Mawar Rumi’s Journey Diary

“And you? When will you begin that long journey into yourself?” ~Jalaluddin Rumi3 min


2
2 points

Berjalanlah seorang gadis kecil berumur 6 tahunan di jalanan setapak yang sepi. Ia hanya mengenakan gaun terbaik warna hijau yang ia punya, rambutnya terjepit kebelakang dari kedua arah atas telinga kanan kirinya, ditambah sehelai tas yang melingkar dari pundak kanannya. Sepatu flatshoes hijaunya sesekali melebarkan diri sehingga ia harus berhenti sejenak membenarkannya. Gadis itu berjalan sendirian dengan tenang. Sesekali matanya menyapu sekeliling, menarik nafas dalam dan tersenyum penuh kesyukuran.

Dari depan kejauhan ada seorang bapak-bapak paruh baya yang terlihat ingin mendekat ke arah gadis itu. Selangkah, dua langkah, dan berlangkah-langkah bapak tersebut melangkahkan kakinya. “Hai anak kecil, mau kemana kau berjalan di jalan ini?” tanyanya langsung tanpa prolog panjang.

Kedua mata gadis itu hanya berkedip-kedip pelan untuk merasakan pertanyaan yang baru saja dilontarkan untuknya. “Emm… Aku mau ke suatu tempat. Tempat yang mungkin sudah kau kunjungi sehingga kau sekarang berjalan pada jalan yang aku tapaki ini.” Jawaban Mawar tetap santai.

“Kamu mau ke istana raja? Jangan! Bahaya. Banyak rintangan yang akan kamu hadapi. Apalagi kamu hanya seorang gadis kecil dan sendirian pula. Balik pulang saja, keluargamu mencemaskanmu. Siapa namamu? Dari mana asalmu?”

Gadis itu lagi-lagi terdiam, mengamati cara berbicara bapak-bapak di hadapannya. Tangan kanannya merogoh tasnya, berusaha mengambil sesuatu untuk diperlihatkan kepada bapak-bapak dihadapannya. “Ini…” sodor kedua tangannya yang menyatu. Tergeletak mawar merah yang sudah mekar sempurna dalam kelayuan dan manekin kecil penari sufi.

Bapak-bapak di hadapannya mangut-mangut. Berusaha mencerna apa yang sedang dijelaskan oleh gadis kecil lewat benda yang disodorkannya. “Mawar sufi? Atau mawar Rumi? Kelayuan hidup seperti Darwis?”

“Ahahaha…” suara tawa gadis itu begitu renyah. Serasa kebahagiaan hanya miliknya sendiri. “Paman begitu polos. Otak paman tidak Paman gunakan dengan maksimal. Paman tadi tanya, aku nya jawab pertanyaan, Paman malah bingung. Itulah kenapa Paman balik lagi dari perjalanan Paman. Karena Paman menciptakan rintangan perjalanan Paman sendiri. Namaku Mawar Rumi dari suatu tempat dimana matahari terbit dari timur.”

Burung-burung tiba-tiba berhamburan keluar dari pepohonan yang berderet di sepanjang jalan setapak. Bunga-bunga tercium lebih merekah dengan parfum khasnya. Rumput-rumput lebih menghijau segar. Bapak-bapak yang dipanggil Paman oleh Mawar Rumi itu menjadi tertunduk. Dengan penuh hasrat keingintahuan, Mawar berusaha mengetahui ekspresi Paman di hadapannya. Mungkin ia sadar bahwa ia telah menyakiti perasaan lawan bicaranya.

“Paman kenapa? Adakah kata-kataku yang salah menghujam hatimu? Maafkan aku. Aku hanya menjawab pertanyaanmu. Maaf ya, kalau penjelasanku berlebih. Aku pamit melanjutkan perjalanan saja. Baarakallaah, Paman.” Kaki Mawar Rumi melangkah selangkah berritme pelan. Tambah selangkah lagi. Selangkah lagi.

“Myla…” teriak bapak-bapak yang dipanggil paman oleh Mawar. Otomatis langkah Mawar terhenti. Mawar menoleh ke arah Paman. Paman mendekat ke Mawar, “Kamu adalah Myla, My Little Angel. Nanti kalau di akhirat, jangan lupakan aku ya. Nanti tolong aku. Karena kamu yang bisa menolongku. Jangan lupa untuk selalu menjadi salihah, seperti hakikatnya dirimu.”

Mawar Rumi terdiam penuh selidik. Ia mencoba berfikir alasan kenapa bisa begitu. “Paman, aku cuman seorang anak kecil. Aku bukan wali, bukan juga nabi yang punya syafa’at untuk umat. Aku hanya seorang Mawar Rumi. Sebuah perwujudan keindahan rindu makhluk kepada Tuhannya. Menjamin keselamatan diri sendiri saja aku tak mampu, bagaimana bisa aku menolong orang lain? Paman baik-baik ya, semoga selamat sampai rumah. Mawar pamit.” Mawar tersenyum dan bergegas melanjutkan perjalanan. Melangkahkan kakinya. Lagi.

***

Mawar Rumi sudah berjalan tiga jam dengan beberapa kali meminggirkan ranting-ranting pohon atau sampah yang terbengkalai di tengah jalan. Kini, ia berhenti sejenak. Duduk di bawah pohon rindang dan memindahkan haluan tasnya di pangkuan pahanya. Matanya menangkap dua ekor kelinci yang saling kejar sampai keduanya saling menyusul masuk dalam lubang bawa pohon di seberang jalan. Ia tersenyum.

Bruuaaaaaagghhhh… Mawar Rumi tengak-tengok mencari sumber suara. Ia berdiri, berjalan menjauhi jalan setapak. Matanya terbelalak, ada seorang lelaki yang terpaut lebih tua 3 tahun darinya tersungkur di atas tanah. Asumsinya mengatakan jatuh dari pohon apel. “Mas, ga papa, Mas? Sini-sini ku bantu berdiri.” Gerak cepatnya mencoba membantu berdiri lelaki di hadapannya.

Lelaki itu hanya diam tanpa suara tanpa kata dengan mata yang terintimidasi oleh pertolongan Mawar. Mawar sadar diri dan melangkah menjauh dalam diam sampai kembali ke bawah pohon tempatnya beristirahat semula. Ia menceletuk, “Kok ada ya manusia kayak gitu. Diam aja ga ngomong apa-apa. Apa masih sakit kali yaa?”

“Iya, masih sakit. Kamu siapa? Kok di area sini sendirian, Dek?” tanya yang mengejutkan Mawar. Mawar menengok sigap dan jantungnya berdetak lebih memburu karena kaget. Pikiran Mawar sudah pada lokasi lembah hantu gentayangan, ternyata bukan. Hanya saja sudah ada sosok yang duduk di sampingnya.

“Aku Mawar Rumi sedang dalam perjalanan ke suatu tempat. Oh iya, kenapa Masnya juga di pohon tadi? Kan di sekitar sini ga ada rumah.” Tanya Mawar penuh selidik.

Lelaki tersebut tersenyum dan mengarah pada Mawar, “Aku sama kayak kamu, dalam perjalanan juga. Orangtuaku gak tau kalau aku dalam perjalanan. Aku kabur dengan membawa banyak bekal. Kemarin semua bekal-bekalku dirampok oleh begal tanpa sisa, aku gak bisa menahan lapar lagi dari tadi malam, makanya aku tadi manjat pohon apel biar bisa ku makan apelnya. Belum juga kegapai, udah jatuh aja. Kamu ada makanan yang bisa dimakan gak?”

Mawar Rumi hanya mengamati mas-mas di depannya dan berusaha menelisik lebih jauh maunya apa. Otomatis Mawar Rumi menjawab, “Orang yang dalam perjalanan itu harus membawa yang dibutuhkan saja. Kalau berlebih, bisa raib. Aku tidak membawa makanan, bahkan minum pun aku tidak membawanya. Cukuplah rasaku menikmati perjalanan ini sebagai makananku.”

Mas-mas tersebut langsung berdiri dan meninggalkan Mawar Rumi seraya berteriak, “Jadi, kamu sebenarnya bilang kalau aku masih nurutin nafsu buat makan-minum dan gak ikhlas melakukan perjalanan ini? Kamu itu masih anak kecil yang gaktau apa-apa. Nanti di depan kamu akan ketemu sama begal dan bakalan diambil semua barang berharga yang kamu miliki. Camkan perkataanku ini, anak kecil!”

Mawar Rumi hanya geleng-geleng mendengarkan perkataan itu. Doktrin bahwa anak kecil tidak memiliki daya dalam segala hal ternyata tidak bisa dibantah walau kenyataan sudah turun tangan. Angin berhembus lebih tenang, mendamaikan. Menjalar pada helai-helai rambut yang terlepas dari acuan, mengelus pipi mulus, dan meninabobokan Mawar Rumi di bawah pohon. Lambat laun kelopak mata itu perlahan menutup. Mendamaikan sekujur tubuh Mawar Rumi dan melepaskan jiwa-jiwa inderawi beberapa waktu sampai benar-benar ia merasa segar kembali.

Selamat tidur, Mawar Rumi-Ku. Perjalanan masih panjang. Terima kasih telah menjalani perjalanan apa adanya untuk-Ku. Kau mencintai-Ku dengan ketulusan, maka begitupun juga Aku mencintaimu.~


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
5
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Fianashaa

Warrior

Mawar Rumi adalah seorang mahasiswi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dari fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Kesukaannya dalam dunia tulis menulis dimulai sejak masih duduk di tingkat sekolah dasar. Selain menulis, ia sering bersajak ria tentang rasa yang dirasakannya. For more information, contact @fianashaa in Instagram.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals