Alibi si Kuat; Menyikapi Kelemahan Diri

Maka selagi kejujuran menjadi pondasi atas kecintaannya, maka tiada beban yang teramat berat dalam kehidupan, kecuali takut mengakui kelemahan.2 min


0

“Ah…aku lemah.” jerit kuat
“Dan beban ini terlalu berat,”
“Engkau membentengiku”
“Sehingga aku kuat menanggung beban itu.”

Ungkapan di atas tertuang dalam sajak-sajak Rubaiyat Jalaluddin Rumi (604 H). Dalam konteks kehidupan, apa yang tidak menjadi beban? Dan apa pula yang tidak menjadi kebahagiaan? Agaknya makin banyak saja suara-suara yang bernada mengeluh. Wajar, manusiawi, pastinya mengeluh. Tidak masalah memang, asal posisi yang dijadikan pijakannya adalah sebagai objek. Bukan sebagai subjek.

Dengan kata lain manusia sudah diberi nas bahwa akan dijadikan indah apa-apa yang ada di depan mata, serta menjadi kecintaan, yaitu wanita, anak-anak, harta berlimpah, kuda pilihan dan sawah ladang.

Apa yang hari ini tidak menjadi satu kecintaan? Saya kira jawabannya sudah tertera di cermin-cermin kamar anda. Tidak hanya yang bersifat materi dan tampak, tetapi yang bersifat non materi pun menjadi satu kegandrungan dalam diri manusia. Kalau Tuhan sudah mewanti-wanti dengan pola hidup sederhana, maka sudah seharusnya setiap menusia menerapkan pola itu.

Kalau yang dicari adalah kepuasan, maka tidak ada tolak ukur terkait kepuasan yang dimaksudkan. Oleh karenanya berharaplah kepada Tuhan, maka bukan perihal sia-sia yang kau dapatkan. Kalimat bijak itu sangatlah ramai dikatakan oleh penceramah, motivator bahkan para pujangga yang gagal mendapatkan selirnya. Dengan kata lain setiap orang memiliki harapan yang tertuju pada objek keyakinannya.

Kecintaan dan beban dalam konteks makhluk, atau manusia sepertinya menjadi satu kesatuan. Kebanyakan orang mengejar mati-matian apa yang menjadi kecintaannya, seraya menolak kegagalan. Karena bagaimanapun manusia tidak akan terpisah dari rasa ingin. Manusia memiliki kecenderungan.

Akhirnya terbentuklah dua pandangan akan hal itu. Manusia cenderung terhadap apa yang menjadi kecintaannya, dan manusia cenderung untuk menolak apa yang tidak menjadi kecintaannya. Dengan kata lain, akan ada berbagai warna dan sudut pandang dalam menyikapi proses kehidupan. Biasanya dinamakan konsekuensi.

Tetapi, ada juga yang melihat beban sebagai bentuk kasih sayang dari Tuhan. Konteks keimanan adalah wujud paling utama dalam proses pencarian. Jati diri misalnya, tidak sedikit yang mengira bahwa manusia secara fitrah memiliki kecenderungan untuk salah dan lupa adalah bentuk kewajaran. Jika saja dianggap wajar mengapa tertulis bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib (keadaan) suatu kaum, kalau kaum itu tidak mau berusaha sendiri?

Ketika kita dituntut untuk memahami sesuatu yang tampak, pun begitu kita harus memahami sesuatu yang tidak tampak pula. Karena ranahnya adalah pemahaman, maka proses belajar menentukan sikap pikir yang dimilikinya. Dengan tujuan agar mampu memahami setiap proses perjalanan, khususnya tentang keimanan.

Jika memandang kecintaan dan memandang beban adalah wujud dari satu perkembangan sikap pikir, maka pertanyaan remehnya adalah, bagaimana mengurai pemahaman atas kondisi yang dianggap beban, dan proses yang dianggap kecintaan? Karena kecintaan adalah proses belajar untuk menentukan. Sedangkan beban adalah kondisi di mana mental memahami proses lahirnya anggapan-anggapan.

Permasalahannya adalah bagaimana manusia mampu melihat satu kondisi dan menyaring anggapan-anggapan? “mungkin ini bentuk kasih sayang tuhan kepada saya,” “mungkin dengan kejadian ini tuhan menunjukkan kepada saya bahwa…..” Banyak sekali ungkapan-ungkapan yang berisi alibi. Tidak jarang bahwa manusia bersikap mitomania, berbohong bukan untuk menipu orang lain, melainkan meyakinkan dirinya bahwa ada kebenaran dalam kebohongan itu. walaupun apa saja konteks kebohongannya, tetap saja dinamakan bohong.

Kehidupan memiliki ruang yang luas. Sekiranya menjadikan manusia memiliki cakrawala pemikiran yang luas, arif dan bijaksana. Kata kuncinya adalah kejujuran dan kemurnian. Karena pada dasarnya, kelemahan adalah kekuatan yang luar biasa, di mana manusia hanya akan mengesampingkan rasa mampunya. Karena sekali lagi manusia tiada kuasa atas apapun. Maka selagi kejujuran menjadi pondasi atas kecintaannya, maka tiada beban yang teramat berat dalam kehidupan, kecuali takut mengakui kelemahan. Terlebih lagi jika terus belajar.

Pojok Rumah, 2018

 


Like it? Share with your friends!

0
Ahmad Dahri

Ahmad Dahri atau Lek Dah adalah santri di Pesantren Luhur Bait al hikmah kepanjen, juga nyantri di Pesantren Luhur Baitul Karim Gondanglegi, ia juga mahasiswa di STF Al Farabi Kepanjen Malang. Buku terbarunya adalah “Hitamkah Putih Itu?”

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals