Hampir genap setahun saya belajar mengaji bersama dengan anak-anak di TPQ an-Nur, Loderesan. Salah satu taman pendidikan Al-Qur’an yang terletak di wilayah Ringin Pintu bagian Timur Tulungagung. Tempat yang lumayan memakan waktu, apabila diperhitungan dari jarak kos tempat persinggahan saya, Gragalan.
Jarak ini pula yang sering menjadi bahan perdebatan panjang antara hati nurani dan pikiran. Utamanya tatkala dulu saya masih berada di semester tiga kuliah. Setumpuk tugas dan hari aktif kuliah terkadang lebih sering mencerca pikiran dan niat saya untuk berangkat ke sana. Terlebih lagi, apabila cuaca tidak mendukung. Wajah langit lekat dalam suramnya yang pekat. Dan sang awan sengaja hendak menyapa makhluk bumi dengan guyuran. Ah, apa daya, alhasil tekadpun masih sempat terurungkan.
Sungkan sebenarnya, selalu saja saya menyia-nyiakan perjumapaan hangat bersama anak-anak yang sungguh menggemaskan dan luar biasa hiperaktif. Walaupun itu sehari, dua hari bahkan sampai satu minggu. Ah, sungguh keterlaluan. Niatnya si istiqomah, namun tekadpun runtuh dicekal berbagai alasan yang menurut saya lebih penting.
Kealpaan, ketidakhadiran itu pula yang sering menjadikan aktivitas seharian merasa kurang. Ada bagian yang hilang dari kebiasaan. Sedikit rindu terkadang mencuat kepermukaan, semabari merangkai bongkahan tekad teruntuk esok yang semoga lebih membahagiakan.
Tidak hanya menyeruak rindu dan rasa kurang, nyatanya ketidakhadiranpun menyertakan gelisah dan kekhawatiran. Sebab bagaimanapun, belangsungnya kegiatan di TPQ an-Nur adalah tanggungjawab yang harus ditunaikan. Namun lagi-lagi hal itu sedikit terlerai, manakala pikiran saya dengan cepat mengingat, bahwa masih ada asatid lain yang semoga hadir dengan penuh rasa khidmat.
Rasa khidmat yang ditunjukan oleh asatid lain itu pula yang sering menciutkan nyali saya. Meskipun sudah berusia paruh baya, namun semangatnya dalam menyiarkan Islam pada generasi-generasi muda masih menyala. Sementara saya, nihil.
Kalau boleh jujur, memang urusan mengajar bukanlah passion saya. Background keilmuan saya bukan berkonsentrasi dalam jurusan pendidikan. Sebagaimana halnya jurusan Pendidikan Agama Islam yang memang diarahkan untuk berkecimpung dalam urusan pendidikan. Termasuk di dalamnya, dituntut lihai dalam mengajar. Lantas tidak heran, apabila saya sedikit kelabakan dan kaku dalam menghadapi keaktifan yang anak-anak suguhkan.
Kondisi ini, terkadang menjadi cambuk dan semangat baru untuk bereksperimen. Belajar mengolah suasana, mengendalikan fokus dan manajemen waktu berusaha keras saya implementasikan. Sudah barang tentu dalam rangka mencari metode yang efektif, menyenangkan dan memberikan kesan. Oleh sebab itu, terkadang saya harus dengan keras melakukan observasi patisipan. Mengambil peran sebagai orang terdekatnya untuk siap menampung keluh kesahnya. Ya demikianlah kalau saya meminjam bahasa metode penggalian data ala penelitian etnografi. Katanya si biar absah dan keren.
Dari hasil pengamatan saya selama mengajar, terdapat beberapa kecenderungan yang melekat pada karakteristik belajar peserta didik di TPQ an-Nur. Pertama, tekun dan sungguh. Karakter ini hanya dimiliki oleh segelintir dari peserta didik. Dimana indikator dari karakter ini dapat dilihat dari presentase kehadiran yang full dalam seminggu, fokus disertai semangat dalam megikuti pelajaran dan mampu menerima materi dengan tepat. Dari waktu ke waktu mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan dapat dikatakan mengalami peningkatan secara drastis.
Kedua, rajin. Peserta didik model ini tidak pernah alpa dalam urusan kehadiran. Namun tatkala mengikuti pembelajaran memilki daya fokus dan semangat yang kurang. Sehingga tidak mampu menerima materi secara utuh. Keadaan ini biasanya terdeskripsikan jelas dari keluh-kesah yang dilontarkan sang anak.
Sementara karakteristik peserta didik yang tidak termasuk pada kategori yang pertama dan kedua, memiliki pola seni kehadiran yang tinggi. Dimana absensinya dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Terlebih-lebih sifatnya lebih mirip seperti air, mengalir terbawa arus. Mengikuti pembelajaran apa adanya, bahkan semangat itu pun muncul karena gebrakan guyon sebagai warna di celah-celah waktu pembelajaran. Sama sekali tidak memperhatikan materi yang disampaikan. Masuk telinga kiri langsung keluar lewat telinga kanan. Harus berusaha keras untuk memahamkannya.
Ketiga karakteristik belajar peserta didik tersebut, tidak lain merupakan proyeksi dari daya minat dan bagaimana tingkat kepedulian lingkungan sekitar. Termasuk peran orang tua sebagai pusat sekaligus pengontrol utama dalam merengguk pendidikan.
Hasil survey menunjukkan, khalayaknya orang tua desa Loderesan lebih mengarahkan anak pada pendidikan umum. Hampir setiap hari, selepas pulang sekolah, mereka dituntut untuk les. Bukan hanya di satu tempat, bahkan ada yang di banyak tempat. Semua mata pelajaran unggulan seperti halnya matematika dan bahasa inggris harus dikunyah habis. Bahkan kegiatan les itupun terlaksana sampai larut malam. Alhasil, aktifitas kesehariannya monoton dan tampak disibukkan. Padahal, kesempatannya untuk bermain juga berperan penting untuk menghindari kejenuhan dan rasa stress.
Sayangnya, waktu les tersebut juga bertabrakan dengan waktu mengaji di TPQ an-Nur, alhasil setiap harinya tidak mesti semua peserta didik dapat hadir. Upaya negosiasi antara asatid dengan orang tua pun telah ditunaikan. Mulai dari perpindahan jam masuk sampai mempercepat waktu pulang sekuat tenaga diterapkan. Namun, realisasinya tetap saja nihil. Pendidikan umum menjadi pusat pendidikan utama yang diorientasikan. Diperparah pula, dengan kurang kontrolnya orang tua dalam menyeimbangkan pendidikan.
Keadaan tersebut dibumbuhi pula dengan adanya asumsi, bahwa pelajaran di TPQ tidak begitu penting apabila dibandingkan dengan pendidikan umum. Padahal pada kenyataannya fungsi dari TPQ sendiri tidak hanya sekadar belajar Al-Qur’an, melainkan belajar ilmu agama, realitas sosial dan lain sebagainya. Misalnya fiqh, aqidah, akhlak dan sebagainya.
Sebagai dampak dari rutinitas yang super padat dan monoton tersebut, peserta didik sering merampas waktu belajar di TPQ untuk bermain. Lari sana-sini, saling guyon dan bahkan sampai tukaran. Ajib! Atas dasar demikian pula, mengapa asatid terdorong untuk membuat desain pembelajaran yang lebih menyenangkan dan lebih berkesan tidak menjadi beban. Dan ini adalah PR besar yang harus terwujudkan. Bismillah.
2 Comments