Ust. Hannan Attaki dan Hadis yang Tidak Perlu Diikuti

"Potongan hadis yang memuat deskripsi tentang postur Aisyah tentu saja termasuk kepada kelompok ini: ia tidak tasyri’iyyah, tidak mesti diikuti..."3 min


6
108 shares, 6 points

“Saya teliti teks-teks tentang Aisyah, ternyata Aisyah itu anaknya cewek gaul, pinter, traveller banget, kurus tinggi, berat maksimalnya sekitar antara 55-60 kg—55 lah. Makanya saya selalu bilang dimana-mana, salah satu ciri perempuan salehah itu beratnya g boleh lebih dari 55 kg. … Nanti baca lagi hadis tentang hadīṡ al-ifki. … Pas di rumah ibu-ibu, pas nimbang itu 56, itu kurang salehah; olahraga lagi…”

Demikianlah transkrip atas perasan dari ceramah Ust. Hannan Attaki. Ia adalah dai muda dengan gaya ceramah yang menyasar kaum-kaum muda. Memang, segmen pendengar yang ditembak oleh sang ustaz adalah para remaja dan kawula Muda.

Jadi dapat dimaklumi jika ia menerjemahkan bahasa-bahasa agama kepada bahasa-bahasanya kaum muda, seperti men-japri Allah, viral di langit, di-follow malaikat, di-likes malaikat Jibril, dan sebagainya.

Yang terbaru adalah tentang kriteria perempuan salehah. Katanya, berdasarkan teks-teks tentang Aisyah, diketahui kalau istri Nabi Muhammad tersebut gaul, pinter, traveller banget, kurus tinggi, dan berat badannya sekitar 50-60 kg.

Lihat, kan, bagaimana ia mengemas ide-ide tentang kesalehan menggunakan bahasa dan imaji tentang perempuan ideal yang populer di kalangan anak-anak muda sekarang?

Semua orang tahu, berat badan itu bisa jadi isu sensitif buat perempuan; paling tidak begitu ia dipersepsikan. Wajar saja jika viral-nya potongan ceramah Ust. Attaki yang ini sedikit berbeda dari yang lainnya. Beragam respons bermunculan, baik yang jenaka atau serius, dari yang positif maupun negatif, dan juga satir tentu saja. Portal islami.co, umpamanya, mengangkat artikel dengan kedua sudut pandang, ada bilang Ust. Attaki hanya guyon, satu lagi menyebutnya bermain-main dengan hadis Nabi.

Metode Hannan Attaki memang menarik, dan guyonannya mungkin saja (tidak?) lucu. Tapi, ada satu lagi yang juga menarik untuk diperhatikan, yaitu cara pengambilan kesimpulan atas hadis yang ia baca. Tema ini sangat penting terutama bagi para pendangar setianya yang awam tentang bagaimana memahami dan mengamalkan sebuah hadis: bahwa tidak semua hadis memiliki konsekuensi syar’i.

Hadis adalah sumber ajaran Islam, setelah Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas/penafsir bagi ayat-ayat Al-Quran, dan terkadang juga menjadi “perpanjangan tangan” Al-Quran dalam syari’at. Ada banyak hukum yang lebih bergantung kepada hadis karena tidak disebutkan atau hanya disebutkan sekilas oleh Al-Quran.

Akan tetapi, tidak semua hadis bisa/harus diamalkan. Syaikh Yusuf Qaradhawi menjelaskan, hadis itu ada dua macam. Yang pertama, tasyri’iyyah, dan yang kedua ghair tasyri’iyyah. Yang pertama adalah hadis-hadis yang memuat informasi-informasi yang menjadi landasan bangunan ajaran Islam secara umum, atau hukum Islam secara khusus.

Yang kedua adalah hadis yang tidak memuat informasi syar’i. Hadis dalam kategori ini tidak menjadi landasan syariat, karenanya tidak perlu diikuti. Hadis-hadis bisa jadi terkelompok kepada non-tasyri’ ini jika ia terkait erat dengan situasi dan kondisi dimana Nabi mengeluarkan sabda tersebut, sehingga ia bersifat kondisional dan situasional.

Hadis kelompok pertama adalah hadis-hadis yang berbicara tentang aqidah, ibadah mahdhah, halal-haram, dsb. Ia menjadi landasar bangunan ajaran agama, makanya harus diikuti. Tapi, perlu digarisbawahi pula, tidak semua hadis shahih dan tasyri’iyyah otomatis harus diamalkan. Kita juga harus memperhatikan penjelasan para ulama terkait ini, karena ada kemungkinan hadis-hadis tersebut ām yang telah ditakhṣīṣ, mansūkh, atau kategori lainnya yang menjadi domain diskusi para ulama.

Adapun hadis kelompok kedua tidak menghendaki peneladanan, karena ia tidak memuat unsur syar’i. Umpamanya hadis-hadis tentang hal-hal teknis seputar kehidupan manusiawi beliau; seperti cara makan, jenis pakaian, postur tubuh, cara berjalan, dan sebagainya.

Pakaian menutup aurat adalah syariat, tapi Nabi menutup auratnya dengan jubah tidak mesti diikuti. Mengonsumsi makanan halal adalah syariat, tapi Nabi rutin makanannya kurma atau roti, dan menggunakan tiga jari tidak harus ditiru begitu adanya.

Aurat dan kehalalan makanan adalah syariat dan hadis-hadis tentang hal itu termasuk kepada hadis tasyri`iyyah yang harus diikuti. Akan tetapi, cara, bentuk, dan hal teknis yang bersifat situasional lainnya tidak harus diikuti apa adanya. Informasi-informasi terkait hal itu termasuk kepada hadis non-tasyri’iyyah.

Kita bisa menyebut banyak contoh di sini. Rambut ikal Nabi, tinggi badannya, jalan beliau yang tidak cepat tapi tidak pula lambat, dan hal-hal semacamnya tidak termasuk kepada syariat. Potongan hadis yang memuat deskripsi tentang postur Aisyah tentu saja termasuk kepada kelompok ini: ia tidak tasyri’iyyah, tidak mesti diikuti, dan tidak menjadi penanda kesalehan.

Surat al-Kahf ayat 110 menyebut: Katakanlah (Wahai Muhammad), bahwa sesungguhnya Aku adalah manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhanmu adalah Tuhan yang satu. 

Manusia dalam ayat itu menggunakan kata basyar. Ada beberapa kata lain yang bermakna manusia dalam Al-Quran, seperti al-Nās, al-Insān, al-Ins, dan basyar. Kata-kata tersebut bermakna sama, tetapi masing-masingnya memiliki kekhususan.

Jika yang digunakan kata basyar, maka maksudnya adalah manusia dalam arti wujud kasar dan luarnya. Kata ini berarti manusia dengan bentuk dan struktur fisiologis dengan fungsi masing-masingnya.

Sederhanya, basyar adalah manusia dengan tubuhnya, serta segala hal yang berkaitan dengannya seperti darah yang mengalir, mata yang menangkap cahaya, kuping yang menerima gelombang, kaki yang berjalan, tangan yang menggenggam, pinggang dan punggung yang menopang tubuh, dan sebagainya.

Sebagaimana disebutkan ayat, bahwa Nabi Muhammad adalah basyar sebagaimana semua manusia lainnya. Karena itulah hal-hal terkait ke-basyar-annya tidak termasuk kepada syariat yang harus diikuti. Yang berbeda dari Nabi Muhammad adalah bahwa ia diwahyukan tentang aqidah, ibadah, dan akhlak. Bagian itulah yang harus diteladani.

Jadi, ibu-ibu yang 70 kg, ga usah khawatir ya!


Like it? Share with your friends!

6
108 shares, 6 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
6
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
2
Tidak Suka
Suka Suka
17
Suka
Ngakak Ngakak
6
Ngakak
Wooow Wooow
7
Wooow
Keren Keren
10
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Fadhli Lukman

Master

Fadli Lukman, S.Th.I., M.Hum., Ph.D adalah dosen Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fadli merupakan alumni Islamic Studies di Albert-Ludwigs-Universität Freiburg Jerman (S3) dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (S1 dan S2).

3 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals