Penjelasan al-Qur’an mengenai perilaku merusak sudah sangat jelas. Segala upaya perusakan, baik terhadap nilai-nilai kemanusiaan, alam, lebih-lebih perusakan terhadap sendi keimanan merupakan hal yang secara tegas dikecam.
Kata fasad berikut derivasinya disebut sebanyak 51 kali dalam al-Qur’an dan tersebar di 23 surat yang berbeda. Presentase penyebutannya lebih banyak di surat Makkiyah, dengan rincian 17 kali disebut di surat Makkiyah dan 6 kali di surat Madaniyah.
Perbedaan konteks turunnya ayat mempengaruhi makna ayat tersebut. Ayat-ayat yang turun di periode Makkiyah lebih banyak berbicara mengenai hawa nafsu, perilaku dzalim, sikap sombong, tidak adil, sampai pada tingkat melakukan penyekutuan terhadap Allah.
“Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan (hawa nafsu) mereka, pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu.” (QS. Al-Mu’minun: 71)
Sedangkan ayat yang diturunkan di periode Madaniyah lebih menekankan pada penjelasan sifat dan sikap manusia sebagai bagian dari masyarakat. Perilaku ingkar janji, menumpahkan darah, sifat munafik dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi topik yang sering dibicarakan di periode ini.
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22)
Kerusakan yang dimaksud dalam ayat ini, mengutip pendapat al-Qurthubi dimaknai sebagai melakukan perusakan di muka bumi dengan berbuat dzalim, maksiat, melakukan pembunuhan dan memutuskan hubungan kekeluargaan.
Perbedaan makna kata fasad tersebut pada dasarnya wajar, sebab konteks sosial-keagamaan antara Makkah dan Madinah berbeda. Di Makkah, orang yang membuat kerusakan lebih diartikan sebagai orang-orang yang menyekutukan Allah Swt, sebab umat Islam masih dalam tahap penguatan aqidah.
Sementara di Madinah, ketika Islam berada di masa pembangunan tatanan kehidupan masyarakat, termasuk mewujud dengan adanya interaksi yang intens antara umat Islam dengan umat agama lain, maka orang-orang yang dikategorikan membuat kerusakan adalah mereka yang berusaha merusak kondisi tersebut.
Rusaknya Tatanan Kehidupan Masyarakat
Data di atas secara tidak langsung menunjukkan bahwa kerusakan dengan berbagai macam bentuknya adalah benar adanya. Ia telah, sedang dan akan menjadi momok yang menghantui umat manusia.
Mbah Maimoen Zubair pernah menjelaskan bahwa makna fasad adalah bercampurnya kejahatan dengan kebaikan (ikhtilath al-syar bi al-khair). Apa yang terjadi saat ini mengindikasikan adanya sebuah tatanan kehidupan yang rusak. Hal ini bisa dibuktikan dengan sulitnya membedakan antara yang benar dan yang salah. Indikator benar dan salah dipertanyakan.
Tammam Adi, salah seorang ahli Semantika, mengungkap beberapa bentuk kerusakan yang dimuat dalam al-Qur’an, yang diambil dari QS. Al-Baqarah.
Di antaranya adalah kerusakan agama yang terwujud dengan banyaknya pelanggaran dan pengingkaran terhadap ajaran Tuhan yang termuat dalam kitab suci. Kerusakan hubungan keluarga, dibuktikan dengan banyaknya kasus perceraian suami dan istri, anak dan orangtua, antar saudara dan sebagainya. Maraknya kasus pembunuhan, terlebih pembunuhan massal menjadi bukti bahwa tatanan kehidupan masyarakat telah rusak.
Ya’juj dan Ma’juj Sang Perusak
Subjek perusakan dalam al-Qur’an tidak terbatas pada individu, melainkan juga menyasar pada kelompok atau kaum. Kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu kelompok tidak diragukan lagi mempunyai dampak yang lebih parah.
Satu di antara kaum yang disebut dalam al-Qur’an adalah Ya’juj dan Ma’juj. Ya’juj dan Ma’juj ‘hanya’ disebut 2 kali dalam al-Qur’an. Yang pertama dalam narasi kisah perjalanan Dzul Qarnain. “Mereka berkata, wahai Dzul Qarnain! Sungguh Ya’juj dan Ma’juj itu berbuat kerusakan di bumi…” (QS. Al-Kahfi: 94)
Penelusuran mengenai makna yang terkandung dalam rangkaian ayat tersebut akan mampu mengarahkan pada pengetahuan tentang siapa Dzul Qarnain? Dari mana dia? Ke mana dia melakukan perjalanan? Siapa Ya’juj dan Ma’juj? Di mana letak tembok yang dibangun Dzul Qarnain untuk mengurung Ya’juj dan Ma’juj? dan sebagainya.
Sedangkan penyebutan Ya’juj dan Ma’juj yang kedua termuat dalam narasi lepasnya Ya’juj dan Ma’juj, yang mengandung makna akan dekatnya hari kiamat. “Hingga apabila (tembok) Ya’juj dan Ma’juj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (QS. Al-Anbiya’: 96)
Ya’juj dan Ma’juj dalam rangkaian ayat ini disebut akan membebaskan suatu kota yang ‘diharamkan’ atas mereka. Kota mana yang dimaksud? Apa pula makna min kulli hadabin yansilun?
Narasi kisah yang dibangun al-Qur’an menunjukkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj merupakan kelompok yang telah, sedang dan akan melakukan perusakan di muka bumi. Jenis kerusakan apa yang dibuat? Apakah hanya salah satu di antara kerusakan seperti yang disebut di muka atau mencakup keseluruhannya?
Yang tidak kalah penting, apakah Ya’juj dan Ma’juj sudah keluar dari tembok yang dibangun Dzul Qarnain? Nabi Muhammad pernah bermimpi bahwa tembok Ya’juj dan Ma’juj telah berlubang seukuran lingkaran yang dibentuk antara jari jempol dan telunjuk. Meski begitu, masih terjadi perbedaan di kalangan ulama mengenai hal ini.
Imran N. Hosein, salah seorang ulama dari Trinidad, berpendapat bahwa Ya’juj dan Ma’juj telah lama lepas. Mereka menjelma menjadi suatu kelompok yang merusak tatanan kehidupan dunia secara brutal melalui sistem yang mereka ciptakan.
Manusia modern hidup dan mengembangkan sistem ini, sadar atau tidak. Menjamurnya kedzaliman, kemaksiatan, ketidakadilan, kemunafikan serta pertumpahan darah seakan membenarkan pendapat tersebut.
Sudah atau belum lepasnya Ya’juj dan Ma’juj, kerusakan di berbagai sektor kehidupan telah sama-sama kita lihat. Wallahu A’lam.
0 Comments