Sebagai sebuah bangsa yang besar Indonesia memiliki berbagai macam ragam budaya, etnis, agama, dan bahasa. Hal ini tentu merupakan kekayaan besar yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
Maka tidak heran jika di era globalisasi ini, kajian tentang bentuk-bentuk kebudayaan yang telah sedemikian dalam melebur dan telah menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia makin marak untuk diungkapkan.
Salah satu di antara objek kebudayaan yang telah menjadi kekayaan bangsa ini adalah perihal tradisi Tatung di Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.
Singkawang sendiri dalam sejarahnya merupakan sebuah desa bagian dari wilayah Kesultanan Sambas sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari daerah Monterado (Monterado kini menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkayang, letaknya di sebelah Timur Singkawang).
Rata-rata para pedagang dan penambang emas ini kebanyakan berasal dari China. Para pendatang dari China ini di kemudian hari intensitasnya semakin besar untuk berdagang dan menambang. Bahkan asal mula penamaan nama Singkawang diambil dari bahasa Hakka, yaitu San Khew Jong yang artinya sebuah kota di bukit dekat laut (Nasution, 2019).
Emaslah yang mengundang nenek moyang orang-orang Tionghoa datang ke kota Singkawang. Mereka datang sebagai buruh pertambangan emas lebih dari 2,5 abad silam. Sejak 1940 mereka datang dan dipekerjakan di pertambangan emas oleh Sultan Sambas.
Awalnya para pekerja tambang adalah orang-orang Melayu dan Dayak. Tetapi, karena pendatang Tionghoa memiliki teknologi tambang yang lebih baik, lama kelamaan pekerja Tionghoa bertambang banyak (Poerwanto, 2014)
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 Kota Singkawang dihuni mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa sekitar 42%. Selebihnya dihuni oleh orang Melayu, Dayak, Jawa, Madura, dan pendatang lainnya.
Maka tidak heran jika Singkawang disebut juga “Kota Seribu Kelenteng”. Kehadiran komunitas Tionghoa di Singkawang yang sedemikian besar tentu bukan datang dengan tangan kosong melainkan hadir dengan membawa tradisi dan budaya yang dipegang teguh sampai saat ini dan masih dirayakan, diantaranya perayaan Cap Go Meh.
Perayaan Cap Go Meh sendiri dikenal sebagai hari raya dengan istilah Gwan Siao. Gwan singkatan dari Siang Goan yang artinya bulan pertama tanggal 15. Goan Meh artinya malam tanggal 15. Cap Go artinya 15 dan Meh artinya malam. Cap Go Meh artinya malam tanggal 15, yaitu malam tanggal 15 dari bulan pertama tahun Imlek.
Hari raya Cap Go Meh juga diartikan sebagai hari raya Siang Gwan atau hari yang pertama menyatakan sifat maha kasih, maha sempurna pencipta atau sifat Gwan.
Dalam realisasinya di masyarakat Singkawang perayaan Cap Go Meh terbentuk melalui proses akulturasi budaya antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat setempat yang bermula dari perkampungan Tionghoa penambang di Moterado.
Baca juga: Seni Reog dalam Pusaran Politik dan Islamisasi |
Keteguhan dalam memegang tradisi dalam masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat bukan saja dirasakan oleh masyarakat Tionghoa yang telah lama menetap di Singkawang. Tapi juga mereka yang sudah merantau.
Kemeriahan perayaan Cap Go Meh yang berlangsung selama dua minggu setelah tahun baru Imlek terasa sangat meriah. Hampir seluruh keturunan Tionghoa asal Kalimantan Barat yang telah merantau ke luar negeri akan kembali ke kampung halaman untuk bersilahturahmi dan berdoa.
Baca juga: Mengenal Sosok Kyai Nur Iman Mlangi: Harmoni Agama dan Budaya |
Hal menarik dari adanya perayaan Cap Go Meh di Singkawang ini adalah akulturasi/penggabungan antara tradisi China, Pribumi, Dayak kuno, dan spiritualitas Melayu. Akulturasi yang dapat ditemui dalam perayaan Cap Go Meh yakni tradisi Tatung.
Tatung dalam bahasa Hakka berarti orang-orang yang dirasuki roh, dewa, leluhur, atau kekuataan supranatural (Atmaja, 2019). Dalam Bahasa Mandarin istilah Tatung dikenal dengan sebutan Shen-da, Shen artinya dewa dan da artinya pukul.
Sebutan lain seperti Ji-tong, Tong secara harfiah berarti “anak-anak, atau anak hamba” dan Ji secara harfiah berarti “ilahi”. Jadi secara keseluruhan artinya merujuk pada seseorang yang telah ditunjuk oleh dewa sebagai media perantara-Nya. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan “spirit medium” yang berarti dirinya menjadi medium untuk mengalami kemasukan roh (Tan, 2019).
Dengan mantra-mantra tertentu, roh leluhur akan dipanggil dan memasuki tubuh orang yang dimaksud. Tatung sendiri bermula dari kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia pada abad ke-4. Mereka berasal dari suku Hakka atau Khek, dari Tiongkok Selatan yang merantau ke Kalimantan.
