Korupsi, kata yang tidak pernah absen dari telingga kita sejak terbentuknya Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003. KPK dibentuk atas dasar penyempurnaan subsistem dalam pemerintahan Indonesia agar lebih fungsional khususnya dalam penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Telah kita ketahui bersama korupsi merupakan bentuk kejahatan yang tidak hanya merugikan Negara tetapi juga menghambat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Pengkategorian korupsi di jelaskan secara detail diantaranya : korupsi yang terkait dengan kerugian Negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, bentukan kepentingan dalam pengadaan serta korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
Di sisi lain, unsur lingkungan hidup sebagai sumber daya alam menurut UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
Hal ini dapat di artikan bahwa semua kekayaan yang ada dibumi Indonesia, baik yang bersifat biotik (air, tanah, udara, energi surya, mineral), maupun abiotik (manusia, tumbuhan, hewan ataupun mikro organisme) ada dalam satu kesatuan tatanan secara utuh dan menyeluruh yang saling memengaruhi.
Jika dalam satu tatanan terjadi ketidakseimbangan maka akan terjadi kerusakan dalam hubungan timbal balik makluk hidup dengan lingkungannya. Oleh karenanya diperlukan satu sistem pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkeadilan dan berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa ketamakan atas penguasaan Sumber Daya Alam oleh para elit secara “korup”untuk memperkaya diri sendiri tidak sesuai dengan mandat konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat 3, bahwa Negara menguasai seluruh kekayaan Sumber Daya Alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Korupsi Sumber Daya Alam dan Kesejahteraan, adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang kegagalan negara dalam pengelolaan Sumber Daya Alam melalui cara-cara korupsi dengan mengorbankan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Amanat dan mandat didalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tersebut di atas disalahartikan hanya dengan pajak dan royalti yang diambil oleh pemerintah untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Royalti dan pajak pun tidak sebanding dengan kerusakan Sumber Daya Alam dan lingkungan.
Sebagai contoh, data yang di sampaikan WALHI dan JATAM pada tahun 2006, keuntungan Negara dari PT Freeport mencapai $3,8 milyar/tahun namun biaya pemulihan lingkungan mencapai $6,9 milyar/tahun, begitu juga dengan kerugian Negara akibat dari pelepasan kawasan hutan di 7 propinsi di Indonesia untuk pertambangan dan perkebunan diprediksi mencapai 273 trilyun (Kementrian Kehutanan 2011).
Sedangkan menurut catatan KPK dalam siaran pers hasil kajian KPK tentang Kehutanan pada tanggal 3 Desember 2010 lalu, kerugian Negara akibat pertambangan illegal yang tidak segera ditertibkan di 4 propinsi (Kalteng, Kalbar, Kaltim dan Kalsel) sekurang-kurangnya mencapai 15,9 trilyun / tahun dari potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Kasus-kasus korupsi Sumber Daya Alam pada faktanya telah merugikan negara, mengorbankan alam dan lingkungan, memasung kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Negara telah melakukan kegagalan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Enam puluh sembilan tahun sejak kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan oleh para pendiri bangsa, masyarakat adil, makmur dan sejahtera (welfare) sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan dasar Negara Indonesia Pancasila, masih jauh dari harapan, bahkan harus menempuh jalan yang terjal.
Proses ekspolitasi Sumber Daya Alam yang dilakukan dengan cara-cara “korup” yang dimulai sejak orde baru sampai saat ini, justru harus dibayar dengan akumulasi berbagai kesenjangan sosial dan krisis multidimensional. Sumber Daya Alam dikeruk habis, sedangkan masyarakat yang berada di garis kemiskinan tidak pernah berubah secara signifikan.
Menurut Dr. Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM telah terjadi kesenjangan secara struktural, dimana kesenjangan terlembagakan dan terperangkap melalui rangkaian sistem dan kebijakan yang tidak adil.
Oleh karenanya, kelompok masyarakat yang lemah kehilangan kemampuan dan akses untuk membebaskan diri dari perlakuan tidak adil. Hal ini dipicu oleh ketidakadilan dalam hubungan produksi, antara majikan dengan buruh, pusat dan daerah serta MNC dan Negara. Kesenjangan ini diibaratkan seperti Champagne Glass Distribution, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Negara dan para pemilik modal memperlakukan Sumber Daya Alam layaknya alat produksi untuk menciptakan keuntungan yang setinggi-tingginya untuk kepentingan kelompok elit dan individu, sehingga berimplikasi pada kesenjangan yang semakin lebar di negara yang kaya akan Sumber Daya Alam.
Korupsi bagaikan virus yang telah masuk kesemua lini, dari hulu sampai hilir. Dari Sumber Daya Manusia sampai ke Sumber Daya Alam. Mental bangsa semakin tak berdaya dalam sistem pemerintahan yang “korup”. Sumber Daya Alam sebagai aset bangsa untuk menjaga keberlangsungan ekosistem menuju kedaulatan rakyat yang adil, makmur dan sejahtera mengalami degradasi dan deforestasi yang semakin parah. Keseimbangan ekosistem tidak mampu lagi dijaga yang menyebabkan intensitas berbagai bencana ekologis terus meningkat dari waktu kewaktu.
Korupsi Sumber Daya Alam harus dihentikan, mengembalikanmandat Negara untuk menguasai dan mengelola Sumber Daya ALam secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
0 Comments