Koma 8 : Demi Bangsa dan Negara!!!
Berbungkus-bungkus tembakau siap linting tergeletak di tengah mereka. Pula bergelas-gelas kopi dan rokok konvensional turut menemani mereka.
Bukan, ini bukan rapat paripurna. Wong mereka ini cuma rakyat biasa, ndak perlu rapat-rapat seperti wakil mereka. Kan mereka cuma angka-angka yang diperlukan sewaktu cari suara.
“Jud, ndak bisa kayak gini. Ini negara lho, negara beneran! Jangan disamain kayak game itu!”, ucap Kang Dar pada Judy.
“Lha mau gimana lagi, toh, Kang. Kebacut lho ini, kebacut!”
“Ngono yo ngono, ning ojo ngono…” (Begitu ya begitu, tapi jangan begitu).
“Maksudnya, Kang?”
“Ya silakan kamu itu mengkritik mereka, tapi mbok ya yang masuk akal, toh. Kalau ngomongmu ndak masuk akal, apa bedanya kamu sama mereka?”
“Setidaknya aku bicara, Kang. Sudah kayak gini, masak harus diam aja?” Judy seolah menjadi orang paling serius, ya meskipun tak seserius wakil rakyat membenahi Endonesa.
“Sudahlah, Cah. Buat apa marah-marah ke orang sesama forum? Wong di antara kalian-kalian ini ya ndak ada yang terlibat dalam kepentingan mereka. Mau ngomong, ya dibisukan. Mau diam, ya memang kebiasaan kita diam”, Cak Slamet menimpali mereka.
“Haduh, Cak. Mau diapakan lagi Endonesa ini? Kok makin hari makin nge-blur, makin fales, makin amburadul, makin entahlah!”
“Ibarat orkestra, ada yang namanya dirigen/konduktor. Nah, kita ini punya konduktor. Sebenarnya dia tahu dia itu konduktor, tapi dia ndak tahu dia harus ngapain di depan para pemain instrumen yang dipimpinnya”.
Sedangkan para pemain instrumen disibukkan beberapa hal: konduktor yang tak jelas memberikan isyaratnya, mereka punya skill pas-pasan, menghadap pada rumitnya not balok yang menjadi tuntutan permainannya, dan memandang wajah penonton yang muram karena ke-fales-an yang sangat tak layak untuk dinikmati itu.
“Terus kalau sudah begitu, yang salah siapa, Cak?”
“Kalau kamu tanya ‘siapa’, ya mereka semua bisa jadi orang yang salah, Jud. Ngapain jadi konduktor, kalau ndak paham bagaimana kerjaannya? Apa cuma biar sangar aja dilihat orang? Ngapain jadi pemain orkestra, kalau penguasaan instumennya sendiri belum mumpuni?”
Cak Nuk menambahkan, “Atau sekalian, ngapain bikin orkestra? Siapa yang bikin? Sudah sesiap apa mereka ini, kok berani-beraninya bikin orkestra?”
“Semua ini demi bangsa dan negara!!!!!”, Judy teriak-teriak meniru orasi calon pemangku jabatan.
“Setuju!!!”, orang-orang Jarkoni membalasnya.
“Rakyat harus diutamakan! Tiada yang tertindas! Mari kita tegakkan keadilan!”, Judy menambahkan.
“Hahahaha, sudah puas, Jud, gladi bersih-mu buat jadi aktivis kampus?”
Orang di Jarkoni ini memang cocok sekali kalau disuruh meniru tingkahnya wakil rakyat—dalam arti omongan. Lha gimana, toh, siapa yang ndak bisa meniru tingkah mereka. Ndak perlu jadi pekerja teater pun tentu bisa meniru tingkah mereka.
Lebih-lebih orang di Endonesa ini. Asyik dengan urusannya sendiri, terjun dalam keinginannya sendiri, berenang dalam nikmat kekuasaannya sendiri. Duh, sangar memang Endonesa ini. Tiada duanya. Lha wong satu aja bikin mumet, apalagi dua!
“Terus mau gimana lagi, Cak?”
“Lha, menurutmu gimana? Seberhak apa kita ini bikin perubahan? Wong kita ini ndak punya kekuasaan sedikitpun. Dimana-mana kalau bukan kita penguasanya, ya ndak bisa apa-apa”.
“Yasudah, Cak. Mau berharap sama siapa lagi kalo ndak sama Tuhan ya. Hmmmm ….”. Kasihan, betapa pesimisnya Judy dengan Endonesa-nya itu.
“Ndak usah pesimis, Jud. Perubahan yang digalakkan siapapun; entah ulama, pastur, mahasiswa, bahkan politisi pun ndak akan bisa bikin perubahan itu terjadi kalau akhirnya cuma berhenti di omongan. Atau berhenti saat mereka yang menggalakkan merasakan nikmatnya kekuasaan”.
Duhai Cak Slamet, siapa pula yang tak pesimis dengan berita duka Endonesa seperti ini?
Ada yang mendengar, namun tak mendengarkan.
Ada yang melihat, namun tak memperhatikan.
Ada yang merasa, namun tak mempedulikan.
Duhai, Cak Slamet, kami optimis, kok. Optimis bahwa Endonesa akan jauh lebih baik nantinya. Iya, nanti. Nanti ketika setiap orang bisa jujur pada dirinya sendiri. Misalnya, kalau butuh makan, uang, dan kekuasaan, ya bilang saja, “Demi perut dan keinginan duniawi!”.
Bukannya “DEMI BANGSA DAN NEGARA!!!!!”
——-
Seri “Koma” merupakan kisah kasih perkopian Cak Slamet bersama rekan-rekannya, yang ngrasani isu sosial, politik, budaya dan sebagainya, dengan bahasa yang akrab digunakan ‘Kaum Ngopi‘.
Editor: Sukma Wahyuni
Baca juga seri “Koma” lainnya:
- Koma 1: Negeri itu Bernama “Media Sosial”
- Koma 2: Pseudo Merdeka
- Koma 3: Dislokasi Kebenaran
- Koma 4: Dari Cinta hingga Kecewa
- Koma 5: Sinkronisasi Harapan
- Koma 6: Prioritas Laku Hidup
- Koma 7 : Tuhan pun Diciptakan
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini! Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju cerpen ini menarik!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Sentilan-sentilan seperti ini persis seperti ringkihnya Bung Karno di kala terasingkan di tanah Ende yang akhirnya mencentuskan Tunel sebagai jalan mengekspresikan keluh-kesahnya yang kontra atas situasi. Satu upaya “kritik politik, sosial dan budaya” yang kemudian digalakan juga oleh warkop DKI. Lanjutkan Cak.