Zaman dahulu Sultan Sambas di Borneo mempekerjakan para pendatang di tambang emas Montedaro. Mereka lalu tinggal di sebuah perkampungan di Kalimantan Barat selama bertahun-tahun. Suatu ketika, masyarakat setempat terserang wabah penyakit.
Warga mempercayai bahwa wabah penyakit itu berasal dari roh jahat hingga mereka harus melakukan ritual tolak bala yang menjadi awal mula adanya tradisi Tatung. Itulah sebabnya, tujuan utama Tatung adalah membersihkan roh jahat dan segala kesialan di seluruh kota (Nasution, 2019).
Adapun dalam pelaksanaan tradisi Tatung ini, satu persatu warga Tionghoa Singkawang bergantian bersembahyang di Vihara. Ini dilakukan tepatnya 13-15 setelah tahun baru Imlek. Mereka bersembahyang bukan tanpa maksud, karena hari itu disebut sebagai harimau putih, seraya berharap tidak terjadi hal-hal buruk dan meminta izin kepada para dewa, agar ritual Tatung berlangsung secara lancar (Atmaja, 2019).
Selain dilakukan beberapa ritual seperti keyakinan bahwa untuk menjadi Tatung, tidak boleh orang sembarangan, tetapi biasanya diwariskan secara turun-temurun. Baik dari pihak ayah maupun kakeknya.
Sebelum menjadi Tatung, mereka juga harus melakukan puasa, tidak boleh makan daging dan berhubungan intim dengan pasangannya minimal satu minggu (Nasution, 2019).
Di kalangan Tionghoa Singkawang percaya, bahwa pemanggilan roh-roh ini untuk memasuki Tatung terdiri dari roh-roh pahlawan dalam legenda Tiongkok, seperti; panglima perang, pangeran, sastrawan, dan hakim.
Dengan diiringi genderang musik, prosesi Tatung ini dilaksanakan seperti pawai yang menggunakan kostum gemerlap pakaian kebesaran etnis Dayak dan negeri Tiongkok masa silam. Meski dalam prosesinya dipenuhi dengan atraksi mengerikan seperti menginjakkan kaki di sebilah mata pedang atau pisau, menancapkan kawat baja ke pipi kanan dan tembus ke pipi kiri. Sebagaimana gambar di bawah ini:
(Sumber Foto: https://travel.kompas.com/read/2019/02/19/160400227/5-fakta-tentang-perayaan-cap-go-meh-di-singkawang?page=all: Salah satu tradisi Tatung)
Para Tatung ini melakukan atraksi mempertunjukkan kesaktiannya, sesekali mereka harus minum arak, atau bahkan menghisap darah ayam yang secara khusus disiapkan sebagai ritual. Namun menariknya para Tatung ini tidak sedikit pun tergores atau terluka.
Sambil memamerkan kekebalan tubuhnya, Tatung diarak berkeliling Kota Singkawang. Adapun pesan dari acara keliling ini adalah untuk mendidik mayarakat kota Singkawang untuk menjadikan perbedaan sebagai kekuataan dalam masyarakat menuju kehidupan yang harmonis. Terakhir mereka berkumpul untuk melakukan sembahyang bersama kepada Tuhan di altar pusat perayaan Cap Go Meh di Singkawang.
Dari kebudayaan yang terekspresikan melalui Tatung di atas, dapat dilihat bahwa sebagai pesta kebudayaan, pawai Tatung memiliki sisi ritual religi yang cukup kental dan mencerminkan pembauran kepercayaan Taoisme kuno dengan animisme lokal.
Singkawang yang sebagian penduduknya dari etnis Dayak Melayu yang berbaur dengan etnis Tionghoa yang sudah terbangun ratusan tahun tentu memiliki kekayaan yang berharga sebagai harmoni sosial antara Dayak-Tionghoa.
Karena disadari atau tidak perayaan Tatung ini secara tidak langsung telah menciptakan ruang sosial untuk saling belajar mengenai seluk beluk kehidupan orang Tionghoa. Sedangkan bagi orang Tionghoa perayaan ini juga dapat dijadikan ajang pengenalan budaya mereka secara umum kepada penduduk asli Singkawang.
Dengan kata lain, keberadaan perayaan Tatung ini dapat menjadi gambaran umum sebuah keragaman, kekayaan, pluralisme, dan multikulturalisme di Indonesia. Selain itu juga menjadi simbol berjalannya paham keharmonisan di kota Singkawang.
Keharmonisan ini terlihat dari tingginya toleransi masyarakat dari tiga jenis etnis besar di Singkawang, yakni Tionghoa, Melayu, dan Dayak yang hidup berdampingan. Dalam konteks pragmatisnya, perayaan Tatung Singkawang dapat dijadikan simbol kebudayaan unggulan daerah yang dapat menarik para wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk melihat kekayaan bangsa Indonesia yang bragam.
Daftar Pustaka
Atmaja, D. S. (2019). A Potrait Of Chinese Diaspora In Cidayu Area (Dinamika Persepsi dan Argumentasi Antar Etnis). Pontianak: IAIN Pontianak Press.
Nasution, F. H. (2019). 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Poerwanto, H. (2014). Cina Khek di Singkawang. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tan, H. (2019, Juli 2019). Asal-Usul Tatung (Lokthung) Pada Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang. Retrieved from Tionghoa Info.
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments