Di Indonesia, peraturan mengenai aborsi (penghentian kehamilan) diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Secara singkat inti dari peraturan ini adalah aborsi tidak diizinkan kecuali ada alasan indikasi kedaruratan medis ibu yang mengandung, yang dikandung, dan bagi korban pemerkosaan. Ini pun boleh dilakukan apabila telah dilakukannya konseling pra sampai pasca tindakan dengan konselor profesional yang kompeten dan berwenang.
Lantas hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan yakni mengapa seseorang melakukan aborsi?
Seseorang melakukan aborsi karena mengalami yang namanya “kehamilan tidak diinginkan” (KTD). KTD terjadi apabila seseorang melakukan aktifitas seks tanpa menggunakan kondom, kondom bocor/robek di tengah kegiatan seks, tidak diketahuinya akses kontrasepsi darurat, sampai kasus kejahatan seperti pasangan yang tiba-tiba melepas kondom ketika penetrasi di dalam vagina, manipulasi dan pemanfaatan pasangan yang tidak paham seks secara aman, sampai pemerkosaan.
KTD tidak hanya dialami oleh pasangan suami istri dan pasangan yang belum menikah saja, namun juga terjadi pada anak/remaja yang tidak/belum memahami KESPRO (Kesehatan Reproduksi) dan HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi).
Kita bisa dengan gamblang memaparkan ragam alasan mengapa KTD terjadi. Dan menurut saya ini semua bermuara pada potret edukasi KESPRO dan HKSR yang belum komprehensif khususnya oleh lembaga formal.
WHO menyebutkan bahwa aborsi aman dapat dilakukan sampai usia kehamilan maksimal 98 hari atau 14 Minggu. Bagi yang tidak memahami ini, coba datang ke oknum bidan atau dukun bisa saja melakukan aborsi ilegal tanpa konsultasi yang sehat dan aman, yang mana dapat menyebabkan resiko kematian bagi sang ibu.
Pada Pasal 12 ayat (2) PP No. 61 Tahun 2014, telah disebutkan bahwa negara melalui Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR) wajib menyediakan edukasi kesehatan reproduksi meliputi perilaku seksual yang sehat dan aman, sosialisasi Keluarga Berencana (KB), dan sebagainya bagi remaja di Indonesia melalui institusi formal maupun informal.
Pada bulan Januari kemarin, BKKBN sebagai lembaga pemerintah masih meminta Dinas Pendidikan untuk memasukan kurikulum KESPRO ke sekolah-sekolah. Artinya memang kurikulum KESPRO belum sampai diimplementasikan sebagai pelajaran wajib di sekolah.
Meski sepertinya lembaga formal belum secara penuh mengimplementasikan kurikulum KESPRO ke sekolah-sekolah, banyak lembaga nonpemerintah yang melakukan ini.
Salah satunya Mitra Citra Remaja (MCR) PKBI Bandung yang advokasi materi KESPRO secara daring melalui situs mcrjabar.org. Kita bisa akses materi dasar (minimal usia SMA) terkait KESPRO, gender, KTD, HIV/AIDS, sampai NAPZA dengan cara daftar akun di situsnya.
Edukasi pun dilakukan secara langsung dengan cara sosialisasi ke sekolah-sekolah (misal 2001-2004 MCR PKBI kerjasama dengan Feminax untuk menginformasikan KESPRO ke 40 sekolah di Indonesia), siaran radio, diskusi bersama, dan sebagainya.
Ada juga LSM Perkumpulan Samsara yang menurut saya menjadi pelopor hotline konsultasi KTD termasuk aborsi yang aman di Indonesia. Bisa dihubungi melalui 0856-12345-30, 082-12345-8500, 082-12345-8600, atau 082-12345-8700 di hari Senin sampai Jum’at pukul 10 pagi sampai 6 sore.
Aborsi Aman VS Aborsi Ilegal
Batas waktu maksimum aborsi aman menurut WHO dapat dilakukan hingga umur 98 hari atau 14 minggu kehamilan dan mengacu pada PP No. 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi menetapkan batas waktu maksimum aborsi adalah 40 hari kehamilan.
Meski sudah ada aturan dari WHO termasuk PP yang mengatur waktu aman aborsi dilakukan, namun ini susah diterapkan karena yang dapat melakukan aborsi aman adalah apabila ada indikasi medis atau korban pemerkosaan.
Seorang perempuan atau pasutri yang mendapati pasangan atau istrinya mengalami KTD, bisa saja melakukan aborsi karena alasan ketidaksiapan mental, ekonomi, maupun psikis. Bahkan ada juga yang butuh melakukan aborsi karena telah terjadi kejahatan seperti pemerkosaan, pelepasan kondom secara paksa ketika lakukan seks, yang mana dapat terjadi pada orang dewasa maupun anak di bawah umur.
Baca Juga:Â Maraknya Kekerasan Seksual? Mari Belajar dari Rasulullah dan Umar |
Namun begitu payung hukum di Indonesia hanya dapat mengiyakan aborsi apabila ada indikasi medis atau korban pemerkosaan. Untuk seorang perempuan atau pasutri yang mengalami KTD, entah karena kondom bocor atau lupa meminum pil KB (morning pill, dan lainnya), tidak memiliki payung hukum dan beresiko dipidana.
Kita tahu, tentu saja beragam pembaca ada yang menyalahkan zina dan menganolir adanya pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape) maka akan menganggap Indonesia tidak memerlukan payung hukum untuk melindungi aborsi aman bagi perempuan atau pasutri yang bukan sebagai korban pemerkosaan.
Seks yang aman dan bertanggung jawab dilakukan tidak di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan, oleh orang dewasa, dengan menggunakan kondom, atau consensual sex harus dipahami oleh kita semua bahwa consent atau persetujuan ini bersifat cair. Artinya, apabila pasangan mengatakan “iya” untuk melakukan seks denganmu di awal, lantas ketika sedang seks pasanganmu mengatakan stop, maka kamu harus hormati itu dan menghentikan aktivitas seks.
Area consent yang abu-abu tersebut harus dipahami dengan konkret dan komprehensif, saling menghormati tubuh yang terlibat, penuh dengan persetujuan secara verbal agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan seperti infeksi menular seksual, termasuk KTD Kita pun paham, bahwa obrolan seks di awal ini ada yang bilang akan membuat aktivitas seks menjadi canggung, justru ini jadi momentum bagi kita sendiri mengaplikasikan ini. Normalisasi obrolan mengenai persetujuan akses tubuh seseorang ketika aktivitas seks berlangsung, sejak foreplay sampai orgasme.
Hal di atas, perlu juga dinormalisasi pada pasutri atau pasangan yang sudah menikah. Sudahi pelanggengan budaya malu-malu bicara consent ketika ingin seks. Hal ini pun akan menghindari adanya pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape) juga KTD.
Sayangnya, tidak ada layanan kesehatan aborsi aman di Indonesia yang mengakibatkan perempuan yang alami KTD kesulitan untuk berkonsultasi dengan alasan karena takut di stigma atau takut mahal. Maraknya aborsi ilegal dan tertutup dijadikan alasan bagi perempuan atau pasutri yang alami KTD.
Ketika aborsi ilegal dilakukan, kita tidak tahu obat medis atau alat yang digunakan ketika proses aborsi berlangsung. Banyak oknum yang mengaku sebagai bidan atau dukun agar aborsinya dipercaya. Penulis hafal betul bahwasanya tidak ada layanan aborsi yang aman karena stigma aborsi aman adalah membunuh.
Dasar Hukum UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 dan PP Kesehatan Reproduksi No. 61 tahun 2014 ini menjadikan hukum aborsi di Indonesia sebagai hal yang inkonsisten. Suatu hukum dapat mempidana aborsi dan satu sisi menyebut aborsi sebagai layanan kesehatan. Ini menjadikan perempuan atau pasutri yang alami KTD yang sedang akses aborsi aman menjadi rentan dipidana termasuk layanan kesehatan aborsi amannya.
Banyak penyintas kasus pemerkosaan, yang alami KTD, tidak mendapatkan hak korban ihwal layanan kesehatan aborsi aman. Apabila dilakukan aborsi aman dan sesuai dengan prosedur (surgical abortion atau medical abortion), tidak akan menimbulkan efek samping jangka panjang seperti kemandulan juga tidak mempengaruhi kesuburan seseorang. Setelah aborsi aman pun seseorang dapat kembali hamil ketika diinginkan.
Baca Juga:Â Cegah dan Waspadai Pre-eklampsia dalam Kehamilan |
Sebagai contoh kasus WA di Jambi Agustus 2018; WA berusia 15 tahun melakukan aborsi karena hamil diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri. WA sempat divonis penjara 6 bulan karena telah melakukan aborsi sebelum akhirnya dibebaskan. Pemenjaraan adalah upaya terakhir (last resort) yang bisa dilakukan oleh negara untuk anak di bawah umur. Apalagi korban pemerkosaan seperti WA seharusnya langsung dibawa ke psikolog/rehabilitasi.
Ada kasus Reni 19 tahun dan Arin (seorang bidan) 33 tahun di Boyolali yang melakukan aborsi kemudian ditangkap. Arin memberi Reni satu pil penggugur kandungan sebelum besoknya menguburkan daging yang keluar setelah mengonsumsi pil yang diberikan Arin.
Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2016, aborsi diartikan sebagai upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Maka tindakan aborsi tidak bisa digolongkan sebagai pembunuhan. Ini yang menjadi inkonsistensi yang karet dapat menjerat yang tidak bersalah seperti kasus WA.
Yang perlu ditekankan, menurut saya, adalah, hukum pidana pada pelaku aborsi dapat dilakukan apabila ilegal karena menyebabkan resiko kematian ibu hamil sangat tinggi, namun apabila dilakukan aborsi aman dan disediakan layanan kesehatan aborsi aman bagi penyintas korban pemerkosaan, perempuan yang alami KTD, ini tidak dapat dipidana, justru harus diberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya berdasarkan asas nondiskriminasi/judgmental. Safe abortion is essential health care! [HW]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!Â
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!Â
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Tulisan yang keren. Selama ini saya melihat sosialisasi KESPRO dan HKSR belum sepenuhnya dilakukan di satuan jenjang pendidikan, bahkan di jenjang perguruan tinggi sekalipun. Terlebih-lebih belum begitu efektif disosialisasikan sebagai bekal calon mempelai yang hendak melangsungkan pernikahan. Dalam konteks ini tentu perlu adanya semacam sekolah pra-nikah yang menjembatani.
Di sini lain, hadirnya Undang-undang yang nampak tumpang tindih, masih abu-abu dan belum menegaskan maksud utamanya tentu harus mengalami amandemen ataupun peninjauan kembali.
Menurut saya, bagaimanapun menguliti aborsi sebagai isu wacana tentunya akan banyak silang sengkarut yang terbenam di dalamnya. Masalah HAM, Kesehatan, Hukum, Ekonomi, Agama, Budaya dan Sosial.
Sayangnya dalam penjelasan di atas, saya masih menemukan pengulangan ide pokok yang sama dalam paragraf yang berbeda. Misalnya dalam paragraf ke-7dan ke-14. Korelasi antar paragraf sangat penting untuk diperhatikan supaya pembaca bisa sampai pada pemahaman yang dimaksud oleh penulis.
Penggunaan kata yang tepat dalam setiap kalimat juga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Misalnya saja, kata ‘alami’ yang seharusnya ditulis ‘mengalami’, kata ‘sudahi’ yang seharusnya ditulis ‘menyudahi’, kata ‘mempengaruhi’ yang seharusnya ditulis ‘memengaruhi’, kata ‘bertanggung jawab’ seharusnya ditulis ‘bertanggungjawab’.
Mohon maaf sebelumnya, itu hanya sejauh pandangan saya saja yang papa. 🙏
Terima kasih.
Wah! Terima kasih ya untuk koreksi cara penulisannya. Sangat berguna bagi saya.
Terima kasih juga poin masukan terkait pengulangan ide dan korelasi antar paragraf. Anggap saja tulisan terkait aborsi aman ini jadi pemantik bagi pembaca. Harapan saya dari tulisan ini, terpaksa atau tercerahkan, maksud akhir ya terserah pembaca. Kalau menurut Anda ada pembaca kesulitan memahami konteks dalam tulisan ini karena absen korelasi antar paragraf, saya kira ada juga pembaca yang tetap paham bahwa tulisan ini sedang advokasi aborsi aman dan mengutuk aborsi ilegal.
Salam. Hatur nuhun.