Bahagia merupakan tujuan hidup semua orang, berbagai macam cara di tempuh demi mencapai kebahagiaan. Di luar sana banyak kita jumpai orang yang menghabiskan hidupnya untuk menemukan kebahagiaan. Berbicara tentang Kebahagian mungkin menjadi sebuah kebutuhan yang sulit dicapai di era modern oleh sebagian orang. Hal ini disebabkan adanya tantangan kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan dan lain-lain yang sulit.
Sebagian orang menyebut bahwa kebahagiaan itu terletak pada harta, sebab jika ada kekayaan, segala tujuannya tentu akan tercapai. Akan tetapi yang berpikiran begini adalah orang yang putus asa dalam kemiskinannya. Karena itu diputuskanlah bahwa bahagia itu pada uang, bukan lainnya. Pemikiran yang seperti ini bersumber dari hati yang kecewa tidak ikhlas menerima keadaan yang dirasakannya.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa bahagia itu terletak pada nama yang mashur. Contoh seorang raja atau presiden yang dihormati oleh rakyatnya, seorang guru besar yang dihormati oleh murid-muridnya. Namun apakah hal itu membuat mereka bahagia? kenapa banyak orang kaya maupun orang mashur yang tersandung kasus yang menyebabkan hidupnya menjadi terhina.
Ada juga orang yang sudah mendapatkan posisi yang enak dalam hidupnya, terkenal dimana-mana. Namun ia memilih untuk meninggalkannya karena dirasa semua itu adalah kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan yang nampak indah di luar namun busuk di dalam, kebahagiaan hakiki itu seperti apa sesungguhnya? Itu yang menjadi pertanyaan filosofis bagi tiap orang yang berpikir.
HAMKA dalam bukunya tasawuf modern menuliskan statement yang singkat namun memiliki makna yang dalam “bahagia itu dekat dengan kita ada dalam diri kita” dalam kalimat yang singkat tersebut HAMKA menegaskan bahwa bahagia itu tidak perlu susah payah dicari sering kali orang mencari bahagia dengan mengorbankan waktu, tenaga, keluarga, bahkan nyawa. Padahal, bahagia itu dekat dengan kita ada di dalam diri kita.
Kata HAMKA, bahagia yang dalam bahasa Arab disebut sa’adah, tidaklah akan didapat kalau tidak ada perasaan qana’ah, qanaah adalah menerima dengan rela akan apa yang ada. Bahagia adalah qana’ah dan qana’ah ialah bahagia. Sebab tujuan utama qana’ah adalah menanamkan dalam hati sendiri perasaan thuma’ninah, perasaan tenteram dan damai, baik di waktu duka atau suka, susah atau senang, kaya atau miskin. Lantaran yang dituntut qana’ah ketenteraman, maka ketenteraman itu pula yang menciptakan bahagia, dan tidak ada bahagia kalau tidak ada qana’ah. Qana’ah dan bahagia adalah satu.
Menurut Hamka, Islam mengajarkan pada manusia empat jalan untuk menuju kebahagiaan. Pertama, harus ada i’tiqad, yaitu motivasi yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri. Kedua, yaqin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga, iman, yaitu yang lebih tinggi dari sekedar keyakinan, sehingga dibuktikan oleh lisan dan perbuatan. Tahap terakhir adalah ad-diin, yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah, penghambaan diri yang sempurna.
Mereka yang menjalankan ad-diin secara sempurna tidaklah merasa sedih berkepanjangan, lantaran mereka benar-benar yakin akan jalan yang telah Allah pilihkan untuknya. Jika telah mencapai pada titik penyerahan total kepada Tuhannya maka kebahagiaan dengan tingkat tertinggi akan diperolehnya yakni kebahagiaan sejati.
Kebahagiaan sejati diperoleh dengan membersihkan, memurnikan dan mempertajam akal. Jika akal semakin sempurna, indah dan murni maka semakin sempurna pula kebahagiaan yang diperoleh. Puncak tertinggi yang dialami akal adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), yaitu mengenal Allah dengan “sempurna”. Capaian seperti ini adalah capaian paling indah dan paling berseri. Tahap puncak inilah yang dimaksud HAMKA sebagai kebahagiaan sejati.
Dengan kata lain orang yang selalu ikhlas menerima semua keadaan yang dirasakannya maka orang tersebut adalah termasuk orang yang bahagia. Jadi tidak perlu mencari kebahagiaan itu dengan segala usaha yang berlebihan. Namun sebenarnya kebahagiaan itu mudah di dapat jika kita sebagai seorang hamba selalu dekat dengan sang pencipta Allah SWT. Inilah sebenarnya kebahagiaan sejati yang banyak tidak disadari, sebagaimana kata HAMKA bahagia itu dekat dengan kita ada di dalam diri kita. Seperti Allah itu selalu dekat dengan kita “dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat leher”(Qaaf:16).
0 Comments