Di pagi menjelang siang hari itu, aku, kopi, kretek, dan sahabatku, Bung Novanto, duduk manis di latar rumah. Entah apa muasalnya, Novanto lalu mengutarakan kegelisahannya tentang sejarah mbahnya manusia, Adam as.
“Kang, apakah mungkin Adam dicampakkan ke bumi hanya karena memanen buah Khuldi?”
Aku hanya mendiamkan pertanyaannya, sejurus datang rasa penasaranku apa yang melatarinya untuk bertanya hal kuno semacam itu.
“Ah, mungkin sekadar iseng,” pikirku.
Terus, ia kembali bertanya, “Kang, apakah bisa aku memiliki rasa cinta laiknya cinta Adam ke Hawa?”
Wah, aku sedikit panik mendengar pertanyaan kedua ini. Sesekali aku tersenyum untuk meresponnya.
“Mimpi apa bocah ini tadi malam,” bisikku dalam hati.
“Kang, jawab aku!” paksanya.
“Lalu, apakah sebelumnya Adam sudah tahu bahwa ia kelak akan terpisah dengan Hawa seturun dari surga?”
“Wah, bocah gendheng ini menghilangkan nikmatnya kopiku saja,” batinku.
“Sebetulnya jawaban model apa yang ingin kaudengar dariku, Nov?”
“Jawab saja meturut hatimu, Kang.”
“Apa yang kauketahui tentang kisah cinta mereka, Nov? Apa yang membuatmu bertanya semacam itu?”
“Kang, sebenarnya aku penasaran seperti apa kisah cinta sepasang manusia pertama di bumi itu, Kang. Bagaimana mereka menanggapi sebuah perasaan yang sebelumnya tak ada satu orang pun yang pernah merasakan dan mengalaminya.”
Begini lho, Nov, satu hal yang kuketahui, Adam sebenarnya ingin mengajarkan kita tentang satu ilmu yang tak pernah dijual di kampus manapun di jagat raya ini.
Nov, coba kaurenungkan, apakah mungkin manusia selevel Adam begitu mudah tertipu bujuk rayu Iblis? Kau bisa bayangkan seperti apa dahsyatnya kemampuan manusia pertama di bumi itu. IQ-nya, intelegensianya, spritualnya, integritasnya, keperkasaannya, imannya, kharismanya, dan nya–nya lainnya. Sungguh amazing pasti. Sama sekali tak ada duanya dengan manusia zaman now ini. Jauh malah. Pakai banget.
Sedikitpun tak boleh ada celah bagi kita mestinya untuk curiga apalagi meragukan kredibilitas seorang Adam. Masa’ iya hanya karena bujuk rayu Iblis beliau tergiur memetik seonggok Khuldi. Tak masuk di dengkul, apalagi di akal.
Satu hal yang mesti kita sadari, ada motif mulia di balik tindakan Adam itu. Selama ini, Adam dan Hawa begitu berkecukupan dan mewah hidup di surga. Apapun yang diinginkan selalu terwujud, belum sempat terucap, terbesit saja di hati langsung dikabulkan Tuhan. Dengan kehidupan se-wah itu, Adam ternyata memandang pesimis akan masa depan cinta mereka. Apa artinya cinta tanpa isak tangis dan airmata. Apa artinya cinta bila tanpa perih dan liku.
Karenanya, dengan berat hati, Adam memutuskan untuk turun ke bumi dan terpisah dengan Hawa. Untuk apa? Tiada lain, agar cinta mereka teruji.
Moyangnya manusia mewariskan pelajaran agung tentang cinta. Pelajaran ini yang kini alpa ditangkap oleh anak cucu cicitnya. Betapa hari ini, kita begitu gagap mempraktikkannya. Bila Adam rela terpisah ribuan mil dengan Hawa, bertahun lamanya, betapa banyak derita yang mesti dilewati hingga akhirnya bersatu. Kita, malah kian hampa membahasakan khazanah cinta.
Kau bisa lihat, Nov, sepasang manusia sangat enteng tiap detiknya saling mengucapkan i love you. Sayangnya, cinta hanya terawat dalam kata, tak sampai pada jiwa. Cinta picisan. Tauladan mereka bukannya Adam, tapi oppa-oppa itu. Cinta dipelajari bukan dari layar kehidupan, melainkan dari layar drama-drama Korea. Cinta yang baik semestinya -meminjam istilah Hamka- membuek sangsai. Dengan begitu, kepemilikan cinta seseorang akan dilabelkan sebagai cinta yang sejati.
Di tahun-tahun politik yang kian panas ini, model cinta pragmatis seperti itu kemudian diperagakan oleh penguasa kita hari ini, Nov. Kebencian benar-benar rapi dibalut dengan kalimat-kalimat cinta. Di muka sayang, di belakang saling tendang. Bukannya melempar kasih, tapi saling melempar kursi. Demi tahta, mereka cium tangan lusuh ibu-ibu tua, mengelus kepala anak-anak jalanan, menunduk di kaki buruh-buruh pasar. Sandiwara cinta yang benar-benar joss.
Makin gencar kampanye politik dilakukan, makin rame pula kepala daerah dijala KPK. Kemarin bermanis lidah di depan rakyat, hari ini dinobatkan sebagai tersangka korupsi. Rakyat tak ubah seperti dadu, seenak perut dipermainkan. Jika sudah demikian, mampukah rakyat memaafkan sederet dosa mereka? Di saat tulus dan dusta sulit dibedakan, maka nasib bangsa jadi tumbal. Seorang guru pernah berpesan, “Kekuasaan di tangan penguasa yang tak memahami bahasa kasih, hanya akan mencoreng marwah peradaban.” Kata itu, hingga hari ini masih kusimpan rapi di sanubari.
Hujan kritik di tahun politik, adalah kegaduhan berikutnya yang menerpa negeri ini. Kubu satu teriak “kibul”, kubu seberang membalas “please, jangan asbun.” Rakyat benar-benar dibuat bingung, kebingungan yang berpotensi memecah-belah persatuan bangsa. Semakin tak pastinya wibawa negara ini menguatkan asumsi bahwa kita sedang dididik oleh penguasa yang tak menghikmahi ajaran cinta Adam. “Camkan itu Nov.”
“Nov, Nov. Walah, dasar Novanto silit, berbuih mulutku bercerita, tidur kau ternyata.”
“Walah, maaf, Kang, khutbahmu aduhai syahdunya.”
0 Comments