Perkembangan tafsir Alquran di Bumi Nusantara telah dilakukan oleh para ulama Alquran. Kiprah ulama Nusantara pada abad ke-20 sangat besar. Seperti KH. Bisri Mustafa, Quraish Shihab, Bakri Syahid dan Muhammad Adnan. Mereka adalah para ulama, akademisi dan juga musfassir Nusantara abad ke-20 yang mempunyai banyak kontribusi di bidang tafsir.
Pada abad ke-20 banyak para mufassir yang menggunakan bahasa Indonesia dalam menjelaskan isi kandungan Alquran, namun banyak juga yang masih menggunakan bahasa daerah dalam kitab tafsirnya, dengan berbagai metode, corak, dan karakteristik penafsiran Alquran.
Hal ini menunjukan bahwa ulama mufassir Nusantara telah membuktikan cara kultural dan kebudayaan dalam membumikan Alquran. Seperti kitab tafsir Faiḍ al-Raḥmā karya KH. Sholeh Darat menggunakan Pegon Jawa, kemudian Bakri Syahid menggunakan bahasa abjad Jawa dan Muhammad Adnan dalam kitab Tafsir Alquran Bahasa Jawi menggunakan bahasa khas Keraton.
Tentu dalam proses penafsiran Alquran seorang mufassir sangat terpengaruh dengan latar belakang pendidikan dan lingkungannya. Kontekstualisi dalam memahami Alquran yang menjadi kitab tafsir di setiap daerah diperlukan. Hal ini tidak lain bertujuan untuk memudahkan para pembaca untuk memahaminya. Seperti kitab Tafsir Alquran Bahasa Jawi karya Muhammad Adnan, secara sejarah ia telah memulainya dengan belajar dengan ayahnya sendiri yang bernama Raden Pengulu Tafsir Anom V. Berlatar belakang kasultanan Surakarta, Muhammad Adnan menggukan bahasa jawa yang lebih santun jika dibandingkan dengan Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda.
Kemudian masuk pada abad ke-21 muncullah beberapa mufassir Nusantara yang menggunakan bahasa Indonesia seperti kitab Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab. Dalam menghadapi lingkungan yang lebih modern, ia menulis kitab tafsir yang lebih kontekstual. Hal tersebut dapat kita lihat ketika ia menafsirakan Alquran dengan munggunakan pendekatan bahasa, sejarah dan kontekstualisasi Ayat Alquran di era milenial. Meskipun ia masih keturunan Nabi Muhammad saw (habib), namun ia menggunakan bahasa Indonesia sebagai penjelas setiap ayat dalam Alquran.
Kontekstulaisai dalam proses penafsiran Alquran yang menghasilkan kitab tafsir sungguh perlu diperhatikan. Karena jika tidak diperhatikan, dikhawatirkan akan mengakibatkan kesalahpahaman sehingga terjadi kesenjangan sosial disebabkan oleh pemahaman Alquran yang berbeda. Seperti peristiwa yang menimpa mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama kala itu.
Perkembangan penafsiran Alquran tidak hanya berkembang di kalangan elit seperti pejabat, keturunan ningrat atau akademisi saja. Ada juga mufassir yang lahir dan besar di dalam pesantren seperti KH. Bisri Mustafa dan Kiai Imam Ghazali pengasuh Pondok Pesantrem Mambaul Ulum, Solo.
KH. Bisri Mustafa membuat karya tafsir Al-Ibrīz ditulis dan dikaji di Pesantren. Hingga saat ini, kitab tafsir Al-Ibrīz dikaji oleh KH. Musthafa Bisri. Kemudian Rauḍat al-‘Irfān fī ma’rifah al-Qur’ān dan Tamsyiyatul Muslimīn fī Tafsīr Kalām Rabb al-‘Ᾱlamīn karya KH. Ahmad Sanoesi, Al-Ibrīz li Ma‘rifati Tafsīr alQur’ān al-‘Azīz karya K.H. Bisri Mustofa, Iklīl fī Ma‘āni at-Tanzīl dan Tāj al-Muslimīn karya K.H. Misbah ibn Zainul Mustofa, dan Jāmi’ al-Bayān karya KH. Muhammad bin Sulaiman.
Penempatan realitas sosial, budaya, dan politik sebagai teks yang dibaca secara kritis oleh penulis tafsir Alquran merupakan salah satu jalan dalam membangun paradigma tafsir kontekstual khususnya di nusantara. Dalam praktiknya perkembangan tersebut tentu menuai kritikan dan masukan dalam proses metode penafsiran Alquran yang sesuai dengan konteks perubahan dan perkembangan zaman yang terus modern dan tanpa mengesampingkan corak dalam kitab-kitab tafsir yang sudah ada.
Keunikan dan kekhasan dalam menafsirkan Alquran dapat kita perhatikan dari unsur lokalitas di dalam setiap kitab tafsirnya. Hal ini menunjukan ulama-ulama Nusantara telah membuktikan kecerdasannya dalam mengalkulturasi antara kaidah-kaidah tafsir dengan unsur kebudayaan seperti bahasa.
Kecerdasan yang dimiliki oleh para ulama dulu tentu menjadi pembelajaran penting bagi generasi muda yang mendalami tafsir Alquran. Hal penting tersebut tidak lain bertujuan untuk melestarikan budaya lokal dalam menafsirakan Alquran sehingga generasi selanjutnya dapat menjadi mencontoh generasi sebelumnya dan begitu seterusnya.
Ke depan diperlukan kajian tafsir Alquran, tidak terkecuali di Indonesia, yang mempertimbangkan aspek-aspek kesejarahan dan dimensi lokalitas, baik dari aspek bahasa dan aksara yang dipakai maupun karakteristik lokal yang menyangganya.
Dalam konteks Indonesia, kajian tentang tafsir Alquran berbahasa dan beraksara lokal Nusantara serta dialektika yang terjadi dengan aspek sosial, budaya, dan politik yang terjadi, merupakan isu-isu menarik yang membutuhkan sentuhan para pengkaji tafsir Alquran di Indonesia.
0 Comments