“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Kita sudah sering melafalkan surah Al-Kafirun ketika salat atau dalam keadaan yang lain, tapi kita jarang menghayati makna surah tersebut. Terkadang, kita hanya membaca lafaznya tanpa mengetahui maknanya. Tanpa mengetahui dan menghayati makna suatu ayat Al-Quran, kita tidak dapat mengamalkan kandungan ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Lantas, bagaimana kita akan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup dan sumber ajaran Islam jika kita malas untuk memahami dan menghayati ayat-ayat Al-Quran?
Surah Al-kafirun telah dengan tegas menjamin kebebasan berkeyakinan. Tidak ada paksaan dalam beragama, karena hanya Tuhan yang mampu memberikan petunjuk kepada manusia. Manusia hanya dapat berahlak baik kepada sesama.
Batasan toleransi hanya pada ranah akidah dan bukan pada ranah sosial. Karenanya, antar umat beragama tetap diperbolehkan bahkan diwajibkan untuk saling berinteraksi, bersosial, tolong menolong dalam kebaikan dan saling menghormati satu sama lain.
Jika demikian, sangat disayangkan jika terdapat suatu kebijakan yang melarang seseorang tinggal di suatu desa disebabkan latar belakang agamanya. Seperti kasus yang dialami Slamet Jumiarto yang ditolak tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, Bantul, DIY lantaran bukan orang Islam.
Memahami Posisi Mayoritas
Kita tidak dapat menyalahkan aturan yang telah dibuat berdasarakan kesepakatan warganya. Namun, adanya peristiwa tersebut menunjukkan sikap yang kurang baik sebagai warga mayoritas. Sebagai warga mayoritas, umat Islam seharusnya menunjukkan sikap saling mengasihi kepada umat non-muslim. Memberikan hak hidup dan hak tinggal bagi seluruh warga Indonesia tanpa memandang latar belakang agamanya.
Bukankah sudah jelas bahwa batasan toleransi hanya pada ranah akidah dan bukan ranah sosial? Jika demikian, mengapa harus membuat aturan yang menunjukkan rasa disharmonisasi atau sikap ketidakrukunan antar warga Indonesia?
Jika kita merasa marah melihat saudara sesama muslim yang diusir dari tempat tinggalnya lantaran termasuk warga minoritas, maka kita pun jangan melakukan hal yang sama kepada warga minoritas di Indonesia. Umat muslim Rohingya, muslim Pattani, muslim Moro, muslim Kamboja, mereka adalah potret kekejaman dan kesewenangan kaum mayoritas di beberapa negara di Asia.
Menjadi mayoritas bukan berarti menjadi penindas. Menjadi mayoritas juga bukan berarti mempunyai hak sebesar-besarnya sebagai warga negara. Menjadi mayoritas bukan berarti menjadi arrogant.
Umat muslim di Indonesia seharusnya menjadi teladan bagaimana membangun sikap yang baik terhadap minoritas. Sehingga, teladan tersebut dapat diikuti oleh kaum mayoritas di negara-negara lain.
Membuat peraturan yang melarang penganut agama tertentu untuk tinggal dan menetap di suatu daerah bukanlah cermin kerukunan. Hal itu justru menunjukkan ketidakramahan umat muslim. Padahal, Islam adalah agama yang ramah dan penuh rahmat bagi seluruh alam.
Posisi mayoritas adalah posisi yang mengayomi. Seperti ungkapan Sunan Drajat, salah satu Wali Songo tokoh penyebar agama Islam di Jawa “Wenehono iyupan marang wong kang kudanan” (berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan).
Keteladanan Rasulullah
Teladan sepanjang masa bagi umat Islam adalah Rasulullah. Bahkan, Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Quran. Karena itu, penting untuk meneladani akhlak Rasulullah terutama yang berhubungan dengan interaksi sosial atau bermasyarakat.
Rasulullah telah berhasil membentuk masyarakat Madinah yang beradab, bersahabat dan bermoral. Dengan perencanaan yang baik, Rasulullah dapat mengubah masyarakat Madinah yang awalnya senang bermusuhan, mempunyai fanatisme kesukuan yang tinggi, menjadi masyarakat yang harmonis, rukun dan mempunyai rasa persaudaraan yang hebat. Hal tersebut terbukti dengan tumbuhnya persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar, serta berdamainya suku Aus dan Khazraj.
Rasulullah juga menyusun piagam Madinah berdasarkan musyawarah untuk menjamin keadilan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat Madinah. Baik dari kalangan Muhajirin, Anshar atau pun kelompok Yahudi.
Akhlak Rasulullah yang agung tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah sangat mencintai kerukunan dan persaudaraan antar sesama penduduk Madinah yang dihuni oleh berbagai golongan. Karena Rasulullah memang diutus sebagai pembawa berita gembira dan cahaya penerang. Sebagai pembawa berita gembira, maka apa yang diucapkan dan dilakukan Rasulullah selalu berisi kebahagiaan, yang dilandasi rasa cinta yang besar terhadap kemanusiaan dan kebaikan.
Dengan demikian, sepatutnya kita meneladani apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Mari menebar kasih sayang dan cinta kepada warga setanah air, warga Indonesia. Mari menghindari tindakan yang dapat memicu perpecahan dan persaudaraan. Karena Rasulullah juga merupakan sosok yang sangat mencintai persatuan dan kerukunan. Rasulullah telah berhasil menampakkan wajah Islam yang ramah kepada dunia. Maka, sudah seyogyanya kita menjaga wajah Islam yang ramah dan penuh kasih untuk seluruh umat manusia.
One Comment