Melihat China Tanpa Beban Politik

China itu tidak tunggal alias tidak melulu dilihat secara politik, ada beragam sikap, perilaku, dan komitmen kemanusiaannya. 4 min


0
1 share
Sumber gambar: www.jawapos.com

Sebelumnya harus diakui terlebih dahulu bahwa saya sejujurnya tidak tahu sama sekali mengenai kajian China. Hal itu dikarenakan saya secara sadar tidak mendalaminya, khususnya secara akademik.

Sama seperti kebanyakan orang, pengetahuan saya soal China hanya dari cerita turun-temurun asumsi dan persepsi masyarakat mengenai China ditambah dengan media-media yang cenderung kadang tidak objektif dalam melihat sebuah persoalan. Apalagi jika persoalan itu terkait masalah China.

Di dalam arus deras pengetahuan saya soal China yang dibentuk oleh asumsi masyarakat kebanyakan soal China. Pada satu titik membuat saya bertanya-tanya apakah memang seperti itu ketika berbicara tentang China? Seperti itu bagaimana? Iya, seperti China adalah negara komunis tidak bertuhan, China adalah pengeruk keuntungan, China adalah sumber bencana, China antek-antek kolonial, China penjajah dan lain-lain.

Sambil masih terus berpikir dan bingung, saya pada suatu hari tidak sengaja mendapatkan sebuah buku di salah satu toko Gramedia di daerah Yogyakarta. Sebuah buku yang berjudul “Revolusi, Diplomasi, dan Diaspora (Indonesia, Tiongkok, dan Etnik Tionghoa, 1945-1967)” karya Taomo Zhou, terbitan buku Kompas (2019).

Baca juga: Memandang Etnis Tionghoa Melalui Kacamata Persaudaraan

Tanpa berpikir saya pun langsung membelinya, ditambah keingintahuan saya terkait soal China di luar asumsi masyarakt yang selama turun-temurun telah bertengger di dalam pandangan saya. Kemudian dengan sabar dan memahami tentunya saya pun membacanya halaman demi halaman.

Sampai pada titik penting yang akhirnya menggugah pandangan saya soal China, yakni bahwa ternyata tanpa disadari pandangan saya soal China, khususnya China secara negara adalah pandangan yang sarat dengan beban politik.

Adapun yang saya maksud dengan beban politik disini adalah politik yang terkait dengan konsep kuasa Michael Foucault, yakni memandang kuasa bukanlah milik para raja, penguasa, atau pemerintah.

Akan tetapi, ia dijalankan dengan serangkaian regulasi rumit yang saling mempengaruhi. Di mana kuasa memproduksi realitas dan menjalankan peranannya melalui serangkaian aturan dan sistem-sistem tertentu sehingga menghasilkan semacam rantai kekuasaan.

Lebih lanjut lagi, Foucault menjelaskan hubungan antara kuasa dan pengetahuan. Menurutnya, kuasa dan pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Kuasa memproduksi pengetahuan, sedangkan pengetahuan memiliki kuasa.

Kenyataan dan contoh ini ternyata menemukan momentumnya pada cara pandang masyarakat yang negatif terhadap China. Contohnya adalah bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah belajar mendalami soal China dengan segala dinamika baik budaya, agama, dan politiknya, namun mampu menggeneralisir bahwa China secara menyeluruh adalah “penjahat”.

Lamat-lamat saya mulai menyadari bahwa ternyata hal itu tidak bisa lepas dari kuasa pengetahuan yang diproduksi oleh era Orde Baru. Di mana selama 32 tahun pengetahuan kita soal ke-China-an terputus secara total, hal-hal yang berbau China perlahan namun pasti coba dihanguskan.

Akibat kebencian sebuah rezim atas pengaruh China di Indonesia yang tidak lepas dari beban politik untuk menangkal komunisme.

Tentu implikasi dari kenyataan di atas berdampak sangat luas bagi memori kolektif kaum Tionghoa di kemudian hari. Apalagi pasca terjadinya tragedi 1965 yang mengguncangkan kondisi sosial-politik di Indonesia.

Meskipun tidak mengusik etnis Tionghoa secara langsung, efek tragedi kekerasan 65 di beberapa kota, khususnya Madiun dan Blora, telah menimbulkan stereotype (persepsi negatif) tentang orang Tionghoa yang mengakibatkan orang Tionghoa pelan-pelan mulai menutup diri karena takut akan menjadi korban kekerasan.

Terlebih, di masa Orde Baru itu pemerintah melarang berbagai praktik spiritual dan budaya orang China atau Tionghoa, serta mengharuskan mengganti nama “China” menjadi nama khas Indonesia (Aziz, 2014).

Namun, pertanyaannya bukankah sebagai sebuah rezim Orde Baru telah tumbang? Tapi kenapa kita masih takut atau bahkan berpandangan negatif dalam melihat China. Apa yang membuat cara pandang yang sarat beban politik itu masih terus menghantui?

Mungkin untuk menjawab ini sejauh pengetahuan saya sudah sangat banyak teori dan survey yang menjawabnya. Salah satunya adalah survey yang dilakukan oleh ISEAS Yusof Ishak Institute, sebuah lembaga riset yang berbasis di Singapura.

Dalam surveynya, 47,6 persen dari responden yang berpartisipasi dalam survey tersebut setuju dengan anggapan bahwa etnik China di Indonesia masih memiliki kesetiaan terhadap China. Sebesar 41,9 persen dari para responden menganggap bahwa etnik China memiliki pengaruh politik terlalu banyak di Indonesia, sedangkan 64,4 persen menyatakan bahwa mereka tidak nyaman bila dipimpin oleh politisi China (Alexander, 2017).

Ini artinya masyarakat secara umum masih memandang China secara beban politik. Padahal jika kita kembali kepada buku yang saya beli berjudul “Revolusi, Diplomasi, Diaspora” karya Taomo Zhou.

Secara gamblang Taomo Zhou menjelaskan bahwa yang disebut China itu tidak tunggal alias tidak melulu dilihat secara politik, ada beragam sikap, perilaku, dan komitmen. Namun yang terpenting adalah komitmennya terhadap kemanusiaan.

Sebuah komitmen yang universal tanpa tekanan dan beban politik. Padahal, kecuali para pendatang baru atau biasa disebut imigran baru, dapat dikatakan bahwa seluruh orang China di Indonesia masuk dalam kategori etnik China Indonesia, yang bagian besarnya telah mengakar dan bercampur dengan budaya setempat.

Orang China yang masuk dalam kategori ini disebut dengan istilah “orang seberang laut beretnik China” (Chinese Overseas). Istilah ini dibedakan secara tegas dari “orang China seberang laut” (Overseas Chinese, atau huaqiao), yang merujuk pada orang-orang berkebangsaan China yang berada di luar negeri (Alexander, 2017).

Dan saya kira disinilah letak keterpenjaraan (the panopticon) persepsi sebagian masyarakat dan mungkin saya kala itu dalam melihat China. Dimana dengan ngawur-nya kita dengan mudah menggeneralisasi kaum Tionghoa adalah “penjahat”.

Baca juga: Etika Persahabatan Aristoteles: Refleksi Antara Gusdur dan Tionghoa

Tentu hal ini sangat amat miris ketika mohon maaf sebelumnya, kita pun sebagai seorang Muslim tidak ingin digeneralisir secara ngawur. Tatkala dihujam pertanyaan “apakah semua Muslim Indonesia adalah teroris?” Ketika kebetulan ada aksi teroris dalam melakukan aksinya memakai atribut Muslim.

Padahal di dalam buku tersebut meski dalam konteks tahun-tahun perjuangan bangsa Indonesia di balik kerangka perang dingin antara Moskow dan Washington. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang diceritakannya, misalnya Taomo Zhou menceritakaan bagaimana seorang Wang Renshu atau lebih dikenal Ba Ren (seorang duta besar pertama Republik Rakyat Tiongkok di Indonesia).

Sebagai seorang aktivis Tionghoa yang hidup dua tahun di dusun Surabeia dengan cara bersosialisasi, menggembangkan hubungan dekat dengan para pribumi sampai pada pengertian mendalam tentang hubungan antar-etnik di Indonesia. Seperti yang ia tulis dalam memoarnya, tentang lenyapnya pengotakan etnik:

…”Aku bagaikan telah melupakan kebangsaanku, aku bagaikan tak punya pikiran dari negeri mana aku berasal. Aku bagaikan seorang penyelundup di desa dimana tempat orang Tionghoa, Jawa, dan Melayu hidup berdampingan secara damai. Aku merasakan seolah-olah dapat mengulurkan tangan buat mencapai dan menyentuh kehangatan hati mereka”. (Zhou, 2019)

Artinya meskipun Ba Ren sebagai warga Tionghoa dan hidup dalam tekanan politik waktu itu, niatnya “seolah-olah mengulurkan tangan” sebagai istilah yang jamak diketahui sebagai tindak dari prilaku kemanusiaan.

Ia telah menunjukkan keterkaitan emosional kuat terhadap tanah dan manusia Indonesia. Tentu tindakan Ba Ren ini adalah tindakan yang mungkin alpa dari persepsi kita mengenai ke-China-an. Bahkan pada masa kemerdekaan, orang Tionghoa juga turut membantu perjuangan pahlawan Indonesia, untuk bersama-sama mengusir pendudukan Jepang (1942-1945) dan agresi militer Belanda.

Ekspresi nasionalisme juga nampaknya ditunjukkan oleh beberapa orang Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia, salah satunya adalah Hyang Wie, pemilik armada transportasi, yang pada saat pendudukan Jepang, memiliki armada truk yang dicat merah putih dan diberi nama PO Indonesia (Aziz, 2014).

Bahwa diantara hujatan yang sedemikian besar terhadap bangsa China ini, masih ada beberapa orang yang tidak semua buruk di mata kita. Sederhananya mungkin kita atau saya dengan keterbatasan mengenai pengetahuan soal China bisa merenungkan kembali lirik lagu Ebit G Ade, yakni: “tengkoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu (asumsi, prasangka) yang masih melekat”.

Daftar Pustaka

Alexander, G. (2017). Silent Invasion (Orang-Orang China di Asia Tenggara). Yogyakarta: Gre Publishing.

Aziz, M. (2014). Lasem Kota Tiongkok Kecil (Interaksi Tionghoa, Arab dan Jawa dalam Silang Budaya Pesisiran). Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Zhou, T. (2019). Revolusi, Diplomasi, Diaspora . Jakarta: Penerbit Kompas.

Editor: Sukma Wahyuni

 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
1 share

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals