Jika diperhatikan, sarjana Muslim Indonesia dewasa ini cenderung lebih suka mengkaji persoalan-persoalan kebangsaan, kebersamaan, dan toleransi. Barangkali, iklim kehidupan umat dan bangsa mengharuskan untuk dilakukan kajian besar-besaran terhadap persoalan tersebut.
Di antara imbas dari kecenderungan tersebut adalah adanya diskursus yang minim mendapat perhatian, sebut misalnya eskatologi. Diakui atau tidak memang terhitung sedikit sarjana Muslim yang menggeluti persoalan-persoalan eskatologis. Bahkan di kalangan peneliti muda dan/atau mahasiswa, disiplin ilmu ini seolah ‘najis’ untuk disentuh. Barangkali karena kurang menarik atau mungkin ada alasan lain.
Akan tetapi, ada sebagian umat yang terbilang aktif melakukan kajian perihal topik-topik eskatologis. Mereka ini sering diidentifikasi sebagai kelompok Islam Kanan. Tanpa bermaksud mendiskreditkan, Islam Kanan dikenal sebagai kelompok dengan cara pandang keagamaan yang tekstual dan konservatif.
Eskatologi Islam
Eskatologi Islam sering diartikan sebagai suatu disiplin ilmu yang fokus kajiannya seputar dimensi akhirat; tentang nikmat surga atau siksa neraka. Pandangan ini diamini oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, definisi tersebut mengandung konsekuensi bagi umat Islam untuk memperbaiki kualitas akhlak dan amal perbuatan.
Selain itu, ada juga yang mendefinisikan sebagai disiplin ilmu yang tidak semata membahas kehidupan akhirat, melainkan juga mencakup wilayah kajian kehidupan menjelang kiamat. Dalam tulisan ini, definisi kedualah yang dipakai.
Kiamat, yang merupakan awal bagi kehidupan baru dikabarkan akan segera terjadi. Tidak ada yang tahu pasti kapan kiamat akan terjadi, tetapi terdapat tanda-tanda yang menggambarkan kedatangannya. Oleh ulama, tanda tersebut dibagi menjadi dua: kecil dan besar.
Tanda-tanda kecil di antaranya merajalelanya kebodohan, merebaknya perzinaan, dan amanat yang banyak dikhianati. Sedangkan tanda-tanda besar berupa lepasnya Ya’juj dan Ma’juj, kemunculan Dajjal, kembalinya Isa al-Masih, dan keluarnya Imam Mahdi.
Tidak sedikit ayat al-Qur’an atau hadis Nabi saw. yang menggambarkan betapa dahsyat kehancuran yang terjadi ketika kiamat tiba. Dalam Q.S. Al-Qari’ah: 4-5 misalnya, disebutkan bahwa di saat itu, manusia seperti anai-anai yang bertebaran. Sedangkan gunung yang sedemikian kokoh ibarat bulu yang dihamburkan.
Yang menjadi menarik dan sekaligus miris adalah, dengan perkembangan dunia yang menuju titik nadir suatu kehidupan yang ideal, –sebab telah terjadi banyak persoalan di berbagai aspek– teramat sedikit ulama dan/atau cendekiawan yang menaruh minat pada kajian eskatologi.
Padahal, jika umat Islam meyakini bahwa ada kehidupan pasca kematian, maka sebagai konsekuensinya, ketika dunia bergerak menuju titik akhir, mereka seharusnya bergerak untuk semakin dekat kepada-Nya. Di antaranya dengan menelaah keterkaitan kondisi dunia saat ini dengan isyarat kedatangan kiamat yang sudah banyak dikabarkan.
Mereka yang Berada di Permukaan
Sebenarnya, sepinya diskursus eskatologi di permukaan tidak lantas berarti ia menjadi topik kajian yang sama sekali dilupakan. Barangkali memang persoalan-persoalan kebangsaan, kebersamaan, dan toleransi lebih membutuhkan jawaban segera.
Adalah benar bahwa di ruang-ruang akademis, diskursus eskatologi terbilang sepi, tetapi tidak berarti mereka yang tidak mendalami lantas tidak peduli. Klasifikasi biner semacam itu patut disingkirkan. Maka, penulis lebih memilih menggunakan frasa ‘mereka yang berada di permukaan’ daripada ‘mereka yang peduli’. Sebab, memang ada beberapa orang atau kelompok yang terlihat jelas di permukaan gencar mengkaji persoalan-persoalan eskatologis.
Di Indonesia, ada beberapa nama yang bisa disebut. Misalnya Ustadz Rahmat Baequni dan Ustadz Zulkifli Muhammad Ali. Keduanya, meskipun sama-sama sering muncul di permukaan dan punya fokus kajian yang serupa, punya metodologi yang berbeda ketika memahami isyarat tanda, baik yang ada di al-Qur’an maupun hadits Nabi saw.
Yang disayangkan adalah, baik URB maupun UZMA tidak membukukan hasil pemahamannya atas berbagai isu eskatologis. Bukan tentang benar-salah atau sepakat-tidak sepakat, tetapi lebih kepada menumbuhkan dan membawa diskursus tersebut ke ruang-ruang akademis. Selain menambah pembaca, juga tidak menutup kemungkinan menghadirkan respons atau timbal balik pemahaman.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Saya pembaca pemula yang tertarik dg kajian Sech Imran Khosein…saya ingin banyak belajar ilmu agama sebanyak mungkin…saua hamba Allah yg miskin ilmu agama…teri.akadih kepada pe ulis 🙏🙏🙏