Ada satu film yang kiranya korelatif dengan apa yang akan saya tulis, Redemption, ya, itulah judulnya. Film ini dibintangi aktor terkenal hollywood Jason Statham. Saya bukan ingin memberi sinopsis film, hanya saja ada percakapan yang menarik antara Joey (jason) dan Christina (biarawati).
Ketika Joey diberi kabar oleh Christina bahwa kekasihnya dibunuh setelah sebelumnya dicecoki narkoba, Joey berniat balas dendam. “Munafik”, ucap Christina. “Bukankan kau bekerja sebagai kurir narkoba”, “mungkin narkoba yang kau antar itulah yang membunuhnya” sergap Christina.
Melihat logika masyarakat kita secara nasional, dari grassroots hingga elit, nyata dan maya (netizen), jelata hingga tokoh besarnya bahkan tokoh agamanya, seperti ada logika yang kacau. Ya, logika yang tertutup kemunafikan (hypocrat). Ada dua logika munafik yang akan kita bahas di sini.
Pertama, Orang lain (lawan politik) pasti salah, sama sekali tidak ada benarnya, walau hanya seukuran butir debu. Sementara diri dan kubunya atau yang sewarna dengannya pasti benar, tak ada salahnya walau hanya sebutir debu. Jika ada ada orang, tokoh, kelompok yang berpikir seperti ini, seperti ada yang salah di logikanya, atau memang sudah kehilangan logika. Logika tidak akan bisa menerima manusia yang selalu salah dan selalu pasti benar. Karena logika sehat akan mengatakan, manusia boleh jadi benar tapi bisa salah.
Baca juga: Pemilu dan Nasionalisme
Bukan hanya logika, bahkan agama pun mengajarkan, bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa (mahallul khatha’ wa an-nisyân). Jadi, cukuplah seseorang atau satu kelompok itu terdeteksi tertutup oleh logika kemunafikan ketika dia mengklaim kebenaran mutlak hanya ada pada dirinya tanpa celah salah walau hanya sebutir debu sementara siapapun yang berseberangan mutlak selalu salah tanpa benar walau sebutir debu.
Logika pertama ini sudah nyata sekali di Indonesia, betapa orang-orang yang disebut akademisi, tokoh agama, intelektual, tokoh politik, hingga akar rumput, telah kehilangan common sense (akal sehat) nya. Dan justru yang menyedihkan adalah agamawan yang mengalami ini, seakan-akan kitab-kitab pembersihan jiwa (tasawwuf) yang berfungsi untuk mendeteksi penyakit hati tak berguna untuk dirinya, karena dirinya sekejap merasa suci tanpa kesalahan.
Kedua, membenci, mengutuk satu perbuatan yang ternyata dilakukan oleh dirinya. Seperti membenci kebohongan yang ternyata juga dilakukan sendiri. Atau mengutuk kebohongan jika itu merugikan dirinya, tapi jika menguntungkan diri dan kelompoknya kebohongan itu dibiarkan. Ini juga kategori logika munafik.
Baca juga: Titik Temu Karakter Politikus dengan Karakter Hukum
Lalu bagaimana menyikapi dua logika (munafik) nasional ini?. Pertama, hidupkan akal sehat (common sense). Ada jarak antara kepintaran, keilmuan dan akal sehat. Karena situasi politik ini membuktikan akal sehat bisa mati walaupun bergelar akademik tinggi. Ya, seperti para akademisi, agamawan, dan elit politik yang gemar sumpah serapah lewat twitter itu. Itu jelas telah kehilangan common sense.
Akal sehat yang paling dasar adalah, manusia bisa salah bisa benar. Kalau benar hendaknya didukung, jika salah, dibantu agar jadi benar. Mengapa begitu? Karena kita pun ingin diperlakukan demikian. Akal sehat lainnya yang paling dasar adalah, jangan mengklaim ingin melakukan perbaikan jika cara yang dilakukan justru perusakan. Ingin memperbaiki umat tapi dengan ceramah tidak mendidik, yang menghina, yang penuh ujaran kebencian, cacian pada tokoh tertentu. Ini berarti mencuci baju dengan air kencing. Ya, ingin membersihkan tapi malah mengotori.
0 Comments