Immanuel Kant merupakan fisuf Barat modern—Jerman—yang lahir di Konigsberg, Prusia Timur tepatnya pada tanggal 22 April 1724 (Lailiy, 2018: 76). Hidupnya dihabiskan di sana dengan menjadi professor di Universitas Konigsberg sampai meninggalnya (1804) (Richard Osborne, 2001: 101). Tercatat ia hidup di masa perang tujuh tahun—saat Rusia menguasai Prusia Timur—dan juga di masa revolusi Prancis, awal-awal karir Napoleon Bonaparte. Ia memperoleh didikan dari Leibniz versi Wolfian, tetapi ia terdorong untuk meninggalkannya karena terpengaruh oleh Rousseau dan Hume. (Bertrand Russel, 2016: 920).
Ia sangatlah konsisten dalam menghasilkan karya tulis seperti artikel/makalah dan buku. Bukan itu saja, ia juga konsisten meyempatkan diri untuk melakukan joging di pagi hari, hingga tetangga Kant mencocokkan arloji dengannya—mengandung maksud, konsistensi joging yang dilakukan oleh Kant sama persis dengan pukul di hari-hari sebelumnya (Bertrand Russel, 2016: 921).
Kant memulai karyanya pada bidang ilmu pengetahun ketimbang filsafat. Pasca gempa Lisbon ia menulis tentang teori gempa bumi, juga menulis tentang risalah angin, dan tidak ketinggalan esai pendek yang mempertanyakan apakah angin Barat di Eropa basah karena melewati Samudera Atlantik. Di awal-awal memang ia memiliki kecenderungan minat di bidang geografi fisik (Bertrand Russel, 2016: 921).
Kiranya ada tiga karya besar dari Kant, di antaranya: 1) Kritik der Reinen Vernunft Reason/The Critique of Pure Reason (Kritik Atas Rasio Murni)—membahas tentang epistemologi yang berhubungan dengan cipta, 2) Kritik der Praktischen Vernunft/The Critique of Practical Reason (Kritik Atas Rasio Praktis)—membahas tentang etika yang berhubungan dengan karsa, 3) Kritik der Urteilskraft/The Critique of Judgement (Kritik Atas Daya Pertimbangan)—membahas tentang estetika yang berhubungan dengan rasa obyektif di dalam subyektif.
Di sini penulis akan berfokus pada etika Immanuel Kant meskipun hanya sekilas karena bagi penulis ada suatu yang menarik dalam etikanya. Dan yang luar biasa salah satu karyanya yang berjudul Kritik der Praktischen Vernunft/Kritik Atas Rasio Praktis disejajarkan dengan The Etihcs Plato dan The Politea Aristoteles (Endang, 1995: 10).
Di bidang etika, Kant telah membuka pengaruh bagi pertumbuhan filsafat di dunia Barat abad XIX. Dalam hal ini ada dua perhatian utama Kant, yaitu alam dan moral, Nature und Sittlichkeit. Ia sangat kagum dan terkesan oleh keteraturan alam atas segala ketetapan hukum atasnya—ini tidak terlepas bahwa Kant merupakan seorang Newton. Bagi Kant moral yang ada di dalam diri manusia juga memilki kesamaan dengan alam. Bedanya alam sebagai dunia fisik telah diteliti oleh Newton sedangkan moral harus perlu diperhatikan secara ilmiah (Endang, 1995: 10).
Bagi Kant moral merupakan suatu yang berasal dari dalam batin manusia dan bukan monopoli dari suatu bangsa maupun agama—moral bukan bentuk aturan dari bangsa melalui UU maupun agama dari teks wahyu. Dari sinilah letak pendasaran Immanuel Kant terhadap etikanya dan ia menamainya dengan imperatif kategoris—ada kehendak baik yang muncul seolah-olah memerintah karena ada perasaan wajib untuk bertindak yang bersifat tidak memaksa (Endang, 1995: 10). Imperatif kategoris Immanuel Kant ini merupakan pengetahuan yang datang seperti kilatan cahaya karena ada keharusan yang muncul secara begitu saja di mana kewajiban itu bersifat niscaya tanpa pengecualian (Magnis, 1997: 146).
Sebagian lagi berpendapat etika Kant bersifat deontologis. Deontologis merupakan aliran etika yang memiliki pandangan suatu perbuatan dikatakan baik, jika tidak mengharap imbalan. Dan ada juga yang mengatakan etika Kant merupakan etika maksim. Maksim merupakan kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia. Kebenaran umum tersebut seperti jujur, tanggung jawab, disiplin, dan sebagainya (Endang, 1995: 13).
Sejalan dengan hal tersebut, Kant menyebut imperatif kategorisnya sebagai hukum besi. Kant tidak mengkelompokkan perbuatan itu baik atau tidak, ia hanya mengatakan hukum rasionalitaslah yang menjadi dasar semua perbuatan yang dilakukan. Berbohong merupakan perbuatan yang tidaklah dibenarkan bahkan sekalipun kepada seseorang yang ingin membunuh teman kita—mengandung maksud bahwa kita harus jujur kepada seorang pembunuh yang akan membunuh orang sekalipun itu sahabat kita yang sedang bersembunyi di suatu tempat yang mana kita mengetahui tempat persembunyiannya (Richard Osborne, 2001: 105).
Semua sepakat bahwa mencuri itu perbuatan yang tidaklah dibenarkan oleh agama maupun bangsa, entah hasil curiannya itu untuk diberikan kepada orang-orang miskin atau sebagainya. Tetapi tidak bagi Kant, apabila mencuri dan hasilnya diberikan kepada orang-orang miskin maka perbuatannya itu dapatlah dibenarkan. Kasus lain misalnya ada seseorang yang berhenti merokok bukan karena ia takut sakit paru-paru, kanker, impotensi, dan sebagainya tetapi ia berhenti merokok karena memang ingin berhenti merokok—tidak bersyarat.
Secara logika etika Kant memang keras dan secara filosofis koheren, akan tetapi apabila dicermati terlihat bebal dalam pengambilan keputusan dan pertimbangan pada umumnya (Richard Osborne, 2001: 105).
One Comment