Sebagaimana diserat oleh Kholili Kholil dalam salah satu tulisannya bahwa setidaknya ada tiga figur ulama besar dalam khazanah tasawuf yang ternyata mengalami kesulitan duniawi dalam dal materi. Namun ketiganya mampu keluar dari rongrongan kesulitan itu dan lanjut mendaki puncak tangga-tangga ruhani. Artinya kondisi materi hidup yang rusak tidak lantas membuat aktifitas ubudiyyah mangkrak. Dan ini adalah tantangan yang sangat badag hempasan resistensinya.
Pertama dari yang tiga adalah Ma’ruf al-Karkhi. Lahir di tengah keluarga nonmuslim dan sempat mendapat kekerasa fisik di dunia pendidikan akibat keyakinannya. Kukuh memegang keyakinannya itu mengantarkan Ma’ruf pada gerbang Islam dengan bimbingan dari Syaikh Ali bin Musa ar-Ridho. Melihat anaknya yang kukuh dengan akidahnya, orang tua Ma’ruf luluh terbuka hati untuk ikut memeluk Islam.
Semangat Islam yang kukuh membuat Ma’ruf melakoni jalan disiplin ubudiyyah yang ketat. Ia masuk dalam dunia tasawuf meninggalkan berbagai kemewahan dunia. Dari sinilah wajah luar duniawi yang kesulitan mulai terlihat dari aktifitas kehidupan Ma’ruf. Namun tidak dengan kondisi ruhani sang sufi agung ini. Hasil dari proses yang panjang itu membuat kalam-kalam Ma’ruf berpendaran cahaya hikmah, sehingga dari itu banyak muridnya yang masuk mengarungi samudra tasawuf. Imam al- Ghazali adalah salah satu ulama yang kerap mencatut perkataan-perkataan bijak Ma’ruf dalam kitabnya.
Kedua adalah Imam an-Nawawi penulis kitab hadits Riyadhus Shalihin. Ayahnya adalah seorang pedagang dengan bangunan toko sederhana. Imam an-Nawawi sebagai putranya auto ikut bantu sang ayah menjaga toko. Hasrat pengetahuannya yang kuat membawa an-Nawawi ke gelanggang pengetahuan di Damaskus, Syiria. Di tengah keterbatasan ekonomi an-Nawawi terus mendulang pengetahuan di Madrasah Rawahiyah Damaskus dibarengi dengan tirakat puasa hampir setiap harinya.
Terakhir adalah Imam asy-Sya’rani seorang sufi yang mencapai tangga popularitas tinggi di Mesir. Pilihan hidupnya untuk menjadi manusia sederhana menolak berbagai rajukan harta dari rating popularitas sempat membuat ia ditolak saat melamar wanita. Di jalan kesederhanaan Imam asy-Sya’rani terus mendaki tangga-tangga ruhani sehingga ia sampai menjadi wali besar yang bijaksana.
Terlepas dari potret keterbatasan yang ada pada kita saat ini adalah pilihan atau waris nasib, realitanya keterbatasan duniawi itu terasa membelenggu sebagian kita. Jauhnya idealitas hidup yang dihendaki dengan realitas yang teramat nyata di depan mata tak jarang menggusur akal sehat manusia. Norma tinggal norma dan nilai menjadi tata hidup yang tertunduk kaku di depan pragmatisme hidup sesaat. Manusia masuk dalam kubangan frustasi duniawi yang kritis dan tak jarang menggerogot habis nalar ruhaninya.
Kita tidak hendak menafikan bahwa hari ini ada banyak ketimpangan hidup dari masing-masing dunia manusia. Mulai dari ruang ekonomi, sosial, politik, hukum dan masih banyak lagi ruang-ruang lainnya. Bila yang demikian diklaim sebagai bentuk ketidakadilan Tuhan maka apakah keadilan itu mesti bermateri? Ketika rapalan doa-doa tak kunjung dibalas atau diwujudkan apakah Tuhan sudah tuli dengan ratapan hamba-Nya?
Mari beralih pada pengalaman keberagamaan para manusia Bani Israil. Dalam khazanah tafsir klasik Imam Ibnu Katsir mengutip as-Suddi yang mengatakan bahwa tatkala perjalanan panjang Bani Israil menuju tanah yang dijanjikan melewati padang Tih, mereka didera rasa haus dan lapar yang sangat menyiksa raga. Mereka menyuruh Nabi Musa berdoa pada Tuhan untuk mengobati rasa lapar itu.
Lalu Tuhan menurunkan Manna dan Salwa, dua buah makanan sejenis madu dan burung puyuh. Cukup berhenti di situ? ternyata tidak. Mereka menginginkan minuman yang jernih, maka Nabi Musa kembali berdoa dan Tuhan memberi mukjizat dua belas mata air yang keluar dari celah-celah batu sekitar mereka. Sudah cukup? Ternyata belum juga. Bani Israil tidak tahan dengan udara terik padang Tih, mereka menghendaki adanya hunian. Lagi-lagi Nabi Musa menyampaikan proposal kaumnya pada Tuhan.
Lalu Tuhan mengirimkan awan teduh yang menaungi mereka. Ketika pangan sudah terpenuhi, papan sudah pula, adakah permintaan yang lain? Ternyata iya, Bani Israil mengeluhkan pakaian mereka yang sudah sangat kusam, robek dan ukuran yang sudah mulai tak sesuai. Nabi Musa lagi-lagi menyampaikan perihal tersebut pada Tuhan. Lalu Tuhan membuat pakaian mereka menjadi elastis mengikuti usia mereka dan tak mudah robek.
Setelah begitu banyak yang menjadi tuntutan–minta yang langsung terjawab, adakah ketaatan Bani Israil semakin membaik? Ternyata tidak juga. Lebih lanjut Ibnu Katsir mengatakan bahwa mereka malah mengingkari dan justru malah menzalimi diri mereka sendiri dengan perilaku-perilaku tercela. Padahal dalam kalkulasi sederhana kita, mereka para manusia Bani Israil itu telah banyak mendulang materi dari eksistensi Tuhan atas doa dan keinginannya.
Dari dua fenomena yang tersaji di meja sejarah itu ada bahan yang sangat hangat untuk direfleksikan. Tentang kesulitan duniawi, rajukannya, dan ketaatan akan Tuhan ketiganya akan terus menggelinjang dalam takdir hidup manusia. Adakah meneladani para kekasih Tuhan yang senantiasa menemu celah mendaki tangga ruhani meski banyak ranjau duniawi, atau justru jatuh pada kubangan lumpur kekufuran dan kegelapan hati.
Di sinilah spiritualisme tasawuf hadir sebagai stabilisator. Ajaran zuhud untuk tidak terobsesi dengan ragam pernik dunia dan qanaah untuk menerima berbagai pemberian Tuhan. Saat gelimang dunia bermunculan mengundang berbagai kenikmatan maka zuhud berfungsi menegur diri agar tak mabuk duniawi. Saat harta dan segala ikhtiar duniawi terasa sepi maka qanaah berfungsi mendorong diri agar tak jatuh pada frustasi duniawi yang akut. Aktifasi keduanya menjaga manusia agar tetap seimbang dunia dan akhiratnya, agar tetap segar ruhaninya.
0 Comments