“Pak, makan apa kita hari ini” ucap si Roy kepada Pak Ujang yang sedang membetulkan senar gitar. Pak Ujang adalah perantau dari suatu desa yang datang ke ibu kota hanya karena ingin bisa meningkatkan perekonomian keluarga. Awal datang di Jakarta ia kaget melihat kondisi yang tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam pikirannya. “Hmm… ini kota, tapi untuk cari sesuap nasi pun sulit” pikirnya sesekali waktu. “Nanti kalo ada rezeki Bapak belikan nasi, Nak” jawab Pak ujang.
Pertanyaannya, apakah jika seseorang yang hidup di kota atau sekedar mencari nafkah di daerah perkotaan pasti kaya? atau paling tidak perekonomiannya pasti kecukupan? belum tentu, bung. Seperti halnya kisah pak Ujang dan anak semata wayangnya di atas tadi.
Dalam data yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI, jumlah kemiskinan di Ibu kota pada September 2019 adalah 362.300 orang. Ini di Jakarta, ibu kota Indonesia. Lalu bagaimana dengan kota lainnya? Jumlah kemiskinan di Jakarta merupakan jumlah kemiskinan terkecil di Indonesia. Jadi, di luar Jakarta jumlah kemiskinan lebih banyak. Oh ya, itu September 2019 loh, belum ada Covid 19. Apalagi sekarang; PHK, penurunan penghasilan, pemotongan gaji, dan lain-lain yang semakin meningkatkan statistik angka kemiskinan.
Baca Juga: Marjinalisasi Kelompok Minoritas di Tengah Pandemi Covid-19 |
Setelah membetulkan senar gitarnya, Pak Ujang berangkat untuk mancari nafkah. Ia pergi ke Jalan raya, menunggu tepat di pinggir lampu merah. Ya, Pak Ujang ngamen dan itu tidak seperti apa yang dibayangkannya dulu. Pak Ujang mengira bahwa dengan hidup di kota ia pasti mendapat pekerjaan yang layak, duduk di sebuah kursi kantor, ber-AC, berkemeja, berdasi, bersepatu mengkilat dengan rambut tertata rapi, misalnya. Ternyata tidak. “Ekspetasiku terlalu besar” gumamnya dalam hati sesekali waktu.
“Hm… panas banget ya hari ini, tidak seperti biasanya” ucap Pak Ujang kepada ibu-ibu penjaga warung makan kecil di pinggir jalan. Setelah menyanyikan beberapa lagu dan uang yang didapat tadi dirasa cukup, Pak Ujang langsung pergi ke warung makan untuk membeli dua bungkus nasi, untuknya dan untuk si Roy anaknya. Ia tak tega jika anaknya yang kelaparan di rumah harus menunggu lama. Setelah membayar, Pak Ujang langsung pulang.
Di tengah perjalan, Pak Ujang melihat banyak pengemis di pinggir jalan, terpaksa ia memberikan uangnya yang tersisa untuk para pengemis. “Tak jauh beda dengan di desa” batin Pak Ujang, entah apa maksudnya.
Saya atau mungkin anda pasti pernah membayangkan bahwa dengan hidup di kota, perekonomian kita pasti terjamin, kerja di kantor, berdasi dan lain-lain seperti apa yang dibayangkan pak Ujang di atas. Namun realitanya, hal tersebut belum tentu kita dapatkan, karena kehidupan di kota jauh lebih keras. Jika kita tak memiliki kemampuan dalam bidang apapun jangan pernah berharap hidup enak di sana. Bahkan jika memiliki ijazah S-1 pun belum menjadi jaminan anda dapat kerja enak, gaji layak. Belum lagi biaya hidup di kota juga lebih mahal dari pada di desa.
Baca Juga: Luasnya Cakupan Sabar dalam Kehidupan |
Di Jakarta, bangunan-bangunan mewah, gedung-gedung tinggi, hotel, mall, memang sangat banyak. Namun siapa yang mampu menikmati? pengamen? gelandangan? tentu saja tidak. Meskipun bangunan mewah dan gedung-gedung tinggi banyak, tapi jumlah gelandangan, pengamen, bahkan jumlah pengangguran pun tidak kalah banyak. Ketimpangan ekonomi masih terjadi, padahal itu ibu kota, loh. Apalagi kota-kota biasa lainnya.
Ya, kita pun sudah melihatnya sendiri bagaimana kemiskinan yang sudah membeludak ini, tanpa adanya lapangan pekerjaan bagi mereka. Mereka yang hidup serba kekurangan akan tetap kekurangan dan mereka yang berkecukupan pun akan lebih cukup. Sungguh simpang siur hidup ini. Ya gimana lagi, kalau tidak ada usaha sendiri buat nyukupin kebutuhan ya ndak bakal bisa hidup. Hidup ini penuh dengan ketidakadilan seperti yang sudah kita jalani selama ini.
Mau makan susah, mau kuliah susah. Lantas, bagaimana penerus bangsa ini, coba? Kalau keadaan terus seperti ini, ya, bisa-bisa negara semakin di kuasai orang bodoh yang bejo. Bisa saja itu terjadi, bukan? Yang katanya kemiskinan akan berkurang, eh justru kemiskinan lebih membeludak sekarang. Anehnya, pemerintahnya diam saja. Tidak ada tindakan untuk mengatasi ini. Hmm… sungguh negara ini semakin aneh saja.
Pak Ujang yang hidup hanya dengan anak semata wayangnya harus rela pontang-panting demi mendapatkan sesuap nasi. “Hidup di kota itu memang keras ya, Pak?” ujar Roy pada Pak Ujang. Kemudian Pak Ujang memberi nasehat kepada anaknya itu agar terus bersemangat dalam menjalani kehidupan dan bisa mengubah nasib mereka menjadi lebih baik lagi. Pak Ujang dan Roy bekerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dengan menghabiskan waktunya untuk bekerja dan terus bekerja.[AR]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments