Siapa yang belum melihat Kairo, dia belum melihat dunia: tanahnya bagaikan emas, Nil-nya bagaikan keajaiban, wanitanya seperti perawan bermata hitam dari surga, bangunan rumahnya bak istana, dan udaranya yang lembut, lebih lembut dari kayu gaharu, sungguh memikat hati. Dan, bagaimana mungkin Kairo menjadi sebaliknya jika ia adalah ibukota dunia? –Ungkapan masyhur dalam legenda Seribu Satu Malam
Gerakan revolusi Arab Spring sarat dengan berbagai motif: politik, ekonomi, sosial, dan agama. Keberadaan agama sebagai motif revolusi bukanlah motif utama. Jika kemudian motif agama terkesan dominan pada saat revolusi, itu tidak lain posisi agama yang dijadikan sebagai alat untuk mengumpulkan atau menyatukan massa. Berkenaan kasus Arab Spring di Mesir, kenapa estafet pemerintahan secara langsung dikendalikan oleh IM (Ikhwan al-Muslimin)?
Perlu diketahui, bahwa gerakan sosial yang terjadi di Mesir selama Arab Spring merupakan gerakan sosial yang “takterkondisikan” dengan mapan. Dengan kata lain, gerakan sosial yang terjadi tidak berjalan secara masif dan strategis. (Lih. Asef Bayat, Revolution Without Revolutionaries: Making Sense of the Arab Spring, 2017). Inilah yang mengantarkan IM secara otomatis menguasai tampuk kekuasaan Mesir.
Revolusi, sebagaimana kita ketahui, membutuhkan aktor kunci yang akan mengorganisir keadaan sosial dan politik pasca revolusi. Hal ini merupakan hukum pasti dari sebuah revolusi. Revolusi tanpa aktor dan regulasi (pilot project) strategis dan taktis hanya akan mendatangkan huru-hara dan kekacauan pasca revolusi. Perlu digarisbawahi, salah satu kunci penting keberhasilan revolusi Iran, misalnya, adalah karena adanya kesiapan di sektor konstitusi dan hadirnya para aktor pemerintahan di garis depan, di antaranya, Ayatullah Khomeini. Karena IM merupakan salah satu dari sekian aktor revolusi di Mesir. Maka, wajar saja kursi kepresidenan diisi oleh pihak IM, dalam hal ini adalah Mursi.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa revolusi Mesir bergulir tanpa kesiapan konstitusional untuk menyambut pemerintahan baru. Menurut Azyumardi Azra, tantangan terbesar pasca revolusi adalah mengawal proses transisi menuju sistem demokrasi yang dicita-citakan bersama. Azra juga menambahkan, bukan hal yang tidak mungkin bagi dewan agung militer membajak revolusi rakyat Mesir (Kompas, 16/02/2011).
Ini terlihat dengan singkatnya masa jabatan Mursi, yang memerintah hanya dalam masa kurang lebih setahun. Kemudian, diikuti pula gejolak politik yang terjadi di dalam negeri. Hal ini membuktikan gagalnya proses transisi ke arah demokrasi sebagaimana yang dikehendaki masyarakat. Selain adanya persoalan dari dalam negeri, tidak bisa kita nafikan adanya peran politik dari pihak luar (foreign). Wertheim (1976), dalam bukunya “Gelombang Pasang Emansipasi” membagi penyebab revolusi dalam dua hal, yaitu sebab internal dan eksternal. Pihak eksternal dalam hal ini berperan sebagai agitator yang memobilisasi gelombang revolusi.
Kita ketahui bersama, Mesir di masa Mubarak memiki hubungan diplomatik yang erat dengan Amerika. Dengan beralihnya kekuasaan tentu akan berdampak pada kepentingan-kepentingan Amerika di Mesir. Oleh karena itu, setelah lengsernya Mubarak, Amerika mengakui mengontak dan menawarkan bantuan kepada kelompok-kelompok oposisi di Mesir, dan tidak lama setelah itu Presiden Barrack Obama mengutus menteri luar negerinya, Hillary Clinton, berkunjung ke Mesir. Ini menjadi bukti kuat di mana Amerika tetap berupaya menjadi pemeran utama dalam menentukan masa depan Mesir, juga memastikan kepentingan politik dan nasionalnya tetap stabil (Ahmad Sahide, Gejolak Politik Timur Tengah, 2017).
Ikhwan al-Muslimin sebagai payung kekuasaan bagi Mursi merupakan ketakutan besar bagi Amerika. Sikap anti-Amerika terang-terangan ditunjukkan Mursi tak lama setelah ia dilantik sebagai presiden dengan melakukan kunjungan diplomatik ke China. Kebijakan Mursi tersebut diindikasi sebagai langkah untuk mereformasi haluan politik dan ekonomi Mesir yang selama ini bersandar ke Amerika. Fakta ini semakin membuat Amerika tidak nyaman dan amat gerah.
Selain itu, sebagai representasi dari IM, kebijakan-kebijakan Mursi dipandang oleh kubu posisi terlalu mengedepankan aspirasi organisasinya. Bagi Halim Barakat, Mursi telah gagal mengonsolidasikan sensus rakyat yang mengantarkannya menjadi orang nomor wahid di negeri Fir’aun tersebut. Hal ini terlihat dari dikeluarkannya dekrit yang menegaskan bahwa segala keputusan Presiden Muhammad Mursi bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga manapun. Bagi kubu oposisi, dekrit yang diterbitkan pada 22 November 2012 tersebut merupakan arus balik pola kepemimpinan ke arah otoritarianisme.
Akhirnya, arogansi Mursi tersebut berujung pada pelengserannya, dan hal ini sekaligus menandai kandasnya aspirasi demokratisasi di Mesir. Fakta ini memaksa rakyat Mesir harus mengakui, bahwa risalah politik Mesir tak seindah syair para pujangga mereka. Mursi oleh sebagian besar masyarakat Mesir (pro-demokrasi) dicap telah mengingkari roh revolusi, dan tak mampu mengobati kerinduan mereka yang menahun akan atmosfer demokrasi. Rakyat pun menyemut di alun-alun Tahrir melantangkan satu suara ke gendang telinga Mursi, “MUNDUR”.
One Comment