Mahatma Gandhi Sang Jiwa Agung Melawan tanpa Kekerasan

Ahimsa atau nir-kekerasan adalah kekuataan yang ampuh daripada semua kekuatan yang brutal. 4 min


Sumber gambar: liputan6.com

Dari banyak masalah kehidupan menyangkut ekonomi, politik bahkan hak asasi, berapa persen orang yang mampu mengatasinya dengan cara-cara yang baik? Dengan cara cinta kasih dan kelemahlembutan? Atau lebih banyak dengan jalan kekerasan? Bahkan hanya untuk menasehati orang-orang agar tidak berbuat tidak baik terkadang menggunakan cara-cara kekerasan.

Hampir mustahil membawa cara damai dalam permasalahan yang menyangkut kehidupan banyak orang. Satu dari sepuluh, saya menemukan sosok yang berhasil mengubah kemarahan dan kekerasan menjadi kasih sayang. Mengubah kebencian menjadi cinta.

Sosok itu bernama Mohandas Karamchand Gandhi atau Mahatma (jiwa yang agung) Gandhi yang dilahirkan pada tanggal 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat. Bagi banyak kalangan, berakhirnya era Perang Dunia II (PD II) diharapkan mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi perdamaian dunia karena selama ini Perang Dunia II sering dituding sebagai biang keladi dari berbagai konflik yang berkembang menjadi peperangan, tapi nyatanya belum benar-benar berakhir dari muka bumi kendati perang secara fisik sendiri telah berakhir selama satu dekade.

Baca juga: Islam dalam Merespons Polemik Toleransi dan Kebebasan Berekspresi

Namun perang-perang lokal yang mengatasnamakan ras, agama, identitas, dan ideologi masih saja terus berkembang. Seakan kekerasan memang sudah menjadi ciri bagi setiap penyelesaian masalah yang berlangsung. Tentu hal ini menimbulkan masalah etis tersendiri, mengingat di tengah-tengah kehidupan yang menjadikan kekerasan sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah. Ada orang-orang yang selalu menyuarakan nilai-nilai kebaikan, keadilan dan perdamaian.

Maka tulisan ini bertujuan untuk melihat kembali bagaimana pemikiran seorang Mahatma Gandhi mengenai aksi-aksi non-violence (tanpa kekerasan atau nir-kekerasan) sebagai prinsip politik etis dan kehidupannya. Gagasan Gandhi ini penting diketengahkan kembali, mengingat gagasan Gandhi ini merupakan gagasan yang unik.

Sebab ketika para pejuang baik itu pejuang kemerdekaan maupun pejuang politik selalu berkobar dengan diiringi gerakan revolusioner yang seringnya mengarah pada kekerasan. Gandhi justru meyakini bahwa satyagraha (tekad kebenaran, tanpa kekerasan) sebagai prinsip sekaligus sarana yang paling tepat untuk mencapai kedamaian, keadilan, dan kemerdekaan. Dengan prinsipnya ini maka Gandhi berbeda dengan tokoh-tokoh yang se zamannya.

Adapun dasar yang melahirkan prinsip Gandhi tentang aksi-aksi nir-kekerasan ini tidak lepas dari nilai-nilai spiritualnya. Sebagaimana yang terungkap dalam otobiografinya yang mengatakan bahwa, nilai-nilai spiritual yang dialami Gandhi awalnya ditangkap melalui pengalaman hidup sehari-hari. Melalui sosok sang ayah, Gandhi melihat nilai kejujuran. Sedangkan dari sang ibu Gandhi belajar tentang kesalehan, kesabaran, kerendahan hati, pengorbanan, kebiasaan berdoa dan berpuasa (Poerbasari, 2007).

Setelah dewasa dirinya kemudian mempelajari Bhagavadgita (Gita), darinya Gandhi mengambil pelajaran bahwa manusia ideal yakni manusia yang memiliki pekerti berciri harmonis, mengabdi kepada kemanusiaan, mengupayakan emansipasi bagi jiwanya, memiliki pengetahuan tentang Atman, dan berbakti kepada Tuhan. Bhagavadgita juga mengajarkan agar manusia memiliki pandangan dalam hidup, di mana nilai-nilai kehidupan seseorang dilihat dari svadharma yang dilakukannya selama ia masih hidup di tengah-tengah masyarakat.

svadharma merupakan tugas, kewajiban hidup untuk mencapai kebenaran, sekaligus yang membedakan seorang dengan orang lainnya. Dengan demikian perbedaan antar manusia tidak terletak pada kekayaan, kelahiran, atau jabatan namun pada kebaktian terhadap Tuhan, bangsa, dan masyarakat (Poerbasari, 2007).

Dari sikapnya di atas, maka Gandhi meyakini bahwa untuk mencapai hidup yang berkeadilan dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Gandhi sangat menyakini pengaruh dari Ahimsa dalam gerak nilai dan kehidupannya. Ahimsa sendiri merupakan hukum dasar bagi kehidupan manusia. Ahimsa berasal dari kata Sansekerta yang bersumber dari ajaran Hindu dengan arti sebagai ketiadaan kekerasan (nir-kekerasan) atau pantang melakukan kekerasan yang dilakukan dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan (Franky, 2019). Atau dalam arti lain Ahimsa dapat berarti tidak menyerang, tidak melukai, dan tidak membunuh.

Bagi Gandhi, Ahimsa merupakan prinsip paling efektif untuk tindakan sosial, karena secara mendalam sesuai dengan kebenaran alamiah sifat manusia akan perdamaian, keadilan, ketertiban, kebebasan, dan harga diri. Dan justru sebaliknya Himsa atau kekerasan jika terus digunakan sebagai solusi dapat merendahkan dan merusak manusia, maka menghadapi kekerasan dengan kekerasan dan kebencian akan menambah parahnya kemerosotan moral (Franky, 2019).

Nir-kekerasan bagi Gandhi adalah esensi kebenaran, nir-kekerasan adalah kekuatan yang sangat aktif dan ampuh di dunia. Seseorang yang dapat menggunakan nir-kekerasan dalam kehidupannya berarti ia menerapkan suatu kekuatan yang lebih ampuh daripada semua kekuatan yang brutal. Memang harus diakui bahwa membawa kebenaran dan nir-kekerasan ke dalam realitas dunia yang serba emosional seperti sekarang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.

Namun sebagaimana dikatakan oleh Gandhi bahwa “prinsip tanpa kekerasan adalah ideal yang tertinggi. Ia diperuntukan bagi mereka yang kuat, bukan para pengecut. Ahimsa adalah atribut para pemberani. Kelemahan dan Ahimsa ibarat air dan api, tak pernah bertemu” (Krishna, 2008). Nir-kekerasan dimulai dengan doa, meditasi, dan puasa, dengan menghindari kekuasaan dalam segala bentuk kekerasan dan penguasaannya, dan tidak menginginkan hasil dengan segera. (Wink, 2009).

Maka tidak heran jika nir-kekerasan yang dikampanyekan Gandhi ini di dalam perkembangannya banyak menginspirasi para pemikir untuk dapat mengembangkan sebuah metode baru untuk menangani kekerasan dan konflik sosial. Salah satu dari pemikir itu adalah Prof Chaiwat Satha-Anand seorang aktivis perdamaian muslim dari Thailand yang coba mengkaji lebih jauh kaitan antara Islam dan nir-kekerasan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Barangsiapa Memelihara Kehidupan” mengatakan bahwa, ada keterpautan antara ide dan gerakan nir-kekerasan dengan Islam.

seperti dalam Q.S. al-Maidah ayat ke-32 yang menjadi inspirasi judul bukunya ini, menekankan pentingnya menjaga kesucian jiwa (Nafs) manusia. Dalam Al-Qur’an, nyawa individu seorang dianggap mewakili semua umat manusia. Membunuh satu nyawa (qatala nafsan) sama dengan membunuh seluruh manusia, sehingga tindakan menahan diri dari kekerasan (membunuh) nyawa orang lain sama dengan memberikan kehidupan dan memelihara seluruh manusia (ahya al-nas).

Baca juga: Resep dari Al-Qur’an untuk Realisasi Perdamaian Dunia

Kisah Habil dan Kabil yang melatarbelakangi ayat Al-Qur’an di atas, juga dikutip Prof Chaiwat sebagai paradigma nir-kekerasan yang bersumber langsung dari Al-Qur’an. Karena sebagaimana diketahui bahwa kisah Habil dan Kabil memperlihatkan kepada kita tentang dua model aksi sosial: yang pertama adalah aksi Kabil yang menghendaki kekerasan sebagai sebuah cara menyelesaikan masalah.

Kedua adalah sikap penolakan saudaranya yang pasifis dengan mengatakan Aku tak akan membunuhmu. Sikap Habil merupakan sikap yang terdapat di dalam diri Muhammad saw dengan mengedepankan sikap yang lebih mulia yaitu, kesabaran dan memaafkan. Walaupun Tuhan melegalkan respon setara terhadap kekerasan dapat diterima dalam Islam mengikuti keadilan retributif, jauh lebih baik untuk sabar dan memaafkan (Satha-Anand, 2015).

Oleh sebab itu seorang penganut Ahimsa yang setia akan mendasari segala perbuatannya dengan rasa belas kasih dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari kekerasan lebih-lebih pembunuhan makhluk yang terkecil sekalipun sehingga dapat dikatakan bahwa Ahimsa bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah ada dalam ajaran besar agama-agama besar dunia dan yang paling dekat dengan diri manusia sendiri, yakni hati nurani. Ahimsa merupakan sifat dasar manusia, dengan bentuk tertingginya adalah ketika manusia dapat mencintai dan mengasihi sesama manusia tanpa mengedepankan kekerasan terhadap makhluk ciptaan Tuhan.

Refrensi

Franky. (2019). Pemikiran Politik Mahatma Gandhi Tentang Ahimsa Dan Satyagraha Terhadap Kekerasan Struktural di Indonesia. Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP Undip Semarang .

Krishna, A. (2008). Menghidupi Kebijaksanaan Mahatma Gandhi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Poerbasari, A. S. (2007). Nasionalisme Humanistis Mahatma Gandhi. Wacana .

Satha-Anand, C. (2015). Barangsiapa Memelihara Kehidupan (Esai-Esai Tentang Nir-Kekerasan dan Kewajiban Islam). Jakarta: PUSAD Paramadina.

Wink, W. (2009). Damai Adalah Satu-satunya Jalan (Kumpulan Tulisan tentang Nir-kekerasan dari Fellowship of Reconcilliation). Jakarta: Gunung Mulia.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals