Pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember mendatang mendapatkan respons beragam. Ada yang pro, begitupun ada yang kontra. Bahkan, dua ormas keagamaan Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhamadiyah pun turut bersuara. NU dan Muhamadiyah berada di pihak yang kontra terhadap pelaksanaan pilkada serentak Desember mendatang.
NU dan Muhamadiyah beralasan bahwa menggelar pilkada di tengah masifnya penyebaran Covid-19 menanggung resiko yang sangat besar terkait dengan keselamatan nyawa. Baik nyawa pemilih, panitia penyelenggara, hingga peserta. Oleh karena itu, NU dan Muhamadiyah bersikap tegas menyarankan agar pelaksanaan pilkada serentak Desember mendatang lebih baik ditunda terlebih dahulu.
Di sisi lain, pihak yang pro menganggap bahwa pilkada harus tetap digelar meskipun di tengah pandemi Covid-19, agar estafet kepemimpinan daerah tidak tersendat. Lagi pula, daerah juga memerlukan kepemimpinan yang kuat dalam menghadapi pandemi ini. Artinya, tidak boleh terjadi kekosongan kepemimpinan di daerah.
Maka dari itu, pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun bayang-bayang corona masih menghantui. Protokol kesehatan yang ketat pun diharapkan mampu menjadi cover agar penyelenggaraan pilkada serentak dapat terminimalisir dari Covid-19.
Berdasarkan dua diskursus tersebut. Menurut hemat saya, pilkada tidak perlu ditunda. Jika pilkada ditunda, maka kepemimpinan daerah akan kosong dan diisi oleh plt (pelaksana tugas) kepala daerah yang tentunya tidak bisa membuat kebijakan-kebijakan strategis. Di sisi lain, peran kepala daerah sendiri sangat vital, terlebih di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini yang mengharuskan para pemimpin daerah membuat kebijakan-kebijakan strategis guna menanggulangi persebaran Covid-19.
Namun, jika pilkada serentak tetap dilaksanakan secara langsung Desember mendatang juga sangat berbahaya. Grafik persebaran Covid-19 di Indonesia sendiri masih melonjak tajam belum ada tanda penurunan. Oleh karena itu, menggelar pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 yang masih merajalela sangat beresiko terkait keselamatan nyawa rakyat Indonesia.
Baca Juga: Hadapi Covid19, Bupati Pelalawan: Nyawa Masyarakat Lebih Berharga |
Oleh karena itu, menurut saya pilkada harus tetap dilaksanakan, hanya saja mekanisme pemilihannya diganti melalui DPRD. Ini menurut saya adalah solusi paling rasional dan terbaik untuk mengakomodasi keinginan kedua pihak, baik yang pro maupun yang kontra terhadap penyelenggaraan pilkada serentak. Oleh karenanya, presiden harus segera mengambil sikap dengan mengeluarkan Perppu pilkada yang selanjutnya akan mengalami proses diskursus obyektif-politis di DPR untuk menjadi Undang-Undang.
Ada beberapa sisi positif dari mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Pertama, estafet kepemimpinan daerah tidak tersendat. Di tengah pandemi Covid-19, daerah tentunya memerlukan kepemimpinan daerah yang kuat dan legitimate untuk membuat kebijakan-kebijakan yang strategis. Dan hal tersebut tidak akan bisa terjadi seandainya pilkada ditunda. Terlebih, kita tidak bisa memprediksi kapan berakhirnya Covid-19 ini.
Kedua, biaya penyelenggaraan pilkada lebih murah. Menghemat anggaran adalah sebuah hal penting di tengah upaya penanggulangan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan biaya besar. Seandainya, jika mekanisme pilkada diganti dari mekanisme langsung oleh rakyat menjadi mekanisme tidak langsung oleh DPRD tentunya akan mengehamat biaya penyelenggaraan pilkada.
Ketiga, resiko penularan Covid-19 lebih kecil. Di tengah ganasnya pandemi Covid-19, penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung oleh DPRD tentunya lebih “aman” daripada menggelar pilkada secara langsung di mana potensi kerumunan rakyat besar terjadi. Dengan merubah hak pilih dari rakyat ke anggota DPRD, maka potensi persebaran Covid-19 lebih bisa ditanggulangi serta dikelola.
Keempat, tetap demokratis-konstitusional. Penyelenggaran pilkada secara tidak langsung oleh DPRD tidak bertentangan dengan nilai demokrasi dan konstitusi. Artinya, meskipun mekanisme pemilihan kepala daerah tidak dilakukan oleh rakyat secara langsung melainkan oleh anggota DPRD, pemilihan tersebut tetap demokratis dan konstitusional.
Baca Juga: Kebijakan Populis dalam Kerangka Etika Politik |
Kelima, asas solus populi suprema lex esto yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung di tengah pandemi Covid-19 menurut saya merupakan pilihan paling bijak, baik dari sisi keberlanjutan kepemimpinan daerah maupun dari sisi keselamatan rakyat. Ditambah lagi, keselamatan rakyat sendiri merupakan asas yang tertinggi dari pada penyelenggaraan negara. Maka, tidak boleh ada hal-hal yang kontraproduktif dengan asas fundamental tersebut.
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment