Apa tidak karena cinta, kasih sayang, dan kaidah sejenis itu sehingga kita bisa menciumi, menafsui dan mencintai dunia. Sehingga kita mampu mengindra kepada sejumlah kenikmatan-kenikmatan duniawi yang berserakan di atas nampan bumi. Sehingga kita mau jatuh cinta kepada wanita beserta “perlengkapan” biologis yang dibawanya? Uang dan Wine? Bibir merah dan ranjang? Berlian? Mahkota dan spanduk kekuasaan? Teknologi? Gedung-gedung pencakar langit? Dan jenis lain gemerlap tatanan dunia?
Apa tidak karena kasih sayang, cinta, dan kaidah sejenis itu sehingga kita bisa mencintai, menafsui dan menciumi dunia. Tempat di mana para manusia dibaiat sejarah, dikurung ruang dan waktu, serta dinahbiskan nasib dan masa depan sebagai manusia, pelakon utama kehidupan, senormalnya. Tempat yang padahal di mana istilah diperobotkan dan dimanusiakan itu faktanya bermakna sama, sehingga manusia sendiri adalah mereka yang hanya berurusan bagaimana hari ini aku makan dan bagaimana besok aku memamerkan kekenyangan.
Manusia harus menginti. Sehingga dalam beragamapun manusia tidak hanya meromantiskannya dengan gombalan-gombalan pahala dan rayuan sorga. Bukan manusia yang seolah engkau tidak pernah merefleksikan dirimu apakah keromantisanmu dalam berkata-kata soal agama sudah lebih dari sebatas kata-kata.
Engkau sering modus. Engkau tatkala sujud berbisik ke tanah mengenai keutamaan dan keagungan Tuhan namun saat berdoa engkau berteriak ke langit mengemis kegemerlapan dunia. Engkau dengan merdunya mengatakan tiap ibadahmu akhirat adalah yang utama, yang primer dan ultra prioritas, tapi engkau sendiri tiap hari kesibukanmu hanyalah memegahkan bentuk-bentuk kefanaan dunia di cerubung kepalamu.
Engkau dengan khusyuknya mendengarkan ceramah-ceramah pop tentang surga-neraka di stasiun radio, dakwah-dakwah beriklan di saluran-saluran televisi, dan khotbah-khotbah sunnah ber-AdSense di channel-channel YouTube, yang tiap hari siklus pembahasannya merumpi perihal teks-teks wahyu dan hadits yang mulia beserta nuzulul-wurudulnya, membincang perpedoman hidup dua dunia, mem-bahtsul permasalahan khilafiyah fatwa dan madzhab, menanamkan doktrin tuntunan super religius, serta petuah-petuah dan wejangan-wejangan yang sangat akhirat, tapi engkau pribadi di dalam batin masih memburu mati-matian terhadap berbagai isi dari kerajaan dunia yang penuh sesak tipuan muslihat.
Engkau dalam tindak-tandukmu mengagung-agungkan akhirat namun di selubung hatimu istiqomah dalam mendewakan dunia dan menghiperbolakan segala bentuk kenikmatan-kenikmatan yang semu dan mendegradasi kenikmatan-kenikmatan yang sejati. Keromantisanmu dalam beragama ternyata tidak lebih hanya sebatas “acting” dan bentuk perilaku “kosong”.
Ini bukan soal dunia. Isi dunia bukan soal wanita dan selimutnya. Dunia bukan terletak pada bagaimana cara dunia mengenal diri kita, mengetahui kelemahan kita lalu memperbudakkan eksistensi kita. Dunia adalah bagaimana kita sendiri mengenalnya dan memperlakukan dunia itu, menjejakkan kita padanya. Sehingga jalan kehidupan yang tersisa, adalah sebagai gerak-cinta kepada setiap makhluk supaya kita kembali pada-Nya, pulang ke Asal.
Dunia bukan finish kita. Kehidupan sementara bukan titik akhir pengembaraan abadi kita. Maka engkau jangan sekali-kali mengakhiratkan dunia dan kehidupanmu dengan mentitikberatkan sepanjang perjalananmu kepada hal seremeh-temeh dunia dan kehidupan hanya karena pernak-pernik keindahan dan gengsinya. Kehidupan di dunia ini terlalu remeh dan kerdil untuk kau besar-besarkan. Untuk engkau terlalu junjung-junjung dengan menomorsatukan. Tuhan juga terlalu segalanya untuk kau nomorduakan. Maka engkau jangan termangu seolah jika dunia ini lenyap engkau juga ikut lenyap dan melupakan Keberadaan-Nya. Seolah jika lahan dunia yang luas ini pelit kepada nasibmu sehingga tak menyediakan sepotong tanah pun untuk kau diami dan duduki sebagai rumah, lalu engkau merasa kehilangan Rumah.
Sehingga engkau sebagai hamba mutlak menjadi hamba samar yang dihambakan hamba. Sehingga engkau lapar hanya karena sebatas persoalan makanan. Sehingga engkau tidur hanya karena perkara mengantuk. Sehingga engkau sakit hanya karena kesehatan raga. Sehingga engkau kuat hanya karena gumpalan-gumpalan otot lengan. Sehingga engkau kaya raya hanya karena uang dan segudang harta. Sehingga engkau bersedekah karena imingan lipatan-lipatan pahala. Sehingga engkau mau beribadah karena timbangan kesolehan. Sehingga engkau berbuat baik hanya karena tuntutan ajaran dan perintah Tuhan. Sehingga engkau menghamba hanya karena Tuhan telah memperkenalkan Diri-Nya.
Hakikat dunia itu semu: penuh intrik, penuh ilusi, penuh topeng! Kerajaan Dunia tidak semegah yang diimajikan. Mahligai dunia terlalu menipu. Hahaha, Wahai, yang jikalau kau lihat wanita jatuh dari tangga, dan kau lihat dia terluka dibalik kulitnya adalah darah-darah?
Tentunya saya juga harus mengumpulkan kenaifan yang sangat besar dalam menuliskan ini. Karena sejenis manusia yang melulu menulis seperti ini, menulis secara terus-menerus dan kontinu setiap hari, meng-“afalaa ta’qilun”kan titipan akalnya agar tidak terlalu kecewa lah Tuhan telah menitipkan akal padanya, di tiap pagi-sore tanpa jeda dan waktu henti, kalau tidak bersembunyi dan mencari aman di balik kata “naif”, dia akan diseret ke Rumah Sakit Jiwa esok harinya.
Tentu saja saya sendiri tetap mencintai dunia. Pastinya juga tidak hanya pada dunia secara umum dan permukaan saja, melainkan segala macam jeroannya. Kalau saya menomorduakan segala bentuk sorga dan atribut pahala bukan berarti saya ogah-pahala dan anti-sorga. Saya bukan snob. Saya dengan kepentingan untuk merebut kenormalan saya, saya harus mencintai dunia. “Mandat kehidupan” memang adalah: Hubbud Dunya. Saya tidak mau karena kebodohan-kebodohan saya berhidup, saya dibuang dan dilempar keluar dari simpai “peradaban normal” manusia.
Kalau saja sekarang begini, dan suatu besok begitu, pastinya itu bukan karena saya sangat patuh, sangat menuruti, takdim, menghormati dan mengindahkan apalagi mencintai dari segala juknis-juknis, keputusan dan takdir Tuhan yang memang harus saya taati, tapi karena memang tidak ingin dianggap sinting! Namun demikian, kalau sudah dianggap tidak sinting karena mencoba menjadi seperti manusia-manusia normal bukan berarti saya memang sudah normal, apalagi harus menormalkan diri saya terhadap apapun yang tidak normal telah dinormalkan manusia. Bisa saja saya hanya acting dalam menjalani kenormalan hidup.
Hidup, kan: Jadilah orang yang mengejar, mengeruk dan menggilai dunia maka tingkat kenormalanmu sebagai manusia, sebagai yang bernafas dan terlebih lagi sebagai hamba akan meningkat beberapa derajat.
Biarkan engkau dijajah kehidupan dan biarkan pula engkau memberikan hak kepada dirimu untuk mengelabuhinya, menipu segala penipuan-penipuan yang telah dipertontonkannya, dengan hidup di hari-harimu seolah-olah engkau engkau manut dan tunduk sepenuhnya padanya. Karena hidup hanya sebatas mengurusi dan merawat dunia saja tanpa harus terlena dan terhanyut di dalamnya.
Maka hentikanlah sketsa-sketsa lupamu dan sejumlah “malingering”-mu tentang pentingnya akhirat dan sejenis keabadian lainnya, yang selama ini kau pelihara padahal sebenarnya hanya kau buat-buat. Apaka engkau lupa bahwa esok dunia akan dihapus dari tempatnya. Apa engkau lupa istana bumi akan bergoncang dan gapura langit akan berjatuhan. Apa engkau lupa kekuasaanmu dalam berpoltik hanya sementara, sementara kekuasaan sejati sedang mengintai di sana. Apa engkau pikun kalau dunia itu fana dan melupakan kekekalan alam baka.
Wal aakhiratu khairun wa abqaa. Wal aakhiratu khairun wa abqaa. Wal aakhiratu khairun wa abqaa. Wal aakhiratu khairun wa abqaa. Wal aakhiratu khairun wa abqaa. Wal aakhiratu khairun wa abqaa. Wal aakhiratu khairun wa abqaa.
Apa tidak karena kasih sayang, cinta, dan kaidah sejenis itu sehingga kita bisa mencintai, menafsui dan menciumi dunia. Sehingga kita mau memakan manisnya buah-buahan di mana dua hari lagi kelezatannya akan musnah, kulitnya akan menua dan mengeriput, seta daging-dagingnya yang ranum akan membusuk dimakan sekumpulan belatung dan gerombolan ulat.
Apa tidak karena kasih cinta, sayang dan kaidah sejenis itu sehingga kita bisa menafsui, mencintai dan menciumi dunia. Sehingga kita mau bersyahwat kepada raga wanita yang sesungguhnya dia hanyalah sebatas adonan pigmen-pigmen kulit, yang di dalam kulit mulus berpigmennya hanyalah kabel-kabel pembuluh darah, hati dan usus, dan rangkaian tulang belulang. Sehingga kita dengan segala “penipuan terselubung” ini merendah-jatuhkan martabat wanita. Sehingga kita selalu disibukkan bersangka-sangka bahwa wanita adalah pada “raganya”, bukan pada “jiwanya”. Sehinnga kita bias kepada keindahan. Sehingga kita tidak tahu jarak antara keindahan dan kejelekan dunia hanyalah setipis kulit ari manusia.
Apa tidak karena cinta, kasih sayang, dan kaidah sejenis itu sehingga kita bisa menciumi, menafsui dan mencintai dunia. Sehingga engkau masih sampai sekarang mencintai muluk-muluk terhadap dunia, uang dan segala isinya. Aku was-was, kalau esok pagi terbit tiba-tiba ada Sangkakala dadakan yang dihembuskan ke penjuru langit dan segala bentuk kenikmatan duniawi dicabut akarnya dari bumi, hingga seluruh manusia bingung dan linglung terhadap dirinya dan yang sedang dinikmatinya, sehingga ia malu dan menyesal karena selama ini ia ternyata terkecoh dan tertipu. Untung aku mencintai dunia hanya berpura-pura.
0 Comments