Di dunia Barat salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam permasalahan hadis adalah polemik terkait otentisitas. Apakah ia berasal dari sang Nabi atau tidak. Dalam hal ini, orientalis yang mengkaji hadis bisa dibagi ke dalam tiga kelompok: (1) kelompok skeptis, (2) kelompok non-skeptis (sanguine), dan (3) kelompok mereka yang mencari posisi middle gorund.
Studi hadis di Barat dimulai oleh orientalis asal Jerman bernama Aloys Sprenger (w. 1893) yang mengekspresikan sikap skeptisnya terhadap otentisitas hadis. Hadis, menurut Sprenger, adalah sekumpulan cerita singkat atau cerita bohong tetapi menarik. Pendapatnya ini diamini oleh William Muir (1819-1905). Ia menyatakan bahwa, hadis merupakan kebohongan-kebohongan dan keganjilan yang diriwayatkan oleh para perawi dengan mencatut nama sang Nabi.
Orientalis lainnya yang bisa dimasukkan dalam kelompok ini adalah Henri Lammens (1862-1937), Leone Caetani (1869-1929), dan Josef Horovitz (1874-1931). Lammens dan Caetani berpendapat bahwa sanad muncul jauh setelah matan ada dan merupakan fenomena internal dalam sejarah perkembangan Islam. Lammens menambahkan bahwa semua hadis Nabi adalah palsu. Adapun Horovitz, berpandangan bahwa sanad hadis baru diperkenalkan pada akhir abad pertama Hijriyah yang dipengaruhi oleh tradisi oral dalam tradisi Yahudi.
Sebelum mereka juga ada Ignaz Goldziher (1850-1921) yang menyatakan bahwa hadis yang terdapat dalam kitab kanonik tidak dapat dikatakan sebagai dokumen sejarah perkembangan Islam. Hadis, menurutnya hanyalah bentuk tendensius yang muncul belakangan di bidang agama, sejarah sosial serta lainnya pada Abad ke-2 dan 3 Hijriah. Hadis, lanjut Goldziher, adalah konsekuensi dari jurispundensi yang berbasis logika (ra’yu).
Goldziher menuai pro dan kontra atas pendapatnya. Salah satu orientalis yang mengkritik adalah Fuat Sezgin. Sezgin berusaha menunjukkan bahwa koleksi hadis pada abad ke-3 Hijriah bukanlah hasil dari awal penulisan hadis sebagaiamana yang dipahami Goldziher. Menurutnya, hadis adalah kelanjutan dari sebuah penulisan yang dimulai sejak masa Nabi.
Di sisi lain pendapat Goldziher mendapat dukungan dari rekannya, Joseph Schacht (1902-1969). Menurutnya hadis yang disandarkan kepada Nabi dan sahabat secara umum harus dianggap fiktif dan hadis yang disandarkan kepada tabi’in sebagian besar tidak ontentik. Terhadap pendapat Schacht ini, kalangan orientalis ada yang mengamini juga ada yang mengkritiknya.
Kalangan yang mendukungnya antara lain Robert Brunschving, Patricia Crone, David S. Powers, Rafael Tamon, dan Norman Calder. Adalah Gautier H. A. Juynboll, orientalis Belanda yang mengembangkan teori Schacht menjadi suatu teori baru, yakni teori common link.
Singkatnya, common link adalah seorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadis dari seseorang yang memiliki wewenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid kebanyakan dari mereka untuk menyiarkan lagi kepada dua atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid.
Adapun kelompok yang mengkritik pendapat Schacht, di antaranya adalah Noel Coulson, Michael Cook, Uri Rubin, John Burton, Johann Fück, dan Harald Motzki. Burton berpendapat bahwa, keliru jika harus menolok semua hadis dan menganggap semuanya palsu.
Adapun Fück, ia berargumen bahwa para sahabat otoritatif yang sering disebut dalam sanad adalah para sahabat yang masih muda. Kemudia ia mencotohkan, sebagian besar hadis lebih banyak disebutkan oleh Abu Hurairah dan Ibn ‘Abbas daripada Abu Bakar atau Usman. Alasan Fück adalah, karena para sahabat lebih tua mestinya memilki banyak informasi dari Nabi Muhammad.
Menurutnya, jika seluruh sanad dianggap palsu, maka akan sangat memungkinkan kalau para sahabat yang lebih tua lebih sering disebut-sebut. Dengan kata lain, kalau seseorang mendapatkan kesusahan untuk membuat sanad, mengapa tidak menyandarkannya saja kepada mereka yang lebih tua, yakni para sahabat yang dihormati? Karena para periwayat tidak melakukan hal itu, maka boleh jadi sanad-sanad tersebut adalah otentik.
Pendapat Schact juga dibantah oleh Motzki. Ia membantah pendapat Schacht dengan pendekatan traditional-historical yang mengatakan bahwa sanad cenderung membengkak jumlahnya ke belakang. Ia juga berpendapat bahwa sanad yang paling lengkap adalah yang paling belakang, serta menyanggah Schact bahwa semua hadis palsu.
Perdebatan di atas tidak bisa dilihat dengan sebelah mata. Deskripsi singkat mengenai polemik kajian hadis di dunia Barat di atas setidaknya menyadarkan kita untuk tidak dengan gegabah menjustifikasi dan melakukan generalisasi atas kajian para orientalis tersebut. Karya orientalis dalam bidang kajian hadis juga tidak bisa diremekan atau ditolak mentah-mentah. Secara objektif tentu sangat naif menolak suatu tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut dan menghargainya.
Studi orientalis tersebut adalah hasil dari ketekunan mereka sehingga terlahir beberapa karya yang memberikan sumbangsih bagi kemajuan studi hadis di lingkungan Islam maupun di Barat sendiri.
Bagi penulis sendiri ada dua buah karya orientalis yang patut diapresiasi. Pertama, Al-Mu’jam al-Mufahras lialfaz al-Hadis an-Nabawi karya sejumlah orientalis yang dipimpin oleh A.J. Wensinck (1882-1939), orientalis asal Belanda.
Karya kedua adalah A Handbook of Early Muhammadan Tradition karya A. J. Wensinck. Karya ini terbit pertama kali pada tahun 1927 dengan bebahasa Inggris sekaligus diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan dikoreksi oleh Fu’ad ‘Abd al-Baqi dengan judul Miftah Kunuz as-Sunnah yang diterbitkan oleh Lajnah Tarjamah Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah.
Sumber bacaan:
Hasan Hanafi, Oksidentalisme Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina, 2003.
Helmi Maulana, “Problematika Hadis Ba’da Tadwin (Kritik Orientalis, Pandangan Oksidentalis Terhadap Hadis, dan Inkar al-Sunnah),” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Alqur’an dan Hadis, Vol. 11, No. 1, Januari 2010.
Lutfi Rahmatullah, “Otentisitas Hadis dalam Perspektif Harald Motzki”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Alqur’an dan Hadis, Vol. 7, No. 1, 2006.
One Comment