Wasîlah dan ghâyah (perantara dan tujuan) adalah dua hal yang seringkali tertukar atau sengaja ditukar. Pernak-pernik resepsi pernikahan adalah wasilah. Tenda atau gedung, cathering atau bukan, apa menunya, souvenirnya dsb. Ghâyahnya sakinah, mawaddah dan rahmah, memiliki keturunan yang sholeh dan sholehah.
Faktanya, banyak tertukar. Mati-matian untuk resepsi, live music, dangdut, bahkan menikah di depan Ka’bah. Na’udzubillah, beberapa bulan kemudian cerai di puncak. Ini contoh sederhana. Sejatinya, ghâyah hidup kita adalah Allah, sebagaimana kalimat tahlil “Tidak ada tuhan selain Allah”. Tapi lagi-lagi, saat kita berdo’a dan berdzikir pun, seringkali tertukar antara wasilah dan ghâyah.
Dzikir tahlil atau tauhid “Lâ ilâha illallâh” paling tidak memiliki dua makna, nâfi (peniadaan) dan itsbât (penetapan). Yaitu meniadakan tuhan-tuhan apapun yang disembah, diutamakan, didamba, dirindu, dituju, ditaati, dicinta, selain menetapkan dan menegaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla lah satu-satunya tujuan (ghâyah) itu semua.
Namun, perlu kiranya diadakan koreksi, benarkah dzikir kita itu menjadikan Allah swt sebagai ghâyah (tujuan), atau sekadar wasilah (perantara) untuk mendapatkan ghâyah lain? Benarkah kita telah benar-benar meniadakan tuhan-tuhan lain, atau justru dengan dzikir ini menegaskan bahwa kita punya dambaan, tujuan, atau kepentingan lain?
Secara teori dan seharusnya, Allah adalah ghâyah (ghard al-a’la, tujuan tertinggi). Hingga, setiap do’a dan harapan, atau amal shaleh yang kita kerjakan, ghâyah-nya adalah Allah dan hanya Allah, bukan apapun selain Allah. Sekali lagi, apapun selain Allah.
Tapi, benarkah demikian? Bukankah seringkali, atau boleh jadi, selalu kita berdo’a dan berdzikir karena ada ghâyah selain Allah. Jika demikian, maka posisi sesungguhnya adalah, Allah swt sebagai wasilah (perantara) untuk mencapai ghâyah (tujuan) tertentu. Dan tujuan utama itulah tuhan sebenarnya.
Di antara penegasan tujuan dzikir, dalam thariqah qadiriyah naqsyabandiyah (TQN), tepat sebelum dzikir tahlil harus ditegaskan bahwa “ilâhî anta maqshûdî, wa ridhâka mathlûbî, a’thinî mahabbatak wa ma’rifatak” (Tuhanku, Engkaulah maksudku, dan ridho Mu tuntutanku, berikanlah aku cinta Mu dan ma’rifat Mu). Barulah kemudian memulai tahlil, meresapi dan menghayati nâfi dan itsbât.
Tidak ada tujuan kecuali Allah, tidak ada ghâyah selain Allah, tidak ada tuhan selain Allah swt, melepaskan segala keinginan jiwa, hanya fokus pada keinginan Allah dan ridho Allah. Bahkan, mengharapkan ridho Allah itu sendiri bukan final, namun hal itu kita akan bahas di tulisan-tulisan selanjutnya, Insyaallah.
0 Comments