Seperti biasa, Radio Kota Perak Yogyakarta setiap pagi jam 05.00-06.00 menyiarkan rekaman ceramah Ustadz Anwar Zahid. Ustadz yang satu ini bila mengisi pengajian di berbagai forum, baik pengajian umum maupun pengajian di pesantren dalam rangka pelepasan alumni, misalnya, selalu didokumentasi.
Salah satu pesan Ustadz Anwar Zahid kepada santri dan walisantri, “Sekolahkanlah anakmu di pesantren; jangan pesantrenkan anakmu disekolah. Masukkanlah anakmu ke pesantren yang menyelenggarakan sekolah, insyaAllah kelak menjadi orang yang sukses.”
“Anda pernah mendengar berita tawuran antar remaja, antar siswa sekolah SMP dan SMA, akan tetapi pernahkah anda menyaksikan tawuran antar santri pondok pesantren?”
Berapa banyak alumni pesantren yang hidup sukses di masyarakat. Ukuran suksesnya bukan kaya harta atau punya jabatan, akan tetapi hidup secara benar.
Berapa banyak orang yang pintar tetapi keblinger. Apakah para koruptor itu orang bodoh atau pintar? Kalau bodoh tentu tidak dapat melakukan korupsi.
Orang yang bodoh itu bukan orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Kalau tidak bisa membaca janganlah dikatakan bodoh; cukup dikatakan ia tidak bisa membaca. Begitu pula orang yang tidak bisa menulis.
Orang bodoh ialah orang yang selalu salah pilih.
Anda pilih punya anak yang pintar tapi nakal ataukah anak yang tidak nakal tapi bodoh?
Kalau anda memilih punya anak pintar dan tidak nakal, itulah pilihan yang tepat; pilihan orang cerdas. Jangan sampai kelak anda mempunyai anak yang tidak pintar lagi nakal. Na’udzubillah.
Masih menurut Ustadz Anwar Zahid, manusia itu ada tiga golongan, yaitu: (1) manusia bodoh; (2) manusia cerdas; dan (3) manusia nggragas (tamak). Seseorang termasuk golongan pertama, kedua, atau ketiga dapat diketahui dari cara dia menentukan pilhannya.
Jika ditawarkan sebuah hadiah, apakah anda memilih koper ataukah tas kresek? Bila dengan serta-merta anda memilih koper, berarti anda nggragas, tamak, karena anda semata-mata terpukau oleh wujudnya, bukan isinya, padahal koper itu isinya cuma setumpuk kertas bekas.
Jika tahu bahwa di dalam tas kresek itu ada setumpuk uang seratus ribuan, niscaya anda memilihnya. Jika demikian anda cerdas. Dan bilamana anda tidak memilih salah satu dari kedua hadiah itu berarti anda bodoh.
Pesan lembaga konsumen, “teliti sebelum membeli.” Jangan memilih barang atas dasar wujud luarnya saja tanpa mempertimbangkan isinya. Anda akan menyesal nantinya.
Kita dididik untuk berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Terlalu banyak penjungkirbalikan fakta di negeri ini. Yang salah dibela dan yang benar dimasukkan penjara. Benar dan salah lalu jadi monopoli penguasa.
Benar kata Hitler, “Kesalahan yang disuarakan berulang-ulang dan terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran.” Benar pula kata Muhammad Abduh, “Suatu kesalahan tak akan menjadi kebenaran karena perjalanan waktu.”
Kata bijak Raden Ngabehi Ronggowarsito, pujangga Kraton Surakarta, “Amenangi jaman edan. Yen ora melu edan ora keduman. Sakbegja-begjane wong edan isih begja wong kang eling lan waspada…”
Dalam konteks pilpres anda harus memilih salah satu pasangan calon presiden secara cerdas, dengan mempertimbangkan berbagai aspeknya. Perhatikan visi, misi, program, tim pendukung, dan trackrecord kedua pasangan capres secara objektif, jernih, dan saksama.
Pilih pasangan capres no 01 atau 02?
Tidak menggunakan hak suara (golput) dalam pilpres itu menguntungkan kawan atau lawan?
Bila anda tidak memilih salah satu dari keduanya berarti anda lebih dari sekadar bodoh. Politik adalah pisau bermata dua. Baik dan buruknya nasib suatu bangsa adalah di tangan pemimpinnya.
Ustadz Abdul Somad berpesan, “Jangan golput! Kalau kita yang waras ini golput, sementara yang gila memilih, maka sebenarnya kita telah menyerahkan negeri ini kepada orang gila. Dan kita lebih gila dibanding yang gila!”
Titik lemah praktik demokrasi modern dengan prinsip “satu orang satu suara” ialah bahwa setiap kepala mempunyai hak bersuara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya. Jadi, isi kepala Profesor disamakan dengan isi kepala orang gila.
Apakah mempraktikkan sistem demokrasi modern “satu orang satu suara” itu tidak bertentangan dengan sila ke empat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan?
Pastinya, Pilpres langsung oleh seluruh Rakyat Indonesia ongkosnya amat sangat tinggi sekali, baik secara moril maupun materil, dibandingkan dengan sistem permusyawaratan/perwakilan.
*Pilpres LUBER & JURDIL, yes!*
*Golput, no!*
0 Comments