Disorientasi Budaya Balimau Kasai

jika terjadi disorientasi pada budaya yang identik dengan nilai sejarah ini, maka reorientasi dan perbaikan pada tahun-tahun selanjutnya adalah sebuah keharusan 2 min


4
sumber gambar: ulinulin.com

Balimau kasai seakan tidak asing lagi di telinga masyarakat Riau, setiap tahun dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan masyarakat kabupaten Kampar, Riau pada umumnya dan masyarakat Desa Lubuk Agung khususnya merayakan adat dan budaya yang turun temurun dari nenek moyang mereka yaitu balimau kasai. Balimau kasai termasuk dalam kategori adat yang diadatkan (boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan) kalau kita tarik ke dalam kaidah hukum Islam maka hukumnya Mubah.

Perayaan balimau kasai biasanya dimulai setelah salat Asyar sambil baghaa’ak (berarak/beriringan) dari hulu kampung sampai ke hilir kampung (tempat pelaksanaan mandi balimau kasai).

Baris pertama adalah kaum ibu-ibu sambil membawa rantang atau tentengan yang berisi limau kasai yang terdiri dari: jeruk nipis dan “kasai” (terbuat dari beras dicampur coku) sehingga memunculkan aroma yang semerbak dan sangat wangi serta membawa kain belacu sepanjang 1×1 meter (kain  panjang berwarna hitam/putih) yang nantinya akan dijadikan sebagai kain basahan. Baris kedua adalah anggota tukang dikiu (dzikir) sebagai musik pengiring dalam perayaan balimau kasai. Barisan terakhir kaum Adam atau kaum bapak-bapak dan remaja.

Semua masyarakat berbondong-bondong mengikuti prosesi perayaan balimau kasai, kecuali 3 golongan yaitu : orang sakit, orang yang baru melahirkan, dan lansia (orang tua yang sudah uzur). Setelah salat Asyar, baghaa’ak pun dimulai menuju sebuah pulau di hilir kampung yang bernama pulau tidiyah.

Kaum ibu-ibu mandi di botiong topian doghe (air deras yang menghanyutkan) sedangkan kaum bapak-bapak mandi di botiong tidiyah. Antara botiong topian doghe dan botiong tidiyah berjarak lebih kurang 100 meter. Sesampainya di botiong, lokasi mandi pun diatur. Antara ayah, anak dan samondo (ipar) tidak boleh berdekatan dan harus pandai menyesuaikan tempat agar tidak terjadi kerancuan dalam adat.

‌Awal tahun 2000-an terjadi pergeseran budaya pada prosesi budaya balimau kasai yang mana istilah balimau kasai sudah tidak ada lagi, sekarang cuma memeriahkan hari nya saja. Sudah jauh berbeda dengan adat dan budaya serta prosesi  balimau kasai pada awalnya.

Dahulu lokasi pemandiannya sudah diatur dan ditetapkan oleh pemangku adat, alim-ulama dan tokoh masyarakat serta ada regulasi-regulasi yang harus dipatuhi oleh Ninik Mamak (pemangku adat) dan anak-kemenakan dalam prosesi balimau kasai, sekarang balimau kasai boleh dan bisa dilakukan di mana saja bahkan di tempat-tempat umum seperti tempat wisata yang dijadikan sebagai tempat pemandian bersama-sama dan terjadi percampuran antara laki-laki dan perempuan.

Upacara adat balimau kasai sudah tidak ada lagi sekarang sudah berganti menjadi jalan-jalan bersama keluarga, teman atau pacar. Keadaan ini seakan diamini oleh pemangku adat, alim ulama dan cerdik pandai serta tokoh masyarakat di setiap desa yang dijadikan lokasi mandi balimau kasai seperti: Dermaga tepian mahligai desa Pulau Gadang, Danau Rusa, Desa Batu Bersurat dan Kuari yang terletak di Kelurahan Batu Bersurat kecamatan XIII Koto Kampar.

Berbeda lagi ketika kita tilik prosesi balimau kasai di Bangkinang, Batu Belah dan Air tiris. Biasanya masyarakat merayakan dengan membuat pelombaan sampan hias dan kemudian Bailiu Basamo (menghanyutkan diri dari hulu ke hilir secara bersama-sama). Dalam hal ini juga terjadi percampuran atau perbauaran antara remaja dan remaji. Hal ini sudah menjadi tradisi setiap tahunnya, kegiatan ini juga seakan diamini oleh NiniaMamak, alim ulama, tokoh masyarakat dan aparatur pemerintahan.

Tulisan ini merupakan keresahan penulis atas pergeseran nilai yang terjadi dalam tradisi Balimau Kasai. Tradisi simbolis yang sarat nilai luhur ini tentu tidak perlu dihilangkan karena adanya degradasi moral yang belakangan banyak terlihat sebagaimana dipaparkan di atas. Sebaliknya adalah menjadi tugas bersama seluruh elemen masyarakat untuk mencari cara mengembalikan tradisi dan budaya balimau kasai ke prosesi awal, bukan seperti sekarang yang lebih banyak mendatangkan mudarat dari pada manfaat.

Singkatnya, jika memang terjadi disorientasi pada budaya yang juga identik dengan nilai sejarah ini, maka reorientasi dan perbaikan pada tahun-tahun selanjutnya adalah sebuah keharusan. Salah satu langkah yang harus ditempuh adalah dengan berdialog yang melibatkan semua elemen masyarakat termasuk para pemudanya, sehingga budaya ini bisa terus dilestarikan dengan tetap mempertahankan nilai luhur yang dikandungnya. Semoga!


Like it? Share with your friends!

4
Muhammad Ilyas
Muhammad Ilyas S.sos M.A merupakan dosen Luar Biasa (LB) Prodi Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals