkan suatu terobosan yang inovatif. Salah satunya, membuka keran funding di sektor pariwisata. Dengan memanfaatkan posisi strategis di sepanjang kawasan laut merah, Saudi berancana membangun tourism local.

Keinginan besar Saudi itu otomatis akan berkonfrontasi dengan watak budaya dan keagamaan yang terbangun selama ini. Namun, MBS menegaskan karakter budaya dan sosial yang dianut selama ini adalah biang mengakarnya kekolotan dan kekakuan negaranya. Dengan kata lain, watak konservatisme dan fundamentalisme merupakan akar yang ingin ditebas habis oleh MBS.

Realisasi grand project tersebut tentunya tidaklah semudah membalik telapak tangan, tantangan ideologis adalah hal pasti yang akan dihadapi pemerintah Saudi. Ideologi yang dimaksud adalah paham wahabisme. Jamak diketahui, betapa besar andil dan kiprah wahabi membangun negeri Ka’bah itu, terutama sebagai legitimator kebijakan pemerintah.

Karen Elliot House dalam On Saudi Arabia menegaskan bahwa relasi antara Kerajaan Saud dengan ulama Wahabi tidaklah stabil. Kerajaan kerap menghendaki modernisasi dan reformasi, tapi selalu muncul perlawanan dari ulama Wahabi (Karen, 2012). Ini menandakan bahwa Wahabi sangat interaktif dan dominatif dalam menentukan arah pemerintahan. Namun, berbekal watak diktator yang disandang sang penguasa baru Saudi, ego wahabisme dirasa tidak menjadi kendala besar bagi kerajaan untuk mengatasinya.

Bisa dilihat betapa represif dan otoritatifnya Saudi, dengan segenap keangkuhan yang dimiliki, satu per satu ulama yang melenceng dari idealisme mereka, sebisa mungkin akan dibungkam. Sebagaimana yang terjadi pada Syekh Salman al-‘Audah, seorang ulama Saudi yang sangat masyhur dan disegani banyak kalangan.

Hanya karena tweet yang dianggap bernada SARA, –menurut pandangan sentimentil penguasa Saudi- beliau harus rela dijebloskan ke jeruji besi. “Sikap penguasa itu adalah citra dari peradaban jongkok,” demikian sebagian besar pengamat politik Timur Tengah menilai.

Para ulama seolah dipaksa untuk menuruti nafsu reformatif mereka. Konser musik, misalnya, barang yang semula paling diharam-haramkan, sekarang mendapat posisi yang spesial. Fenomena “mendadak tidak bid’ah dan kurafat” ini tentunya menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa dewan ulama konservatif Saudi turut andil dalam “menghalalisasi” hal tersebut?

Demikian pula dengan proyek tourism yang digadang-gadangkan Saudi. Sangat jelas akan mampu mengkontaminasi budaya dan iklim keagamaan nantinya. Apalagi dengan watak tourism yang tak bisa lerai dari 4S (sand, sex, sun, and sea). Tentunya, ini menjadi ujian berat bagi jama’ah haji, harus melihat wanita berbikini mondar-mandir di sisi pantai. Apakah gerombolan ‘ulama literalis Saudi mengunci mulut dari menanggapi hal ini?

Sungguh, Saudi yang sekarang, bukan Saudi yang dulu. Ini sekaligus warning keras bagi kelompok fanatik Saud di tanah air. Meminjam twit-an Mbah Mus, “Orang-orang yang orientasi mereka ke Saudi zaman old, perlu mempersiapkan mental menghadapi Saudi zaman now.”

Di sisi berbeda, reformasi tersebut dianalisis berbagai kalangan bertendensi mengundang kecemasan lainnya; meluapnya kesadaran politik rakyat Arab. Dengan digalakkannya kebebasan ruang publik dan modernisasi ekonomi, apakah tidak mungkin rakyat menuntut hal yang lebih, demokratisasi, misalnya.

So pasti, ini sangat mengancam tonggak-tonggak monarki Saudi. Meskipun, Raja Salman menapik keras takkan ada peluang bagi demokrasi tumbuh di negeri padang pasir itu, tapi keberadaan suara-suara revolusi tidak bisa dipungkiri adanya. Bagaimanapun, episode seperti apa yang akan tayang berikutnya, selalu menarik untuk dinantikan.

Semoga apapun yang terjadi di Saudi kelak tak menyurutkan ta’dzim kita terhadap kampung halaman baginda Rasulullah itu. Apalagi, akhir-akhir ini terbaca oleh banyak pemerhati dunia Islam, Saudi untuk konteks sekarang tidak kondusif lagi dijadikan “kiblat beragama,” alias –dalam istilah Buya Syafi’i  Ma’arif- misguided Arabism.

Sungguh, Saudi yang sekarang, bukanlah yang dulu.


Like it? Share with your friends!

7
11 shares, 7 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
5
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
6
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
5
Wooow
Keren Keren
4
Keren
Terkejut Terkejut
2
Terkejut
Mahmud Wafi

Master

Mahmud Wafi, wakil pimred Artikula.id, merupakan seorang pekerja sosial, juga merangkap sebagai santri malam minggu di Lingkar Mahiyyah.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals