Dekonstruksi Derrida dan Relevansinya di Hari Ini

Dekonstruksi dari Derrida ini akan selalu relevan pada hari ini selama keberingasan telah menjadi sebuah kewajaran.4 min


1
Sumber gambar: pewartanusantara.com

Suatu hari selepas kuliah, saya pernah menanyakan kepada kawan-kawan saya, begini: “Derrida dan Dekontruksi itu seperti apa, sih?” Beberapa kawan saya mengatakan bahwa memahami Derrida itu mumet, njimet, tak pernah selesai. Tapi apakah benar demikian? Saya jadi meragukan ke-mumet-njlimet-an dan ketidakselesaian yang kawan-kawan ucapkan pada saya. Baiklah, mari saya ajak berkenalan dengan Derrida dan konsep Dekonstruksi sesingkat-singkatnya, sebisa-bisanya.

Mengenal Derrida

Seorang pemikir yang merayakan ulang tahunnya setiap tanggal 15 Juli ini dilahirkan di kota El-Biar dekat Aljir di Negara Aljazair yang saat itu masih membeku di bawah jajahan Prancis pada tahun 1930. Pemikir ini  bernama Jacques Derrida (Hardiman, 2015). Negara yang belum merdeka, penuh gejolak dan penuh kekerasan itu yang menemani Derrida hingga dewasa. Namun hal itu tak menjadi penghalang langkah Derrida kecil untuk menemui takdirnya sebagai seorang pemikir besar. Derrida kecil sudah berjabat tangan dengan Rousseau, Gide, dan Nietzsche melalui karya-karya mereka.

Baca juga: Si Gila dan Riwayat Pemikirannya yang Spektakuler

Di usia ke-22, Derrida masuk ke Ecla Normale Superieure, sebuah sekolah bergengsi yang banyak meluluskan filsuf di Prancis. Di sekolah itu Derrida mulai berkenalan dengan dosen cum pemikir-pemikir terkenal, seperti Louis Althusser, Michael Foucault, Pierre Bourdieu dan lain-lain. Derrida juga sempat menjadi asisten dari Paul Ricoeur di Universitas Paris I Sorbonne-Pantheon, lalu setelah itu ia kembali ke Ecole Normale sebagai pengajar di sana. Derrida sebenarnya hampir saja mendapat nominasi untuk menggantikan Paul Ricoeur di Universitas Nanterre, namun keadaan mengatakan lain. Mentri pendidikan Prancis saat itu menolak Derrida mendapatkan kedudukan tersebut, sehingga Derrida lebih sering bertandang ke Amerika Serikat. Mulai dari sanalah Derrida menjadi pemikir besar yang hingga kini namanya dikenal di kampus-kampus bahkan hingga di tongkrongan mahasiswa filsafat.

Dalam hal pemikiran, Derrida mengakui bahwa pemikirannya memiliki benang yang saling berjalin-kelindan dengan Heidegger, Nietszche, Adorno, Levinas, Freud, dan Saussure. Hal tersebut dapat ditelusuri dari esai-esainya dan pembawaannya terhadap teks-teks filsafat (Al-Fayyadl, 2005). Karena pengaruh dari tokoh-tokoh tersebut, nama Derrida menjadi pantas disandarkan pada jajaran pemikir posmodernisme. Sayangnya, setiap manusia—meminjam istilah Heidegger—selalu berada-menuju-kematian. Derrida meniupkan napas terakhirnya pada 9 Oktober 2004. Jasadnya telah membumi, begitu pun pemikirannya yang kini juga membumi di mana-mana, termasuk di Indonesia.

Mengenal Dekonstruksi Derrida

Saat bertanya kepada kawan-kawan saya tadi, sebagian ada yang mengatakan bahwa Derrida itu masyhur namanya karena teori “Dekonstruksi”-nya. Lalu apa dekonstruksi itu sendiri? Sepertinya mendefinisikan dekonstruksi adalah kesia-siaan, karena dalam KBBI sendiri, dekonstruksi berarti penataan ulang. Begitu pun jika kita mendefinisikan kata dekonstruksi-nya Derrida, berarti kita memfinalkan makna dekonstruksi itu sendiri dan secara tidak langsung kita mengkhianati Derrida. Sulit memang. Tapi secara ringkas dapat saya sampaikan, bahwa dekonstruksi merupakan cara berpikir untuk menghantam apa-apa yang terlanjur mapan dan mendominasi.

Dekonstruksi merupakan suatu bentuk penghalauan sekaligus penolakan terhadap filsafat barat yang saat itu memiliki pandangan metafisika kehadiran dan logosentrisme. Metafisika kehadiran ini menjadi embrio bagi lahirnya logosentrisme. Oposisi biner menjadi akibat dari kecenderungan logosentrisme yang menaruh kepercayaan penuh terhadap akal atau rasio. Oposisi biner ini dapat teraplikasikan pada suatu hal yang saling beroposisi atau berlawanan, seperti: laki-laki – perempuan, pandai – bodoh, siang – malam, tinggi – rendah, dll.

Adanya oposisi biner tersebut memiliki konsekuensi yang bisa berakibat fatal dan brutal. Pasalnya dari dua kutub yang saling berlawanan tersebut, pada akhirnya mengimplikasikan ada sesuatu yang superior dan yang inferior. Mendominasi dan didominasi. Fatalnya, hal tersebut juga mengamini adanya penindasan dan penjajahan. Misalnya, dalam kultur kita masih menganggap bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan, akhirnya laki-laki dengan mudah mendominasi dan mengintervensi perempuan. Dalam hal ini, jelas laki-laki mendominasi perempuan. Begitulah konsep filsafat barat—termasuk di dalamnya kaum strukturalis—yang memandang sebuah teks sedemikian rupa.

Cara Kerja Dekonstruksi

Karena keresahan tersebut, Derrida hadir menawarkan konsep dekonstruksinya. Lalu, apakah dekonstruksi adalah usaha untuk membalik tatanan oposisi biner, seperti laki-laki yang mendominasi perempuan, menjadi perempuan yang mendominasi laki-laki? Tentu tidak. Dekonstruksi hadir untuk menjunjung keterbukaan, keragaman, kesetaraan, dan menghormati segenap perbedaan.

Proyek teori dekonstruksi Derrida ini berfokus pada kemapanan dan kefinalan sebuah interpretasi terhadap teks. Langkah awal dalam mendekonstruksi teks tentu meneliti teks tersebut secara serius, sehingga dapat mengetahui apa yang maksud dari teks tersebut. Jika hal tersebut sudah beres, langkah selanjutnya adalah mengembangkan aspek-aspek kontradiktif agar menemukan sebuah pemahaman baru. Dari kontradiksi-kontradiksi tersebut, meski sekecil apapun, akan selalu melahirkan kemungkinan baru, yang mungkin sebelumnya tak terpikirkan sama sekali.

Setiap teks selalu berpotensi untuk mendekonstruksi dirinya sendiri, sehingga teks selalu dapat terbaca dan terpahami dengan cara berbeda. Oleh karena itu tak boleh ada tafsir atau interpretasi yang bersifat otoritatif, bahkan memutlakkannya. Karena jika sesuatu itu menjadi otoritatif dan mutlak, otomatis klaim kebenaran akan selalu bersandar padanya. Klaim kebenaran tersebut yang selalu menjadi senjata untuk menyerang liyan yang berbeda penafsirannya terhadap teks tersebut. Dengan demikian, potensi memaknai teks dengan konteks yang berbeda selalu secara terus-menerus dan penetapan makna tak dapat bersandar pada satu kebenaran.

Untuk memahami Derrida, kiranya perlu kita memahami konsep difference. Kata difference itu terdiri dari dua kata, yaitu: membedakan (to differ) dan untuk menunda kepastian (to defer). Maksudnya adalah kebenaran dan makna dalam sebuah teks harus terus dibedakan serta ditangguhkan kepastiannya (Royla, 2003). Nah, jika  kebenaran dan makna teks harus selalu dibedakan serta ditunda, apakah kebenaran itu ada? Ya, begitulah memahami Derrida. Pada dasarnya, jika mengacu pada dekonstruksi Derrida, maka kebenaran tak akan ada. Penerapan Dekonstruksi Derrida ini bisa saja dengan radikal, hanya saja konsekuensinya tentu mengarahkan seseorang pada arah kenihilan. Tapi pada tataran tertentu, penerapan dekonstruksi ini sangat baik, menurut saya, di kehidupan sehari-hari. Mengapa?

Baca juga: Post-Strukturalisme: Mengapa Strukturalisme tak Selesai?

Relevansi Dekonstruksi Pada Hari Ini

Saling tuding dan saling menilai yang lain mungkin sudah membudaya di Indonesia, apalagi di jagat sosial media: sangat beringas! Jika ada seseorang yang memiliki pemahaman berbeda, bukannya mengklarifikasi, menanyai, atau menghormati, yang ada justru main tuding, mencaci-maki, dan parahnya hingga mendiskriminasi. Oke, meski tidak semua orang Indonesia begitu, namun tidak sedikit pula yang melakukan hal tersebut. Apa penyebabnya? Ya, sudah pasti dan gamblang. Adanya klaim terhadap kebenaran; menyepakati hingga memfinalkan sebuah interpretasi; serta kepongahan kita, jika telah merasa sebagai mayoritas.

Bayangkan jika Derrida hidup saat ini di Indonesia. Pasti beliau akan mengguncangkan klaim-klaim tersebut, atau bahkan mayoritas akan menudingnya juga atas nama “klaim” kebenaran yang telah terlanjur mapan. Padahal jika kita menilik lagi, konsep dekonstruksi ini bisa menjadi alternatif lain agar konflik yang berawal dari rasa saling tuding dan menunda rasa “paling” memiliki kebenaran untuk waktu yang tak terbatas, atau lebih radikal lagi bahwa tak ada yang namanya kebenaran itu. Sepertinya konsep Dekonstruksi dari Derrida ini akan selalu relevan pada hari ini dan lusa nanti.

Namun apakah bisa tawaran konsep dekonstruksi itu mengakar rumput di Indonesia? Saya tak akan mampu menjawabnya. Karena jika saya menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’, maka, lagi-lagi, saya akan mengkhianati konsep dekonstruksi itu sendiri. Jadi biar terjawab oleh waktu yang akan memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru ke depannya.

Refrensi:

Al-Fayyadl, M. (2005). Derrida. Yogyakarta: LKiS.

Darmawan, D. (2016). Kajian Hermeneutika Terhadap Fenomena dan Teks Agama (Al-Qur’an dan Hadis Nabi). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 02, No. 01, 1-24.

Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida. Sleman: Penerbit Kanisius.

Royla, N. (2003). Derrida. London: Routledge.

Udang, F. C. (2019). Berhermeneutik Bersama Derrida. Jurnal Tumou Tou, Volume VI, Nomor 2, 117-127.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
Ainu Rizqi

Tim Redaksi Artikula.id | Alumni Pondok Pesantren Darul 'Ulum. Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals