Setiap orang yang beragama mesti tidak bisa terlepas dari Tuhan. Sebagaimana orang-orang muslim yang melaksanakan ibadah shalat lima waktu dalam sehari untuk menghadap Tuhan yang Maha Esa.
Fenomena itu terjadi karena dilandasi dengan rasa iman akan adanya Tuhan yang bersifat transendental. Mereka tidak tahu wujud Tuhan itu bagaimana namun mereka sangat percaya bahwa Tuhan itu ada.
Tujuan dari menalar Tuhan ini bukan berarti untuk membuktikan Tuhan itu ada atau tidak ada, tetapi lebih mempertanggungjawabkan iman dengan rasional. (Franz Magnis Suseno, 2006:23).
Ciri khas manusia yang ingin tahu lebih jauh dan lebih mendalam membuat manusia selalu bertanya dan bertanya, salah satu pertanyaan mereka menjurus ke pertanyaan yang berhubungan dengan masalah ketuhanan itu sendiri. Selaras dengan itu, Martin Heidegger mengatakan manusia merupakan makhluk penanya.
Berwawasan tak terbatas dan memilki pengetahuan terbatas, mungkin itu suatu gambaran yang jelas mengenai manusia. Selama berabad-abad manusia sudah menyembah Tuhan, jadi tidak realistis jika tidak mempertanyakan Tuhan. (Franz Magnis Suseno, 2006:17)
Pengetahuan mengenai Tuhan memungkin manusia untuk bertindak dan memenuhi kebutuhan rohaninya sehingga pada awalnya hidup ini terasa hambar menjadi nikmat. Kiranya ada suatu proses dialektis yang menarik, pada abad ke-17 sampai 18, filsafat mulai kritis terhadap agama selanjutnya filsuf dan ilmuan menolak akan adanya Tuhan. (Franz Magnis Suseno, 2006:19)
Pada abad ke-20 filsafat kritis terhadap agama mulai menghilang. Di abad ini para filsuf dan ilmuan beralih ke pengetahuan yang berhubungan dengan manusia, seperti ilmu sosial, budaya, dan bahasa manusia. Baru pada abad ke-21 kebutuhan akan Tuhan sangatlah diperlukan. (Franz Magnis Suseno, 2006:19)
Immanuel Kant (1724—1804 M) mengatakan, Tuhan tidaklah menjadi obyek pengetahuan manusia sehingga nalar tidak dapat menjangkau Tuhan. Meskipun menurutnya kesadaran moral merupakan petunjuk akan adanya Tuhan. (Franz Magnis Suseno, 2006:23)
Mempertanggungjawabkan iman dengan rasional. Itulah jawaban atas judul tulisan ini. Perlu dipahami, rasional di sini ada dua pemaknaan, rasional secara teologis dan filosofis.
Secara teologis iman dipertanggungjawabkan dengan dalil kitab suci sebagai sumber kebenaran dan pedoman umat manusia. Sedangakan secara filosofis iman dipertanggungjawabkan dengan nalar. Nalar berfungsi sebagai pemeriksa keyakinan dari beberapa sudut—konsistensi logis, apakah sesuai dengan pola perilaku masyarakat atau tidak. (Franz Magnis Suseno, 2006:23)
Pertanggungjawaban rasional dari sudut pandang iman, bisa dengan cara lunak maupun cara keras. Cara lunak mendasarkan kepada iman yang tak memaksakan seseorang untuk percaya pada Tuhan. Tidak begitu dengan cara keras, yang berusaha membuktikan Tuhan itu ada dengan bukti yang logis. (Franz Magnis Suseno, 2006:23)
Paul Davies menggunakan alegori gua Plato untuk menalar yang transendental. Alegori gua Plato ini sangatlah multi tafsir, tinggal siapa yang menginterpretasikannya.
Setyo Wibowo melihat alegori gua ini dari kacamata proses atau cara mendidik seseorang supaya memiliki bekal menjadi pemimpin yang bijak. Berbeda dengan Paul Davies yang melihatnya dari kacamata metafisika.
Dunia ini diibaratkan dengan gua, manusia yang tertawan sebagai subyek yang mengamati obyek (bayang-bayang). Ini mengandung maksud, kita sebagai seseorang yang mengamati alam sekitar kita—bayang-bayang itu akibat dari proyeksi benda yang terkena cahaya obor yang dibawa budak saat melakukan aktivitas keluar-masuk gua.
Manusia mengira bayang-bayang itu suatu yang abadi dan juga realitas yang sebenarnya, padahal tidak begitu. Benda-benda yang dibawa budak dan cahaya oborlah yang merupakan realitas sebenarnya. (Paul Davies, 2012:23)
Ditelisik lebih dalam lagi, alam yang ada di alam semesta ini merupakan manifestasi dari Tuhan dan suatu bentuk eksistensi-Nya. Dari situ jelaslah sudah alegori gua Plato yang bisa menjawab bila dihadapkan dengan orang-orang yang tidak percaya pada dunia yang transendental.
Ini mengingatkan penulis pada hadis yang menyeru untuk memikirkan ciptaan Tuhan itu sendiri bukan pada zat-Nya. “Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah” (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas).
Hadis di atas memfungsikan nalar manusia sebagai hewan yang berpikir. Karena memang ciri khas manusia yakni berpikir. Bila ditarik benang merahnya, tidak mungkin bila ada alam semesta tanpa adanya sebab paling utama. Adanya meja, kursi, maupun sebagainya karena diciptakan oleh tukang mebel kayu.
Pertanyaan menggelitik yang diajukan oleh teman beberapa saat lalu, terkait manfaat menalar Tuhan yang dihubung-hubungkan dengan masalah ekonomi, sosial, dan negara.
Menurut hemat penulis, itu akan memakan waktu yang panjang untuk menjelaskannya dan harus jujur memang, bahan bacaan yang kurang membuat penulis belum bisa menjawab—bahan bacaan yang sulit didapatkan merupakan salah satu sebabnya.
Penulis tertarik pada pendapat Ulil Abshar Abdalla pada saat bedah buku “Menjadi Manusia Rohani”, beliau mengutip dari kitab hikam karya Ibnu Atha’illah As-Sakandari—mungkin ini bisa menjawab, namun hanya secara umum—lebih kurang begini, sebuah pohon akan semakin berbuah lebat dan akan memberi rasa kenyang kepada orang sekitar dari hasil buahnya jikalau akarnya semakin dalam menancap ke dasar tanah. Ini mengandung makna, semakin ia mengenal Tuhan dan semakin yakin kepada yang Maha Esa, maka ia akan bermanfaat bagi masyarakat.
Dengan demikian, menalar tuhan bukanlah suatu yang tabu dan menakutkan lagi karena sebenarnya, ini bertujuan untuk lebih menyakinkan iman manusia dengan mendalam kepada Tuhan yang Maha Esa.
Referensi:
Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Davies, Paul. 2012. Membaca Pikiran Tuhan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 Comments