“Indonesia sekarang turun, dan selama tantangan sejarahnya belum dapat dijawabnya, ia akan hancur.” -–Soe Hok Gie (Desember 1959)
Sejak digulirkannya istilah baru beberapa waktu terakhir di media massa, orang-orang serentak mengubah bahasa untuk menunjuk anak muda dengan diksi kaum “milenial’. Tidak jelas siapa yang membawanya ke Indonesia, yang pasti, istilah itu dicetuskan pertama kali oleh William Strauss dan Neil Howe sekitar tahun 1991 dalam sebuah buku yang berjudul Generations: The History of America’s Future Generations, 1584 to 2069 dan Millenials Rising: The Next Great Generation yang terbit di tahun 2000.
Dijelaskan; kaum ini memiliki cara berpikir serba instan, tipe orang yang tidak sabar, pemalas, dan suka sekali melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain.
Meski karakteristik yang dihadirkan oleh kedua penulis tersebut mewakili apa yang ia lihat di Amerika saat itu—hingga sekarang, mengamini pendapatnya tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, istilah baru itu merupakan suatu konsep yang secara tidak langsung mendominasi dan membentuk cara berpikir kaum muda saat ini. Melahirkan kepercayaan yang tertanam tanpa disadari—meminjam bahasa Althusser, menjadi ideologi.
Citra ideal dikemas seperti seolah-olah fakta dan dipahami sebagai realitas kongkrit. Kemudahan mendapatkan informasi di media digital, akses cepat, dan seabrek kemudahan lainnya membawa kita bergerak pada relasi yang tak nyata namun seolah nyata.
Dalam konteks Indonesia, berdasar Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang melakukan penelitian Right to Education Index (RTEI) tahun 2017 guna mengukur pemenuhan hak atas pendidikan di berbagai Negara. Hasil penelitian menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia berada lebih rendah di bawah Filipina dan Ethiopia. Salah satu yang menjadi pokok permasalahan ialah kualitas, ketersediaan guru yang rendah, serta akses pendidikan yang sulit bagi kelompok marjinal.
Jika kita coba hubungkan tesis milenial di atas berdasar fakta kecepatan arus informasi yang tak terbendung dengan pola pendidikan kita yang masih cenderung stagnan maka akan terlihat apa yang disebut oleh William F. Ogburn—sosiolog Amerika, sebagai Cultural Lag (ketersendatan budaya). Kebudayaan yang terdiri dari dua unsur; teknologi—dalam hal ini informasi di satu sisi, dan pendidikan di sisi lain. Ada pola pergerakan yang tak seimbang. Teknologi informasi bergerak cepat, sedang gerak pendidikan berjalan lambat.
Alih-alih pola pendidikan kita semakin cepat dengan adanya bantuan dari teknologi informasi, yang ada malah unsur ini menindih pola pendidikan kita. Sehingga nampak, betapa keras pun guru mengajar di kelas, pengaruhnya terlihat kalah oleh arus media digital.
Selanjutnya, konsep milenial menjadi ideologi tanpa disadari, menelurkan anggapan memang sudah selayaknya kita tergantung dengan media informasi elektronik. Nyatanya, tidak selalu harus begitu. Konsep itu mengungkung dan memenjara. Membuat kita berpikir seolah-olah semua harus lari pada digital. Beberapa orang tidak mau lagi membaca buku, menjadi generasi penerima segala yang dicekokkan oleh media digital.
Pengetahuan kita cenderung bercorak terburu-buru, tumpang-tindih, dan dangkal. Media literasi lama semakin tersingkir, karena kalah cepat datangnya dibanding yang datang dari media elektronik.
Sebagai pemuda yang memperingati 90 tahun sumpah pendahulunya, tawaran yang bisa segera dilakukan oleh pemerintah dan kita yang bergerak di dunia pendidikan ialah pembaharuan kurikulum, metode, sistem pendidikan secara terus menerus dengan pijakan pemahaman sejarah yang mengakar—guna mengimbangi arus media digital. Tanpa itu, sulit membayangkan kemajuan pendidikan—sesuai cita-cita pendahulu kita. Sebagaimana dipercaya tak ada kemajuan tanpa dimulai dari pendidikan.
Itulah juga alat satu–satunya yang terus relevan untuk menjawab tantangan zaman—seperti Soe Hok Gie pernah bilang, tantangan sejarah menuntut untuk dijawab.
2 Comments