Memaknai Perdamaian Bersama Johan Galtung

Perdamaian bertujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan individu dan masyarakat. 2 min


3

Miris, mungkin kata itu yang bisa menggambarkan kondisi kita hari ini terkait dengan kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Bagaimana tidak, Indonesia yang selama ini dikenal dengan masyarakatnya yang beragam dan ramah, berubah menjadi begitu brutal dan bertindak di luar akal sehat. Berbagai relasi antar manusia dan antar kelompok pun semakin terjebak pada muatan kepentingan dan kekuasaan. Sehingga tak jarang aksi-aksi kekerasan pun menjadi instrumen yang paling sering digunakan demi meraih kekuasaan dan kepentingan yang sesaat.

Rasa cinta dan empati yang selama ini selalu digaungkan seakan menjadi lapisan tipis yang tidak mampu lagi menjaga relasi harmonis secara permanen. Jika kondisi ini terus-menerus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan bangsa yang besar seperti Indonesia, dapat terjebak pada apa yang disebut sebagai vulnerable society (masyarakat rentan) Indonesia. Di mana yang paling kuat adalah pemenangnya, yang kalah harus mati menderita. Atau sebaliknya, yang kalah tidak menerima secara hati terbuka sehingga terus memobilisasi berbagai sumberdaya konflik, seperti kekerasan, massa dan ideologi untuk merebut kekuasaan.

Berbagai pihak pun turut berupaya untuk selalu mengedepankan serta menggaungkan kondisi-kondisi yang aman dan damai. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Slogan-slogan perdamaian yang selama ini selalu digaungkan tidak kunjung terwujud. Perdamaian yang selalu ingin diwujudkan seakan hanya menjadi slogan semata tanpa memahami substansi perdamaian yang ingin dicita-citakan. Lebih jauh kita justru terjebak oleh apa yang disebut oleh Dom Helder Camara sebagai spiral kekerasan, yakni menghilangkan kekerasan dengan kekerasan sehingga melahirkan kekerasan yang baru. Oleh karena itu, sangat menarik jika kita melihat kembali makna perdamaian yang dicetuskan oleh bengawan perdamaian dan resolusi konflik, yakni Johan Galtung.

Johan Galtung merupakan pemikir perdamaian yang lahir pada 24 Oktober 1930 di Oslo, Norwegia. Kondisi masa kecilnya sebagai tahanan politik rezim Nazi pada umur 12 tahun telah membentuk dirinya sebagai pemikir yang anti terhadap kekerasan dan mengerti betapa kejamnya peperangan. Karya-karyanya pun telah banyak lahir dari tangannya dan menjadi rujukan dunia di saat orang berbicara perdamaian dan konflik. Salah Satu karyanya yang fenomenal adalah Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization, 1996. 

Dalam karya tersebut, Johan Galtung membagi makna perdamaian menjadi dua yakni, 1). Perdamaian negatif dan 2). Perdamaian positif. Perdamaian negatif bagi Galtung adalah tidak adanya kekerasan langsung, seperti perang. Dalam prespektif ini perdamaian tercipta ketika adanya perjanjian perdamaian. Adapun contoh perdamaian secara negatif yang bisa dijadikan rujukan adalah pada kasus konflik komunal yang terjadi di Ambon dan Maluku pada tahun 1999-2004. Saat itu, ribuan manusia kehilangan nyawanya dalam konflik yang berawal dari percekcokan dua orang masyarakat sipil yang berakhir pada konflik antara dua agama besar, Islam dan Kristen.

Sudah banyak cara yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut, salah satunya melalui penjanjian Malino. Perjanjian ini berhasil membuat kedua belah pihak berhenti bertikai. Akan tetapi, perdamaian yang terjadi di Ambon dan Maluku hanya sebatas penghentian kekerasan langsung. Segregasi antara masyarakat Muslim dan Kristen pun masih bisa dirasakan. Di samping itu, kehidupan masyarakat pasca konflik pun jauh dari kesejahteraan dan kemakmuran. Sehingga dikhawatirkan bisa menjadi bom waktu yang mungkin akan meledak dikemudian hari.

Sedangkan perdamaian positif menurut Galtung adalah terciptanya keadilan sosial (social justice). Atau ketika kekerasan secara struktural dan kultural sudah bisa dihilangkan. Perdamaian positif bisa dicapai ketika adanya penghapusan terhadap segala bentuk ketidaksetaraan dalam struktur sosial. Dengan demikian setiap individu mampu memperoleh akses dan hak yang sama terhadap kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Meskipun tidak terjadi kekerasan secara langsung (perang) suatu masyarakat tidak bisa dikatakan damai ketika masih banyak orang yang menderita kelaparan. Sehingga dalam pengertian ini, perdamaian positif bertujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan individu dan masyarakat termasuk didalamnya pengembangan karakter seorang individu, kebebasan berpendapat, kesetaraan sosial, ekonomi, solidaritas dan partisipasi.

Bahkan lebih jauh Johan Galtung membagi tipologi perdamaian positif ini kepada tiga hal, yakni 1). Perdamaian positif langsung, yaitu kebaikan yang ditunjukkan untuk semua kebutuhan dasar, kelangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan dan identitas. 2). Perdamaian positif struktural, yaitu mengganti penindasan dengan kebebasan dan eksploitasi dengan persamaan. Serta memperkuatnya dengan dialog bukan penetrasi, integrasi bukan segmentasi, solidaritas bukan fragmentasi, dan partisipasi bukan marginalisasi. 3). Perdamaian positif kultural, yaitu menggantikan legitimasi kekerasan dengan legitimasi perdamaian, baik dalam agama, hukum, ideologi, bahasa, seni dan budaya.

Oleh karena itu, jika melihat apa yang disampaikan oleh Galtung mengenai makna perdamaian dalam konteks keindonesiaan kita hari ini, diperlukan sebuah upaya yang disebut dengan democratic conflict governance, yakni menempatkan hubungan antara berbagai aktor dan lembaga dalam ruang politik inklusif yang ditandai oleh aktivtias musyawarah untuk mengimplementasikan kebijakan perdamaian secara menyeluruh, yaitu terciptanya keadilan sosial.

 


Like it? Share with your friends!

3
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals