Bakri Syahid mempunyai nama asli Bakri. Kemudian kata Syahid adalah tambahan dari nama ayahnya yaitu Muhammad Syahid. Bakri Syahid merupakan sosok tokoh di masyarakat Kotagede, Yogyakarta. Selain menjadi seorang tokoh masyarakat, ia juga seorang yang handal dalam berbagai bidang, baik dalam militer, akademik, dakwah, maupun wirausaha. Dalam bidang militer misalnya, ia pernah menjadi anggota pejuang gerilya, dan tercatat sebagai purnawirawan militer. Beliau juga dikenang sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Kiprah Bakri Syahid dalam dunia kemiliteran membuatnya tidak pantang menyerah dalam menyebarkan dakwah kebaikan kepada sesama sejawat militer. Tidak hanya itu, di dalam masyarakat ia juga aktif berdakwah dan mengajarkan agama. Pada dirinya terhimpun sikap santun, arif, dan paling utama adalah sikap unggah-ungguh kepada semua orang sehingga menjadikan Bakri Syahid dikenal sebagai seorang Muslim Jawa yang sejati.
Bakri Syahid dilahirkan di daerah kampung Suronatan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta pada Senin Wage yang bertepatan pada tanggal 16 Desember 1918. Selisih enam tahun sejak pendirian Muhammadiyah, 1912. Ayahnya bernama Muhammad Syahid berasal dari Kotagede, sedang ibunya bernama Dzakirah berasal dari kampung Suronatan, Yogyakarta. Sejak kecil Bakri Syahid tinggal di kampung ibunya bersama ayah dan saudara dari ibu.
Sejak kecil Bakri Syahid dikenal sebagai anak yang rajin dan cerdas. Tidak hanya itu, ia juga dikenal sebagai anak yang giat, ulet, dan mandiri. Beranjak remaja, ia menempuh pendidikan di Madrasah Muallimin. Di masa Orde Lama ia menjadi salah satu anggota gerilyawan dan akhirnya tergabung dalam Angkatan Bersenjata Replublik Indonesia (ABRI).
Menginjak dewasa, Bakri Syahid kemudian dijodohkan dan menikah dengan seorang gadis yang bernama Siti Isnainiyah. Dari pernikahan tersebut, Bakri Syahid dan Siti Isnainiyah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Bagus Arafah. Sayangnya, pada usia 9 bulan, Bagus Arafah meninggal dunia. Untuk mengenangnya, Bakri Syahid memakai nama anaknya sebagai nama perusahaan, PT. Bagus Arafah.
Secara historis, penulisan kitab Tafsir Al-Huda dimulai sejak Bakri Syahid menjadi Asisten Sekretaris Presiden Republik Indonesia. Ia menulis kitab tersebut secara diam-diam tanpa diketahui oleh sahabat-sahabat maupun saudaranya sendiri. Namun keterangan kenapa ia menulis secara diam-diam tidak begitu pasti alasannya karena istri pertamanya sudah berusia lanjut dan tidak mungkin dapat bercerita dengan baik karena sudah pikun. Namun yang jelas, ia menulis kitab tafsir tersebut ketika ia sedang aktif menjadi anggota militer sampai menduduki jabatan Rektor IAIN Sunan Kalijaga pada 1972-1977.
Penulisan kitab Tafsir Al-Huda tersebut berawal dari kegelisahannya ketika sarasehan di kediaman Syekh Abdul Manan di kota Mekkah dan Madinah. Dalam sarasehan tersebut ia tidak sendiri, namun ada beberapa kolega yang berasal dari Suriname dan masyarakat Jawa yang bermukim di Singapura. Dalam pertemuan tersebut terungkap beberapa keprihatinan terhadap karya kitab tafsir Jawa yang menggunakan bahasa Latin. Dalam pertemuan tersebut Bakri Syahid kemudian termotivasi untuk menulis sebuah kitab tafsir yang kemudian diberi nama Tafsir Al-Huda dan diterbitkan pada 1979 oleh Penerbit Bagus Arafah.
Metode tafsir secara garis besar dibagi menjadi tiga bentuk di antaranya tafsir bil ma’tsur, tafsir bil ra’yi, dan tafsir isyari. Ketiga bentuk tersebut merupakan pemetaan para mufasir pada abad ke-9 hingga ke-13 hijriah. Namun metode tafsir saat ini telah mengalami perkembangan mengingat kondisi beragama dan sosial masyarakat yang terus bergerak. Prof. Quraish Shihab membagi ke dalam beberapa metode: tahlily (analisis), ijmaly (global), muqarrin (perbandingan), dan maudhu’i (tematik). Adapun Tafsir Al-Huda termasuk dalam metode ijmaly.
Ide moral dan semangatnya dalam menulis kitab tafsir perlu kita contoh. Karena mufasir bisa lahir dari mana saja tanpa memandang status sosial dan keluarga. Oleh sebab itu, penulis dalam hal ini menyimpulkan semua mufasir tidak harus lahir dari keluarga ulama, habaib ataupun kiai. Namun semangat dalam belajar terus-menerus dan kerja keraslah yang mampu menjadikan orang biasa menjadi seorang mufasir Quran.
0 Comments