(Ketaqwaan adalah proses perjalanan mengenal setiap pengetahuan)
Keterkaitan antara yang satu dengan yang lain adalah sebuah keniscayaan. Dalam konteks rantai makanan kita mengenal adanya simbiosis mutualisme. Dalam konteks manusia kita mengenal istilah populer yaitu zoon politicon. Dalam konteks belajar kita mengenal ta’lim al muta’alim. Begitu seterusnya.
Lantas bagaimana hidup mengatur pertalian yang erat kaitannya ini? Atau memang siklus yang beralur adalah situasi alamiah? Sehingga wajar jika para bijak mengatakan hidup seperti jarum jam. Adakalanya di atas, di tengah dan di bawah. Sehingga aspek mendasarnya adalah bahagia atau tidak. Itu saja.
Kebahagiaan adalah kebebasan atas diri sendiri, ungkapan ini tertuang dalam monolog Albert Camus yang berjudul The Fall. Kebahagiaan adalah wujud syukur dari apa yang ada di depan atau sedang dialami. Begitu normatif. Tetapi memang kebahagiaan adalah kata yang memiliki arti relatif.
Jika ingin bahagia maka bersyukurlah. Dengan kata lain antitesisnya adalah kalau tidak bersyukur maka tidak bahagia. Bagaimana hubungan syukur dan bahagia bisa terjalin? Padahal bersyukur bukanlah kondisi menerima begitu saja.
Tuhan memberi cara agar tetap bahagia, yakni selalu mengingatNya. Dalam kondisi apapun pastinya. Jika demikian berarti keimanan adalah jalannya. Dan pengetahuan adalah kendaraannya. sekali lagi pengetahuan menjadi ruang yang sangat panting.
Maka tidak ada kata bodoh untuk meraih kebahagiaan. Ujar-ujaran jawa “Anguk-anguk wong bodo luwih wedhi nang pengeran, ketimbang wong sing pinter.” Benarkah? Akankah kebahagiaan adalah keterkaitan antara rasa syukur dan ketaatan saja? Lantas mengapa perintah tuhan adalah membaca? Karena dalam konteks pengetahuan, mereka yang memiliki pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat maka akan diangkat derajatnya. Dengan demikian untuk taat kepada Tuhan maka membutuhkan pengetahuan.
Ada tiga unsur hubungan yang memiliki keeratan dengan apa yang disebut kebahagiaan. Rasa syukur, selalu mengingat Tuhan, dan pengetahuan. Bagaimana dengan moral? Jika kebahagiaan adalah pengetahuan maka moral adalah bentuk aksiologinya. Terlepas baik atau buruk. Karena pada dasarnya manusia tidak benar-benar objektif dalam memahami segala sesuatu.
Dalam kitab suci bahagia tidak hanya diwakili oleh satu kalimat verbal saja, seperti Faraha, tetapi juga ada Tatma’inna, Aslama, Sakana, dsb. Dan ahli tafsir pun memiliki berbagai perspektif serta dimensi pemahaman atas kata bahagia sendiri. Bisa secara kalimat utuh atau hanya satu kata saja.
Konsep belajarnya adalah belajar untuk selalu bersyukur atas apa yang sudah melekat di dalam diri, baik secara alamiah atau proses pencarian. Kemudian selalu mengingat Tuhan, baik pemahaman secaran transendental, emanasi atau substansi, serta tidak lupa untuk selalu memupuk sikap haus akan pengetahuan. Dengan kata lain tidak bosan untuk terus belajar.
D_D12019
0 Comments