Perkembangan survei opini publik dalam menilai sebuah isu politik di Indonesia merupakan barang baru. Paling tidak, penggunaan metode ilmiah dengan pendekatan statistika mulai marak menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2004. Bermunculan lembaga seperti CSIS (Centre for Strategic and International studies), LSI (sebelum pecah menjadi dua) atau Fox Indonesia milik Mallarangeng bersaudara, sebagai pemain utama.
Penggunaan lembaga survei menjadi penting bagi para kontestan yang berlaga untuk mengetahui wacana dan persepsi yang berkembang di ranah publik. Penguasaan informasi ini dapat digunakan untuk menyusun metode kampanye dan isu apa yang akan diangkat. Salah satu calon Presiden yang berhasil membangun persepsi positif berdasarkan hal ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejurus demikian, peran lembaga survei sebagai surveyor dapat berkembang menjadi konsultan politik bagi para kontestan.
Seperti disebutkan di awal, penggunaan metode ilmiah menjadi penting guna meminimalisir bias informasi yang dikumpulkan. Sesuai dengan karakteristik sebuah metode ilmiah yang skeptikal, logis, obyektif, konseptual dan empirikal (berdasarkan fakta). Harapannya, hasil survei betul-betul menggambarkan situasi sebenarnya yang dapat diuji kembali dan objektif sehingga data yang dihasilkan dapat menunjang strategi kampanye yang konkret.
Perkembangan selanjutnya, selain melakukan survei opini publik dan sebagai konsultan politik, lembaga survei mulai merambah proses hitung cepat pemilu (Quick Count/QC dan Exit Poll). Awalnya, QC berfungsi sebagai panduan atau sebagai “bocoran awal” siapa yang memenangkan pemilu. Tahapan perhitungan pemilu yang panjang dan lama mengakibatkan QC digunakan sebagai prediksi awal yang dapat diandalkan karena integritas metode perhitungannya. Mungkin karena sebagian masyarakat kita melihat pemilu di Amerika Serikat (AS) dengan rangkaian yang begitu cepat.
Penggunaan metode sampling yang proporsional dengan sebaran populasi data yang dianggap mewakili secara ilmiah dianggap dapat menggambarkan hasil yang sebenarnya. Namun, untuk mendapatkan hasil yang mendekati fakta lapangan diperlukan dua faktor yang saling terkait yaitu, metode ilmiah pengambilan sampling yang tepat dan integritas surveyor (biasa disebut juga sebagai Pollster). Jika salah satu faktor ini terabaikan, maka akan muncul keraguan atas data yang telah dikumpulkan.
Pentingnya integritas Pollster
Beberapa waktu belakangan ini institusi lembaga survei mengalami penurunan tingkat kepercayaan dari publik. Pasalnya dimulai pada pilkada DKI, Sumatera Utara dan Jawa Tengah pada 2017. Bagaimana tidak, hasil survei sebelum pemungutan suara dimulai dibuat jungkir balik dari hasil perhitungan yang sah.
Di DKI, Anies Baswedan memenangkan pertarungan pada putaran kedua setelah menjadi peringkat kedua pada tahapan sebelumnya. Padahal para pollster menjagokan pasangan Ahok-Djarot sebagai pemenang setelah berbagai survei yang dilakukan pada masa kampanye mengindikasikan hal tersebut.
Juga kejadian yang sama di Sumatera Utara, pasangan Djarot-Sihar Sitorus selalu memenangkan survei yang dilakukan. Namun apa lacur, pasangan Edy Ramayadi-Musa Rajekshah memenangkan pertarungan pada perhitungan real.
Jawa Tengah merupakan gambaran yang agak berbeda. Meski tak memenangi kontestasi, pasangan Sudirman Said- Ida membalik prediksi para pollster. Jika dalam survei pendahuluan pasangan ini dianggap tak akan mampu tembus pada level psikologis 20%. Apalagi Jawa Tengah dikenal sebagai basis PDIP. Dengan perolehan suara yang hampir 40%, pasangan ini dianggap sanggup memporak-porandakan PDIP di kandanganya sendiri.
Dari ketiga contoh ini dapat diambil pelajaran dan informasi bahwa di kalangan para pollster telah terjadi bias dikarenakan faktor political positioning yang diambil. Terlihat arah dukungan para pemiliki lembaga survei yang diduga mendukung dan dekat dengan calon tertentu sehingga hasil survei dianggap sebagai suatu strategi penggiringan opini. Jika berbicara lebih teknis dapat dilihat bagaimana margin of erorr (MoE) yang cukup tinggi dibandingkan hasil perhitungan sah oleh KPU.
Bias tujuan ini yang menyebabkan terjadinya penurunan kepercayaan publik dan terjun bebasnya integritas para pollster. Ambil contoh bagaimana para pollster seperti, Yunarto Wijaya (Charta Politica), Burhanuddin Muhtadi (Indikator Politik) dan Saiful Mujani (SMRC) secara terang-terangan menjadi simpatisan salah satu calon presiden. Dengan demikian, kita patut bertanya mengenai integritas hasil quick count bukan sebagai upaya penggiringan opini. Belum lagi faktor buruknya penyelenggaraan pemilu oleh KPU yang menambah kecurigaan.
Tak ada yang salah dengan metodologi survei yang digunakan. Dengan penggunaan stratified random sampling, berdasarkan kaidah statistika dianggap mewakili populasi apalagi dengan jumlah sampel data yang besar sehingga angka MoE menjadi kecil. Dengan demikian, tingkat kepercayaan data meningkat. Namun, para pollster perlu juga membuka sampel TPS yang digunakan untuk penarikan data, agar publik dapat ikut mengawasi dan membandingkan data yang diinput. Biar kepercayaan publik kembali pulih.
Yang menjadi pertanyaan yang sangat penting dijawab adalah apakah keberpihakan politik para pollster mempengaruhi hasil survei? Apakah pantas pollster partisan dijadikan rujukan mengingat rawannya penggiringan opini publik bagi keuntungan pihak tertentu? Lalu apakah kita harus mempercayai hasil survei ataupun quick count?
Saya sendiri akan mempercayainya selama sesuai dengan metodologi ilmiah. Namun, ada baiknya pollster partisan tak diberi tempat di ruang publik. Itu saja.
0 Comments