Keadilan Reproduksi dalam Literasi Media Digital

Hak keadilan untuk mendapatkan informasi memadai tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi semua warga negara tanpa terkecuali. 3 min


0
1 share
Sumber gambar: elsam.or.id

Potensi pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat, setidaknya itu yang diangkat melalui temuan Komnas Perempuan. Melalui Catatan Tahunannya Maret 2020 silam, dengan menggarisbawahi peningkatan kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik terjadi dengan angka 75 % (11.105 kasus), serta alam ranah publik dan komunitas 24% (3.602 kasus) serta dalam ranah negara 0,1% (12 kasus).

Dengan klasifikasi berupa pencabulan, perkosaan, dan pelecehan seksual, termasuk di dalamnya adalah percobaan perkosaan dan persetubuhan. Khusus istilah persetubuhan dan pencabulan digunakan dalam istilah Kepolisian dan Pengadilan karena dasar hukum yang tersedia untuk menjerat pelaku.

Sementara itu, Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, yang sudah diajukan dari tahun 2016, bahkan resmi dikeluarkan dari Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) atas usulan Komisi VIII dengan alasan yang tidak jelas mengapa dan dianggap sulit dilakukan pembahasannya dalam masa Covid-19 (LBH Apik, 2020).

Dikeluarkannya RUU PKS dari prolegnas pada saat angka kekerasan dan pelecehan seksual sedang meningkat, jelas membawa kekecewaan banyak pihak. Tidak hanya korban kekerasan dan pelecehan seksual, tetapi juga akademisi, pemuka agama, serta politikus serta aparat pemerintahan yang memerlukan penanganan kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang berpihak pada korban serta rehabilitasi pelaku secara komprehensif.

Sementara itu, semakin aktifnya usia remaja dengan rentang 15-24 tahun dan belum menikah, menurut Survei Demografi dan Kesehatan dilansir dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, resiko mereka untuk mengalami kehamilan dini karena perilaku seks pranikah cenderung meningkat.

Beberapa faktor yang memicunya adalah karena ingin tahu (57,5% laki), terjadi begitu saja (38% perempuan), dan dipaksa pasangan (12,6% perempuan) dan seluruhnya disimpulkan sebagai bentuk ketidaktahuan mengenai informasi yang tepat untuk hidup sehat serta resiko paparan setelahnya.

Baca juga: Pernikahan Dini dan Hak-Hak Anak yang Dilanggar

Dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) setiap 25 November-10 Desember menyiratkan bahwa semua perjalanan kita sebagai bagian masyarakat perlu meningkatkan peran aktif dalam mereduksi perilaku yang mengarah kepada pelecehan dan kekerasan seksual, terutama di era digital bentuk kekerasan baru pun sudah muncul, yaitu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), dengan resiko tinggi mengintai remaja secara masif.

Hak Informasi dan Literasi

Diseminasi informasi berlimpah tidak dapat dihindari karena digitalisasi teknologi perangkat serta akses yang lebih mudah untuk mendapatkan informasi dalam waktu yang relatif cepat. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan informasi yang dijamin negara dan insitusi yang relevan sesuai kebutuhan, dalam hal ini adalah keadilan untuk mendapatkan informasi memadai tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi semua warga negara tanpa terkecuali.

International Conference on Population and Development (ICPD) 1994 Cairo, yang juga telah diadopsi Indonesia oleh Perkumpulan Keluarga Berencana tahun 1996, menggarisbawahi hak kesehatan reproduksi dalam kaitannya mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi memadai.

Hak atas informasi ini ditekankan pula oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2002 mengenai pentingnya akses informasi bagi laki dan perempuan atas informasi seksualitas, reproduksi, manfaat serta efek obat-obatan yang relevan di dalamnya. Poin berikutnya menggarisbawahi kebutuhan informasi seksualitas dan reproduksi bagi remaja laki dan perempuan. Informasi ini pun termasuk mengenai penyakit kelamin, dan infeksi HIV/AIDS.

Kurangnya informasi seksualitas dan kesehatan reproduksi yang didapatkan di insitusi pendidikan pada umumnya menyebabkan terhambatnya hak pengetahuan dasar mengenai keduanya. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadinya perilaku seks tidak bertanggung jawab serta menimbulkan konsekuensi, seperti penyakit kelamin, HIV/AIDS, kehamilan yang tidak direncanakan, pernikahan dini karena terjadinya peristiwa sebelumnya, bahkan hingga aborsi yang beresiko menimbulkan kematian.

Ketiadaan informasi memadai ini akan berelasi dengan keterangan mantan Menteri Pendidikan M. Nuh, pada tahun 2012 menggarisbawahi belum perlunya integrasi pendidikan seksualitas dan yang berhubungan dengannya ke dalam kurikulum sekolah karena khawatir terjadi kontroversi. Dalam kenyataannya, penyampaian informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi masih mengalami hambatan dalam keluarga, apalagi dalam lingkungan pendidikan.

Imbas besar menanti ke depannya ketika bagaimana remaja dan masyarakat mengakses informasi melalui media dan sumber yang tidak kredibel karena ketidaktahuannya. Akhirnya? Hak mereka untuk mendapatkan informasi menjadi terpangkas karena anggapan bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi masih tabu untuk dibicarakan secara terbuka dan formal, sementara itu berbagai resiko tinggi yang dipaparkan sebelumnya terus menghantui mereka.

Baca juga: Ketika Prof. Musdah Mulia Membincang HAM

Pemerintah dari semua tingkatan memiliki tanggung jawab atas aksesibilitas informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi remaja dan masyarakat secara umumnya tanpa melihat latar belakang sosial dan budaya melalui integrasi dalam kurikulum Pendidikan, tanpa melupakan peran keluarga yang menjadi benteng bagi mereka.

Signifikansi ini nanti akan membuat remaja dan masyarakat menjadi lebih kritis dalam mencari informasi tambahan yang relevan melalui media digital, sehingga mereka tidak terjebak dalam informasi menyesatkan yang menyebabkan mereka lebih terperangkap dalam resiko-resiko paparan seperti yang telah disebutkan di atas.

*) Penulis adalah: Regional Coordinator of Bandung School of Peace Indonesia, Tim Ahli Kurikulum Prospect-Google dan Mafindo, Alumnus IVLP-USA 2020

Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
1 share

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Fanny Syariful Alam
Regional Coordinator-Program Director Bandung School of Peace Indonesia/Regional Coordinator Bhinneka Nusantara Foundation, Writer Associate of Peace Generation Indonesia, Alumnus IVLP USA 2020 and Australia Awards STA 2021 for Democracy Resilience.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals