Ranggawarsita dan Gagasan Manunggaling Kawula Gusti

Manusia bisa dikatakan sebagai ‘manusia’ apabila ia memiliki kekuataan “rasa manusia”.3 min


-1

Dalam dunia tasawuf telah masyhur dikenal paham Wahdatul Wujud atau istilah Jawa-nya dikenal dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Sebuah paham yang sejak lama telah menjadi perdebatan di kalangan para ulama-ulama dahulu. Selain itu, tema dan paham ini pun dalam perjalanannya merupakan problem dan analisis yang senantiasa aktual, karena berhadapan langsung dengan persoalan eksistensial dan hakikat makna serta tujuan hidup itu sendiri.

Sehingga tak jarang bagi sebagian orang paham ini selalu dicap sebagai paham yang ‘sesat’ karena berkaitan dengan keimanan. Namun, tidak jarang pula sebagian orang yang begitu antusias dalam tema-tema ini, disebabkan karena terkait dengan pencaharian makna hidup. Di tengah-tengah sikap hidup beragama yang hanya menyorot permukaan dan klaim kebenaran sepihak, sangat rasional kemudian melihat lagi tema-tema atau paham Manunggaling Kawulo Gusti sebagai sebuah paham yang patut direnungi untuk bisa dijadikan pedoman hidup. Salah satunya seperti yang diajarkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Raden Ngabehi Ranggawarsita selain dikenal sebagai pujangga, juga merupakan seorang muslim saleh yang mengembangkan ajaran moral sufi tatkala melihat “kebobrokan” zamannya. Sosok Ranggawarsita lahir dengan nama kecil Bagus Burhan pada hari Senin Legi, tanggal 10 Zulkaidah 15 Maret 1802 di kampung Yasadipuran Surakarta. Ranggawarsita sendiri merupakan cucu dari seorang pujangga besar bernama Yasadipura I yang merupakan salah satu dari empat pujangga kraton kenamaan.

Semasa kecilnya, Bagus Burhan atau Ranggawarsita dikenal sebagai anak yang nakal dan bengal. Sehingga pada umur empat tahun, ia diserahkan oleh kakeknya R.T Sastranegara kepada Ki Tanujaya, seorang abdi kepercayaan kakeknya. Di tangan Ki Tanujaya Bagus Burhan pun dididik mengenai sopan santun dan budi pekerti luhur. Selanjutnya, Bagus Burhan oleh sang kakek  dikirim nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kiai Kasan Besari.

Selama belajar di bawah asuhan Kiai Imam Besari, Bagus Burhan pun tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Hingga pada suatu saat Kiai Imam Besari pun memarahinya habis-habisan. Tak khayal kemarahan sang Kiai begitu tertanam di lubuk sanubari Bagus Burhan. Dan perlahan-lahan mulai berubah hingga pada tanggal 28 Oktober 1818 Masehi Bagus Burhan pun diangkat menjadi carik kliwon dengan gelar Rangga Pujangga Anom. Semacam gelar bagi seorang pujangga muda.

Setelah dirinya diangkat menjadi pujangga kraton kehidupannya pun mulai berubah dengan membangun “jati dirinya” sebagai seorang manusia yang menurut konsepnya sendiri yaitu membangun sosok “ manusia sempurna”, yang dalam Serat Wirid Hidayat Jati, ia menjelaskan bahwa manusia bisa dikatakan sebagai ‘manusia’ apabila ia memiliki kekuataan “rasa manusia” yang diistilahkan oleh Ranggawarsita dengan bangunan “tiga mahligai (shrines)” dalam tubuh manusia, yaitu: Baitul Makmur (the Shrine of Logos) di dalam kepala, Baitul Haram (the Shrine of the Innermost Feeling) di dalam dada, dan Baitul Muqaddas (the Shrine of Will Power) di dalam alat kelamin.

Pada usia dewasa inilah keahliannya dalam ilmu tasawuf dan kesastraan Jawanya mulai terlihat. Hingga timbullah sosok waskito, yang “ngerti sadurunge winarah” (sudah paham sebelum belajar). Sehingga dirinya dijuluki seorang “pujangga yang nyufi”. Dari tangannya lahir beberapa karya besar yang bicara mengenai paham Manunggaling Kawulo Gusti, salah satunya Serat Wirid Hidayat Jati. Serat Wirid Hidayat Jati sendiri merupakan kitab dalam bentuk prosa, jenis non fiksi, berupa ajaran moral dan agama. Sebuah karya yang menjadi bacaan wajib bagi para penggemar sastra Jawa.

Dalam pemikiran Ranggawarsita yang tertuang dalam Serat Wirid Hidayat Jati merupakan sebuah pedoman untuk bagaimana orang Jawa mempraktikkan ilmu tauhid. Karena jika dilihat sejarahnya berbicara mengenai konsep Manunggaling Kawulo Gusti tentu tidak lepas dari nama-nama tokoh seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Yazid al-Bustami. Namun, berbeda dari ketiga tokoh tersebut, ajaran serta gagasan yang diusung oleh Ranggawarsita banyak diterima oleh masyarakat Jawa yang jauh dari perdebatan serius.

Salah satunya gagasan mengenai hubungan personal (personal relation) kemanunggalan yang intim, atau yang sering disebut dengan cinta. Di mana cinta atau mahabbah merupakan konsep dasar seorang salik untuk mencapai kedekatan spiritual dengan meleburkan dirinya sendiri dalam cinta dan pengetahuan terhadap Allah, yaitu manunggal pemersatu dengan Allah. Yang dalam Serat Wirid Hidayat Jati-nya Ranggawarsita disebut dengan “kumpul” (angumpulaken kawula Gusti), yakni adanya dua hal yang berpadu menjadi satu, atau yang berbeda bersama dalam satu tempat.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati: “Aku Dzat yang bersifat Esa, meliputi hamba-ku, manunggallah menjadi satu keadaan, sempurna lantaran kodrat-Ku”. Gagasan Ranggawarsita dalam ungkapan tersebut secara langsung menekankan tentang manunggalnya Tuhan dengan meminjam tubuh dan anggota badan manusia. Di mana Tuhan dalam gagasan ini “terhisap” dalam diri manusia. Sehingga konsekuensinya, manusia harus “sadar diri” terhadap keberadaan Tuhan dengan mencerminkan kebaikan-kebaikan dalam setiap kehidupannya.

Karena itu sangat wajar jika Ranggawarsita banyak menekankan pada pembangunan iman, akhlakul karimah, dan penyucian diri lahir batin. Dalam ajaran mistisisme Islam, meleburnya manusia dalam Tuhan dikatakan sebagai fana. Di mana manusia dikatakan melihat, mendengar, berbicara, dan berbuat dengan Tuhan. Sedangkan dalam Manunggaling Kawula Gusti Ranggawarsita, Tuhan yang bersabda, mendengar, melihat, dan berbuat dengan meminjam tubuh manusia. Namun begitu, pada hakikatnya kedua konsep ini mengajarkan tentang penghayatan tertinggi mengenai kemanunggalan antara manusia dengan Sang Pencipta.

Bahkan dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ranggawarsita benar-benar menekankan, bahwa konsep kemanunggalan harus tetap diamalkan bahkan hingga detik-detik terakhir kehidupan manusia di dunia ini. Hingga Ranggawarsita pun mengajarkan beberapa amalan untuk dipraktikkan pada saat-saat penyatuan  dengan selalu melakukan penyucian diri lahir dan batin. Demikianlah jejak Manunggaling Kawula Gusti Ranggawarsita yang setidaknya sedikit banyak mampu memberikan pemantik kesadaran tentang bagaimana membangun hubungan manusia dengan Tuhan dan sekitarnya, agar tercipta kondisi keberagamaan yang sejuk.

 


Like it? Share with your friends!

-1
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals