Sebelum berbicara mengenai tradisi dan modernitas tentu saja terlebih dahulu kita singgung mengenai apa yang dikenal dengan budaya atau kebudayaan. Dalam KBBI kebudayaan adalah “seni hidup yang mengatur kelangsungan hidup dan menjadi pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial”.
Dengan kata lain, kebudayaan adalah suatu yang luas mencakup inti hidup dari kehidupan suatu masyarakat yang dihasilkan dari interaksi sosial antara satu manusia dan manusia lain, antara satu kelompok dan kelompok lainnya, sehingga terbentuk sebuah sistem yang menampilkan identitas masyarakat tersebut sebagai suatu kesatuan. Hal ini merupakan pengertian budaya atau kebudayaan secara luas.
Dari statement di atas dapat kita pahami bahwa tradisi dan modernitas merupakan dua unsur yang berada di dalam satu konsep yang disebut dengan kebudayaan. Lalu yang menjadi pertanyaan yaitu bagaimana suatu kelompok masyarakat mempertahankan sebuah tradisi (suatu kebudayaan) dan merespon berbagai dinamika yang terjadi dalam proses kehidupan sehingga menuntut kepada satu hal yang disebut dengan modernitas? Dan bagaimana mendialogkan keduanya sehingga tradisi tetap terjaga namun masyarakat yang menjaga tradisi juga tidak mengalami ketertinggalan karena tidak mengikuti tuntutan modernisasi?
Dalam sejarah panjang kehidupan manusia, kasus-kasus perbenturan antara tradisi dan modernitas sudah sangat sering terjadi bahkan sudah menjadi tantangan bagi umat manusia untuk mencari sebuah solusi untuk mendialogkan antara keduanya. Sebagai sebuah contoh kecil ialah apa yang digambarkan dalam film Tai Chi Zero dan Tai Chi Hero.
Baca Juga: Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas: Refleksi Film Tai Chi Zero dan Tai Chi Hero
Film ini sangat kental ketika menggambarkan bagaimana perbenturan antara tradisi dan modernitas (teknologi). Atau contoh lain yang sangat dekat dengan kita saat ini yaitu sebuah fenomena baru-baru ini yang dikenal dengan istilah Revolusi Industri 4.0. Adanya Revolusi Industri 4.0 ini menuntut umat manusia untuk peka terhadap teknologi atau bisa juga dikatakan era digitalisasi atau komputerisasi, sehingga mau tidak mau ada perubahan sistem kebudayaan dalam kehidupan manusia.
Di sisi lain, hal ini membawa satu hal positif misalnya segala sesuatu bisa dilakukan dengan mudah dan cepat. Namun di lain sisi juga memberikan konsekuensi tersendiri, misalnya akan mengalami ketertinggalan bagi yang tidak mengikutinya. Dengan adanya hal ini bukan berarti manusia harus meninggalkan apa yang sudah ada dan menjadi tradisi atau kebudayaan dalam kehidupannya, melainkan harus adanya sikap bijak dalam merespon hal tersebut.
Hal serupa juga terjadi dalam sejarah panjang studi Al-Qur’an di dunia muslim terutama terkait dengan bagaimana para sarjana muslim merespon sebuah modernitas yang terjadi dalam perkembangan studi Al-Qur’an. Dalam hal ini Abdullah Saeed dalam bukunya Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach mengatakan bahwa umat muslim dalam hal merespon modernitas atau yang disebut Saeed sebagai modern ideas dapat dibagi menjadi tiga tingkatan kategori, yaitu:
Kategori pertama yaitu, mereka yang berpandangan bahwa tidak perlu adanya perubahan (pemahaman) terhadap apa yang sudah ada 14 abad sebelumnya dan menganggap bahwa modernisasi merupakan sebuah pukulan yang dapat mematikan keautentikan pemahaman Islam itu sendiri.
Kategori kedua yaitu, mereka yang beranggapan bahwa bersikap oposisi terhadap perubahan merupakan hal yang tidak bijaksana dan kontraproduktif apalagi dalam hal ini umat Islam merupakan salah satu peserta yang ikut aktif dalam dunia modern. Kelompok ini mereprentasikan Islam dengan cara yang sesuai dengan orang yang hidup di zaman modern, tetapi mereka juga memberi batasan untuk tidak bertindak terlalu jauh yang dapat mengubah secara signifikan ide-ide tradisional yang dimiliki Islam.
Kategori ketiga yaitu, mereka yang ingin menampikan kembali Islam dengan mempertanyakan aspek-aspek kunci dan tradisi, mengabaikan apa yang tidak relevan dengan periode modern, sambil menekankan apa yan relevan dan berusaha untuk tetap setia pada etos, tujuan, dan nilai-nilai al-Qur’an yang tidak berubah.
Dari beberapa kategori tersebut setidaknya dalam hal ini saya berpendapat bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika ingin mendialogkan antara tradisi dan modernitas sehingga terciptanya sebuah keharmonisan, di antaranya yaitu:
Bahwa sejatinya untuk menciptakan sebuah perubahan apalagi untuk mengubah suatu hal yang sudah tertanam erat setidaknya harus berdasarkan kesadaran bahwa sebuah perubahan tidak dapat diciptakan secara instan melainkan butuh proses panjang untuk melakukan hal tersebut.
Selanjutnya yaitu adanya ketebukaan antara satu sama lain sehingga dapat ditemukan jalan tengah. Dalam hal ini misalnya, kelompok yang memegang erat akan tradisi tidak menganggap sesuatu yang bersifat modern sebagai sesuatu yang harus dihindari, begitu juga sebaliknya bagi kelompok yang memiliki pandangan modernitas tidak menganggap bahwa apa yang berasal dari tradisi lama sebagai suatu hal yang kuno yang harus diperbaharui secara seutuhnya. Terkait dengan hal ini ada kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa Al-Muhafazhotu ala al qadim shalih wal akhdzu bil jadid ashlah.
0 Comments