Imam Ahmad bin Hanbal dan Sang Penjual Roti

ini adalah sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana uniknya Tuhan mengabulkan permintaan seorang hamba2 min


2

Alkisah, hiduplah seseorang laki-laki tua, yang telah memasuki usia uzur di Baghdad, Irak. Hari-harinya hanya digunakan untuk menyibukkan diri dengan berdzikir, qiyamul lail, bermunajat, menghamba pada-Nya. Hingga suatu ketika, laki-laki tua tersebut memiliki keinginan yang kuat untuk pergi ke Bashrah. Meski beliau tidak memiliki sanak saudara kerabat, bahkan gambaran dan kegiatan yang akan dilakukan di sana.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya beliau memutuskan tetap pergi ke Bashrah yang jika ditempuh dengan berjalan kaki memakan waktu kurang lebih 3 hari.

Berjalanlah laki-laki tua itu dengan perbekalan seadanya. Singkat cerita, ketika beliau sampai di sana, satu-satunya tempat yang bisa beliau kunjungi adalah masjid. Mengingat waktunya telah larut, setelah menunaikan sholat, beliau berniat beristirahat dan menginap di masjid tersebut. Namun, baru saja beliau merebahkan badannya di lantai, ada seseorang yang menegurnya untuk pindah keluar di serambi, bahkan mengusirnya untuk segera pergi dari masjid, karena pintunya akan segera ditutup. Rupanya, orang tersebut adalah takmir masjid. Dengan ikhlas beliau berjalan gontai, menyingkir dari area masjid.

Di luar masjid, laki-laki tua tersebut berpapasan dengan seorang penjual roti yang menawarkan pada beliau untuk menginap di rumahnya, tetapi diminta menunggu beberapa jam setelah ia selesai berjualan. Beliau mengiyakan.

Diikutilah laki-laki tersebut, menuju warung jualannya. Dengan cekatan, ia mengadoni dan melayani pembeli. Meski malam sudah mau berganti dengan pagi, antrinya masih lumayan panjang. Laki-laki tua tadi duduk berjarak beberapa meter dengan penjual roti. Sedari tadi, penglihatannya tak lepas dari mulut laki-laki penjual itu yang komat-kamit entah mengucapkan apa.

Setelah agak sepi, beliau tidak tahan lagi untuk tidak bertanya. “Pak, saya lihat, Bapak tidak berhenti mengucapkan sesuatu. Kalau boleh saya tahu, amalan apakah itu?” Kemudian laki-laki tersebut perlahan mulai menceritakan kisah hidupnya. Dari muda, di mana saja, kapan saja, ia tidak pernah absen dalam membaca istighfar. Baik saat berjualan, di rumah, di pasar, wirid dan lain sebaginya, kecuali ketika tidur. “Alhamdulillah, berkat istighfar yang setiap waktu saya baca, Allah mencukupi kebutuhan saya, keluarga saya, dan segala yang saya inginkan telah dikabulkan. Sampai saat ini, hanya satu permintaan yang belum diijabahi-Nya.” Kata penjual roti tersebut.

Rasa kantuk laki-laki tua itu tidak menutupi kengintahuannya, “Alhamdulillah, itulah barakah dan manfaat sebagai balasan ucapan kalimat tayyibah. Tapi, permintaan apakah yang hingga kini belum dikabulkan oleh Allah? Apakah terlalu berat atau mustahil untuk diwujudkan?” Tanya beliau lagi.

“Wahai bapak tua, dari dulu saya sangat mengagumkan sosok Imam besar, Imam Ahmad bin Hanbal, penulis kitab Musnad Ahmad, salah satu imam mazhab empat. Namun, apa daya meski saya mau dan mampu berjalan dari Bashrah ke Baghdad, tapi tidak mengetahui sama sekali sosok beliau, bagaimana nantinya saya bisa bertemu?” begitulah keterangan panjang lebar dari laki-laki separuh baya tersebut.

Dengan mata berkaca-kaca, laki-laki tua itu memeluk si penjual roti, meski yang dipeluknya masih bengong, hingga beliau menjelaskan bahwa orang di hadapannya adalah orang yang selama ini didambakan oleh si penjual roti. Ya. Beliau lah Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Al Marwazi Al Baghdadi. Seketika itu, sang penjual roti tersebut mencium tangan dan bersujud di kaki Imam Ahmad bin Hanbal, kemudian pingsan saking bahagianya.

Begitu indah-Nya Sang Skenario membuat alur hingga berakhir demikian. Rupanya keinginan Imam Ahmad bin Hanbal untuk berkunjung ke Bashrah salah satu sebabnya adalah untuk bertemu dengan penjual roti. Begitu juga penjual roti tersebut yang ditakdirkan bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal di depan masjid, kemudian menawarkan untuk bermalam di tempatnya.

Wallahu a’lam


Like it? Share with your friends!

2
Lia Fadhliyah

Lahir di Magelang, 29 Maret 1997. Frash Graduate Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijga

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals