Kicauan Kontoversial Kepala BPIP: Salam Kenal dari Yudian

Meskipun sebuah pernyataan memiliki kebenaran, tapi kita harus ingat bahwa terkadang ada yang lebih tinggi nilainya dari kebenaran: kemaslahatan! 5 min


6
Gambar: Redaksi Indonesia

Sejak Kamis (13/2) kemaren pernyataan kontroversial dari kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., begitu viral di berbagai media sosial. “Agama adalah musuh terbesar Pancasila”, begitu potongan kalimat yang dikeluarkan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga itu ketika diwawancarai oleh salah satu media online nasional yang secepat kilat menjadi headline beberapa media massa.

Betapa tidak, berita mengenai hal ini bahkan seolah-olah bisa mengalihkan isu “ritual tahunan” perdebatan perayaan Valentine’s Day di jagat sosial media nasional. Menurut salah satu pengamat media sosial, Hariqo Wibawa Satria, pernyataan dari kepala BPIP yang pada 5 Februari lalu dilantik langsung oleh presiden Jokowi tersebut sangat melek SEO atau peka Search Engine Optimization. Maka wajar saja kemudian menjadi viral karena menurutnya orang akan cenderung mengkonsumsi berita yang terkait dengan identitas diri, agama, suku, hobi, tokoh idola, dst.

Baca juga: Yudian Wahyudi jadi Kepala BPIPRI: Bukti QS. Adh-Dhuha Ayat 4

Pro dan kontra atas berita mengenai pernyataan Kiai jebolan Harvard ini pun menghiasi semesta media sosial. Mereka yang kontra pun ada yang merespon dengan sangat keras: ia telah meghina agama, ia harus dipecat dari kepala BPIP, cuma cari sensasi, dst. Ada juga yang menanggapi dengan sedikit lebih lunak bahwa kepala BPIP itu harus segera klarifikasi, dsb.

Di sisi lain, dari mereka yang pro atau membela pun muncul beragam komentar. Ada yang sekadar berusaha meluruskan maksud dari pernyataan President of Asian Islamic Universities Association (AIUA) tersebut: bahwa yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah pemahaman keagaaman yang radikal, yakni mereka yang selalu berusaha membenturkan Pancasila dengan agama, jadi bukan agama itu sendiri yang dimaksud oleh Prof Yudian.

Ada juga yang memberikan kritik atas media-media yang terkesan menggiring opini yang keliru. Ada pula yang memberikan tanggapan bahwa hal ini merupakan penegasan rendahnya literasi masyarakat kita saat ini: betapa masyarakat harus menyadari bahwa berita tidak selalu sesuai dengan kenyataan, selalu ada pengurangan dan penambahan, bahkan mungkin juga penyimpangan. Bahwa itu semua terlepas dari disengaja atau tidak, seharusnya kita sudah membiasakan diri dengan check and recheck alias tabayyun atas semua informasi yang kita terima tanpa menelannya mentah-mentah.

Tidak berselang lama dari hebohnya berita pernyataan kontroversial tersebut, gayung pun bersambut: kepala BPIP itu pun membuat klarifikasi seperti yang dituntut dari sebagian mereka yang naik pitam, juga konfirmasi bagi yang seiya dengan Yudian. Berikut saya kutipkan pernyataan klarifikasi tersebut:

“Yang saya maksud adalah bahwa Pancasila sebagai konsensuus tertinggi bangsa Indonesia harus kita jaga sebaik mungkin. Pancasila itu agamis karena ke 5 sila Pancasila dapat ditemukan dengan mudah dalam Kitab Suci ke enam agama yang diakui secara konstitusional oleh NKRI. Namun, pada kenyataannya, Pancasila sering dihadap-hadapkan dengan agama oleh orang-orang tertentu yang memiliki pemahaman sempit dan ekstrim, padahal mereka itu minoritas (yang mengklaim mayoritas). Dalam konteks inilah, “agama” dapat menjadi musuh terbesar karena mayoritas, bahkan setiap orang, beragama, padahal Pancasila dan Agama tidak bertentangan, bahkan saling mendukung.” 

Jadi sejujurnya secara substansi, yang bahkan tanpa klarifikasi pun jika kita melihat secara kesuluruhan isi wawancara tersebut, potongan kalimat yang viral tersebut agaknya tidak ada yang keliru dalam konteks tema wawancara.

Bagi penulis sendiri, tidak hanya agama namun apa saja yang berlawanan dengan ke lima sila atau poin yang ada di Pancasila adalah ancaman bagi NKRI, seperti ketidakadilan, ketimpangan sosial, otoritarianisme, dsb. Namun karena beberapa tahun belakangan isu agama adalah yang paling santer untuk di-“komodifikasi” oleh segelintir orang, maka agaknya pernyataan tersebut memiliki kebenarannya sendiri dalam konteks ini.

Lantas apa yang salah dengan viralnya pernyataan kontroversial pimpinan pondok Nawesea tersebut? Tidak ada! Semuanya adalah rentetan dari sebab-akibat. Pernyataan tersebut muncul agaknya sebagai respon dari fenomena yang beberapa tahun ini terjadi di Indonesia. Hal ini bisa kita lihat secara tersirat dari klarifikasi yang keluar belakangan.

Bagaimana dengan pemberitaan media atas pernyataan dalam wawancara tersebut? Media massa juga tidak sepenuhnya salah. Coba kita kesampingkan sebentar aspek moral, bukankah media massa salah satu pekerjaan mereka menyampaikan fakta? Faktanya, kepala BPIP memang mengatakan bahwa “agama adalah musuh terbesar Pancasila”. Fakta tersebut oleh sebagian media dijadikan judul berita. Bagaimana dengan kebenarannya?

Dalam konteks berita, penulis cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa fakta dan kebenaran adalah dua hal yang berbeda namun saling terkait. Kebenaran adalah hakikat yang sebenarnya dari sebuah peristiwa yang bisa diketahui dari kumpulan-kumpulan fakta.

Jika beberapa media massa menjadikan salah satu fakta, dalam konteks ini adalah pernyataan dari kepala BPIP, sebagai judul berita, mereka tetap tidak bisa dituntut apalagi jika mereka telah menjelaskan kebenaran dari keseluruhan peristiwa dalam berita yang ditulis.

Tapi bukannya hal seperti ini bisa menyebabkan misunderstanding dan terkesan memelintir sebuah kebenaran? Dari kacamata media massa, ‘berasap’ atau tidaknya dapur mereka sangat ditentukan oleh banyaknya pembaca berita yang mereka tulis. Sejalan dengan itu, kebanyakan pembaca juga sangat “haus” dengan berita-berita kontroversial. Makanya dalam dunia jurnalisme ada ungkapan “a bad news is a good news”.

Pernyataan kepala BPIP tersebut adalah “pundi kehidupan” bagi media massa. Jika wartawan adalah semut, maka pernyataan kontroversial tersebut adalah gula. Memangnya ada semut yang mau melewatkan gula jika kesempatan itu ada? Jika bagi media mainstream saja pernyataan tersebut adalah makanan empuk, apalagi bagi media abal-abal yang tidak segan untuk memelintir kebenaran dan menyebarkan hoaks, bukankah yang terpenting bagi mereka adalah profit interest?

Bagaimana dengan warga net yang dengan jari-jari mereka hoaks semakin potensial menjadi subur? Di era disrupsi sekarang ini, problem literasi masih menjadi PR kita bersama sebagai sebuah bangsa. Bagi banyak netizen berita dan fakta adalah yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan, terlepas dari apa kebenarannya. Makanya “saring sebelum sharing” belum menjadi kebiasaan mereka.

Dalam konteks inilah saya rasa Prof. Yudian alpa. Sebagai pejabat publik yang berbicara di depan media online beliau agaknya lupa bahwa masih banyak warga yang tidak begitu saja bisa memaklumi semua yang dikatakannya, terutama potongan kalimat yang potensial untuk dipelintir itu.

Para mahasiswa ataupun para santrinya tentu tidak akan meragukan sosok kiai yang mumpuni dalam khazanah Islam klasik dengan kemampuan bahasa Arabnya sekaligus profesor jebolan Harvard ini, apalagi jika memang sudah mengenal karakter beliau yang memang selalu berapi-api. Tapi, tidak semua netizen adalah mahasiswa ataupun santri beliau.

Dalam perspektif ilmu Balaghah, hal penting yang terlupa oleh Prof. Yudian adalah prinsip untuk memperhatikan “muqtadal hal”, yakni prinsip dalam berkomunikasi yang bertutur sesuai keadaan, situasi, dan kondisi lawan bicara.

Bukan hanya Prof. Yudian yang sekarang menjabat sebagai kepala BPIP, tapi semua pejabat publik harusnya bisa selalu mawas diri bahwa setiap kata dan diksi yang diungkapkannya ke khalayak bisa menjadi bumerang.

Bukankah kita bisa berkaca pada kasus yang menimpa Ahok beberapa tahun lalu? Terlepas dari pro dan kontra atas hal itu, andai Ahok sedikit mampu mengerem mulutnya, tidak hanyalepas dari jeruji besi, bahkan bisa saja ia memenangkan pilkada DKI dengan popularitasnya kala itu.

Saya tidak akan menyoal kebenaran dari pernyataan Prof. Yudian, apalagi hal ini juga sudah diklarifikasi. Karena meskipun sebuah pernyataan memiliki kebenaran, tapi kita harus ingat bahwa terkadang ada yang lebih tinggi nilainya dari kebenaran: kemaslahatan!

Dalam hal ini penulis lebih suka menggunakan pola pikir pragmatisme. Artinya, salah satu tolok ukur yang bisa kita gunakan untuk menguji kebenaran dari penyataan pejabat publik adalah dengan akibat atau dampak positif atau manfaat yang muncul dari pernyataan tersebut.

Tulisan ini adalah bentuk harapan penulis kepada Prof. Yudian, sosok yang secara intelektual bisa diuji, namun karena beliau juga sosok manusia biasa yang dengan gayanya yang selalu berapi-api bisa saja khilaf kapan pun. Apalagi sebagai pejabat publik beliau perlu juga diingatkan bahwa kebenaran dalam ranah akademik bisa menjadi malapetaka dalam konteks yang lebih luas jika tidak bijak menyampaikannya sehingga rentan untuk dipolitisasi.

Harapannya kejadian ini bisa menjadi pengingat untuk ke depannya sehingga jihad beliau sebagai kepala BPIP dalam rangka penguatan pembinaan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bisa semakin optimal tanpa perlu menimbulkan kontoversi yang tidak perlu. Semoga!

Sebaliknya, kita sebagai warga negara yang baik, dengan kejadian ini maupun yang serupa dengan ini, bisa semakin cerdas dan bisa selalu berhati-hati dengan setiap informasi dan berita yang diterima dengan selalu meningkatkan literasi kita dan membangun budaya tabayyun, karena tanpa sadar salah satu musuh kita sebagai anak kandung Ibu Pertiwi di era sekarang dalam menjaga keutuhan NKRI adalah jari-jari kita sendiri!

Eh tunggu, atau bisa jadi kicauan kontroversial ini sengaja beliau lakukan kan? Bukankah kebanyakan kita memang lebih suka yang beginian? Wallahu’alam sih. Maqom saya memang masih sangat jauh dari sosok Kyai, sang deklarator tarekat Sunan Anbiya ini. Bagaimana pun kejadian ini adalah bentuk salam kenal dari seorang Yudian Wahyudi sebagai kepala BPIP kepada para pemirsah di seluruh Nusantara. Apa pun itu, pro atau kontra adalah hal yang biasa, selama jangan baper.[]

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

6
Sanusi Salim

Mahasiswa dan pengumpul remah kata

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals