Tetangga yang Tak Pernah Akur

Israel dan Palestina, dua negara yang ditakdirkan bertetangga, pertengkaran di antara mereka sangat mendunia dan menahun, dan dielu-elu banyak manusia ending-nya.2 min


4
Sumber foto: tunisienumerique.com

Pada hari itu tak ada raja di Israel, setiap orang 
melakukan apa yang benar di matanya.
(PeterNovick dalam The Noble Dream)

Cerminan keluarga yang baik, salah satunya dapat dilihat dari hubungannya dengan tetangga; seperti apa tetangga diperlakukan dan diayomi. Sangking pentingnya posisi tetangga hingga Nabi Saw pada suatu ketika pernah berwasiat, “Iman seseorang tergantung bagaimana ia memuliakan tetangga”. Setakat ini, baik buruknya hubungan dengan tetangga sangat menentukan keharmonisan lingkungan RW, kedamaian desa, ketentraman kecamatan, hingga kemakmuran negara, bahkan.

Sama halnya Israel dan Palestina, dua negara yang ditakdirkan bertetangga, pertengkaran di antara mereka sangat mendunia dan menahun, dan dielu-elu banyak manusia ending-nya. Pertikaian dua negara itu sangat berefek bagi kenyamanan warga dunia. Mungkinkah ending yang baik bagi mereka? Melihat fakta yang ada, kebanyakan orang cenderung pesimis, dan memulangkannya pada Yang Kuasa. Yang optimis, sangat meyakini masih ada segudang upaya untuk ditempuh.

Kiai Yahya Cholil Staquf kemungkinan besar tergolong di barak yang kedua. Sikap idealis yang beliau tunjukkan ketika memenuhi undangan sebagai pembicara di The David Amar Worlview North Africa Jewish Heritage Center Yerussalem, adalah upaya dialog yang sangat konstruktif. Terlepas, seberapa besar daya efek dialog tersebut.

Jika selama ini banyak orang terpaku pada donasi materi, Kiai Yahya mencoba mendonasikan gagasan. Mungkin apa yang ada di pikiran beliau seiya dengan ucap pepatah, “Bila berunding sesama bijak, kusut selesai sengketa pun sudah”. Meskipun Kiai Yahya secara konstitusional telah melanggar komitmen politik luar negeri (polugri) Indonesia, yang mendukung kemerdekaan Palestina, setidaknya ia sudah mencoba melantangkan suara pembelaan terhadap Palestina di kandang lawan.

Memang ada beberapa persoalan yang menjadi faktor kesulitan, kalau bukan hambatan, untuk melakukan dialog antar negara, terutama negara-negara yang didera konflik. Paling nyata adalah persoalan kepentingan nasional (national interest). Watak kepentingan nasional Israel yang bertendensi kolonialisme sangat tidak bisa diterima Palestina.

Prinsip eksklusif yang dipedomani Israel benar-benar telah menutup ruang bagi perdamaian di tanah Syam itu. Belum lagi besarnya kuasa Amerika dibalik Israel, apa yang ditanggung Israel otomatis telah menjadi beban politik luar negeri Amerika. Sehingga, keberhasilan sebuah dialog memang terasa sangat utopis.

Sedangkan di regional Palestina, HAMAS (Harakah al-Muqāwamah al-Islāmiyyah) dan PLO (Palestine Liberation Organization) atau Fatah yang menjadi representatif bagi perdamaian Palestina pun hingga hari ini masih disibukkan dengan ego masing-masing, yang satu bersikeras bergerilya dengan senjata, dan satunya lagi menginginkan jalur diplomasi.

Walhasil, kesengsaraan rakyat kian mengekal dan bom laknat terus saja berkeliaran di langit Palestina. Dr. Ibn Burdah, seorang pengamat Timur Tengah, mengungkapkan keretakan hubungan dua fraksi besar tersebut benar-benar menyulitkan hadirnya perdamaian di antara Palestina-Israel. Karenanya, sinergisitas antara HAMAS dan PLO wajib diupayakan.

Mengingat kemaruk Israel-Palestina terus bergulir entah sampai berapa lama, barangkali ada pembaca yang bermurah hati mengirim paper ke salah satu universitas di Israel agar diundang jadi pembicara sebagaimana Kiai Yahya. Saran saya, tolong siapkan diri lahir batin, sebab PBB saja tak digubris oleh Israel, apalagi wong Indonesia.


Like it? Share with your friends!

4
Mahmud Wafi

Mahmud Wafi, wakil pimred Artikula.id, merupakan seorang pekerja sosial, juga merangkap sebagai santri malam minggu di Lingkar Mahiyyah.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals