Kekerasan, sikap separatis-ekslusif dan sikap primordialistik, muncul ke permukaan seperti pohon yang kian hari makin menjulang tinggi di angkasa.Pohon itu memang tumbuh tinggi, namun kurang memberi manfaat kepada lingkungan sekitar. Justru menjadi benalu bagi pohon-pohon lain, yang hendak tumbuh menjulang ke langit menuju cahaya matahari.
Abstraksi semacam itu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh M. Amin Abdullah, yaitu pemikiran keagamaan yang bercorak spekulatif (seperti: perdebatan soal dosa kecil-dosa besar, perdebatan mukmin-kafir dst.) sangat riskan terjerumus kepada perilaku sosial ta’fiyyah—madzhabiyyah—hizbiyyah (sektarian-parochialistik-primordialistik).Manifestasinya dalam kehidupan sosial ialah mudah melontarkan tuduhan kafir (takfir), murtad, munafiq, bid’ah terhadap orang, golongan atau kelompok lain yang tidak semadzhab, sepaham, segolongan, sekelompok dan apalagi yang berbeda agama.
Baca juga: Tidak Semua Bid’ah Itu Sesat
Penghayatan agama yang berkurang urgenitasnya tersebut pada akhirnya menjadikan perilaku kekerasan muncul di permukaan. Sebab pendekatan yang dilakukan hanya menggunakan teks-formal-simbolistik saja.Penghayatan agama yang hilang dari seorang muslim, misalnya, bisa menyebabkan rasa religiusitasnya juga berkurang—bahkan hilang.
Keadaan seperti inilah yang sering disebut sebagai ‘kegersangan hati’. Oleh sebab itu, untuk mengembalikan dan menyuburkan kegersangan hati, butuh yang namanya ‘siraman rohani’.
Namun perlu dipahami, ‘siraman rohani’ tidak musti harus dengan cara mendengarkan ceramah, melakukan kajian-kajian keagamaan. Melainkan melalui pendekatan lain, yaitu dengan cara membuat, menyusun dan menggubah sebuah puisi. Inilah yang disebut Paul Tillic, seorang filosof profetik, sebagai pendekatan religiusitas agamis dan non-agamis.
Baca juga: Memaknai Puisi Sama dengan Memaknai Kehidupan
Dalam hal ini Gus Dur juga sepakat, bahwa penghayatan keagamaan (baca: keimanan) tidak musti didapatkan dengan mendengarkan khotbah agamawan atau diskusi pemikiran keagamaan saja. Melainkan, lebih jauh lagi, Gus Dur memberikan penjelasan bahwa seorang penyair cilik macam Mohammad Sofyan dan Avida Virya bisa saja menjadi lebih dekat kepada Tuhan, karena penghayatan yang ada di puisinya.
Beginilah puisi dari Muhammad Sofyan:
Bila Kau hendak memanggil
panggil aku sendiri
Bila Kau hendak memberi
jangan aku sendiri.
Sedang Puisi dari Avida Virya iyalah:
Aku mendengar
Tuhan berkata
engkau tak perlu gelisah
mama-mu akan memberimu
bahkan lebih baik lagi.
Kedua puisi di atas, menurut Gus Dur mencerminkan kedekatan seorang anak dengan Tuhan. Bahkan Gus Dur membela mereka dengan menyatakan bahwa “Tuhan pun akrab dengan mereka.”
Gus Dur juga mengisyaratkan bahwa masalah dasar bangsa ini (pen. Indonesia) bisa teratasi kalau warga bangsa memiliki wawasan transendental yang kaya, yang memungkinkan mereka menemukan harkat manusia.
Sedangkan religiusitas menurut Paul Tillich,disebut sebagai ‘dimensi kedalaman’. Manusia bisa menjadi religius karena dengan penuh kerinduan menanyakan tentang eksistensinya dan sangat menginginkan memperoleh jawaban, sekalipun jawabannya akan ‘menyakitkan’.
Artinya, seorang religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih dalam daripada batas lahiriah saja; yang bergerak dengan dimensi vertikal dari kehidupan ini; dan mentransendensikan hidup. Y.B. Mangunwijaya dalam sisi yang lain mengatakan bahwa agama tidak lebih hanya lembaga (institusi) kebaktian kepada Tuhan.
Islam dan Puisi
Sedangkan Abdul Rozak yang mengutip ungkapan William James memberikan tanda bahwa puncak dari pengalaman estetis adalah penghayatan manusia dengan sepenuh jiwa terhadap pelaksanaan “institusional religion”.
Pernyataan ini menunjukan bahwa pendekatan non-agama merupakan cara lain yang bisa dijadikan sebagai jalan menuju entitas Suprarasional—Tuhan. Kebangkitan religusitas yang timbul dari pendekatan non-agama selalu dilandasi oleh keinginan baik untuk berbuat suatu kebaikan pada sesama mahluk. Sedang Muhammad Abduh memberikan kuncinya; setiap perilaku yang baik akan membawa kepada jalan yang baik. Dan, kebaikan akan menuju kepada Tuhan. (Abdul Wachid B.S. : 2005).
Sebenarnya, konsep pendekatan religiusitas agama dan non-agama terdapat juga di dalam Islam. Konsep ini terdapat pada terma ayat qauliyah dan qauniyah. Qauliyah secara sederhana adalah wahyu yang diturunkan kepada nabi melalui malaikat Jibril (atau sekarang kita kenal sebagai kitab suci Al-Quran). Sedangkan qauniyah ialah ayat-ayat Tuhan yang tidak ter-teks-kan, ia berada melalui tanda, alam dan kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita. Dua jalur ini bisa dilewati untuk menemukan hakikat Tuhan (religiusitas).
Baca juga: Membaca Al-Qur’an dan Alam
Sedangkan puisi menurut H. B. Jassin adalah suatu karya sastra yang diungkapkan dengan sebuah perasaan yang di dalamnya mengandung suatu pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan.
Puisi identik dengan penghayatan akan suatu ‘tanda’, ‘alam’, dan ‘kejadian’. Nasr Hamid Abu Zaid juga menyatakan bahwa puisi sangat dekat dengan wahyu (Al-Quran)—dekat dalam artian sebagai proses komunikasi. Hanya saja, oleh para cendekiawan muslim klasik, pembedaan antara puisi dan Al-Quran dikentarakan melalui pengistilahan-pengistilahan.Misalnya, istilah bait dengan ayat, dan qashidah dengan surat. Satu hal yang sebenarnya tidak boleh dilupakan adalah satu-satunya ontologi (pengetahuan) yang dimilki oleh bangsa Arab adalah puisi.
Baca juga: Al-Qur’an Berwajah Puisi dan Al-Qur’an Bacaan Mulia H. B. Jassin
Dari sini bisa disarikan bahwa kekerasan, separatis-ekslusif dan ‘sikap kurang baik’ lainnya sebenarnya bisa dinetralkan dengan upaya penghayatan agama secara serius dan berkelanjutan. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan cara sederhana namun penuh makna, yaitu membuat, menggubah atau mengarang puisi. Tentunya sebagai jalan menuju penguatan kapasitas religiusitas per-individu—yang implikasinya pada kesalehan sosial. seperti apa yang dijelaskan Gus Dur, seorang penyair cilik bisa lebih dekat pada Tuhan karena mereka suka bercengkrama dengan-Nya.
“Tuhan saja akrab dengan mereka, kenapa kita tidak?” Atau, “Kenapa perlu ‘bersikap kasar’ jika ‘berlemah lembut’ bisa?”Artinya, Puisi akan sangat bermakna secara aksiologis jika diarahkan pada dimensi transendental. Terlebih-lebih jika diarahkan pada dua entitas pokok, yaitu humanisme-transendental. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment