Mengukuhkan Kembali UIN Sunan Kalijaga sebagai Salah Satu PTKI Terbaik

UIN Sunan Kalijaga Untuk Bangsa dan UIN Sunan Kalijaga Mendunia. 4 min


UIN Sunan Kalijaga (Sumber: jogja-idntimes.com)

Seiring mengalirnya arus revolusi kemerdekaan, pendidikan tinggi di Indonesia juga turut mengalami perkembangan. Hal tersebut tidak saja dalam PTU (Perguruan Tinggi Umum) melainkan juga dalam pendidikan tinggi keagamaan atau yang kerap dikenal dengan PTKI. Hal ini melahirkan nama-nama besar PTKI yang menjadi bagian perkembangan keilmuan di Indonesia. Setidaknya UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi salah satu contoh dalam hal ini.

Dinamika keilmuan dan kelembagaan dalam PTAI menunjukkan bahwa terdapat perkembagan yang terus menerus di dalamnya. Tulisan ini akan membincang perkembangan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta dinamika yang terjadi di dalamnya.

Dari PTAI ke IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga 

69 tahun lalu, tepat pada tanggal 26 September 1951, UIN Sunan Kalijaga diresmikan menjadi kampus, yang kala itu, sebagai PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) oleh KH. Wahid Hasyim, selaku Mentri Agama RI saat itu. Seiring berjalannya waktu, tepat pada 1 Juli 1965, PTAIN berubah nama menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Kalijaga. 39 tahun kemudian−tepatnya 2004−IAIN Sunan Kalijaga berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Hal ini ditandai dengan dibukanya dua fakultas umum, yakni: fakultas ilmu sosial dan humaniora serta fakultas sains dan teknologi.

Baca Juga: Tradisi Baru Pimpinan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tren perkembangan kelembagaan yang ada di PTKI sesuai dengan perkembangan keilmuan yang mengalir pada saat itu. Sebab, awal pembentukan PTKI merupakan cita-cita founding fathers bangsa Indonesia, yang menjadikan kajian dalam PTKI adalah ilmu-ilmu Keislaman saja, yaitu: Ilmu  Ushuluddin, Dakwah, Tarbiyah, Syari’ah dan Adab.

Keilmuan tersebut menjadi bagian dari pembentukan IAIN di Indonesia dan di beberapa daerah dengan kecenderungan keilmuan keagamaan terbatas dengan istilah STAIN. Kecenderungan berikutnya yakni dengan menyatukan dikotomi keilmuan baik umum maupun agama sehingga melahirkan istilah UIN di PTKI.

Pada era Maftuh Basyuni yang menjabat sebagai Mentri Agama, UIN hanya memiliki tiga kampus di Indonesia, yaitu: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Karena pada masa itu−Maftuh Basyuni selaku Mentri Agama−kurang membuka ruang pengembangan pada PTKIN.

Barulah pada era Mentri Agama RI selanjutnya yang diampu oleh Suryadharma Ali hingga Lukman Hakim, pengembangan PTKIN dari IAIN menjadi UIN cenderung semakin mudah. Hal tersebut menjadikan jumlah PTKIN di Indonesia menjadi lebih banyak. Dengan 17 UIN, 34 IAIN, dan 7 STAIN. Kemungkinan data tersebut akan terus bertambah seiring dengan proses pemekaran yang sedang berjalan sampai sekarang, seperti IAIN Tulungagung, IAIN Salatiga, dan lain sebagainya.

Berkembangnya institusi dari IAIN ke UIN tersebut mengisyaratkan perubahan paradigma keilmuan. Sebab, sebelum berubah menjadi UIN, PTKI cenderung lebih sempit kajiannya.Hal itu terlihat jelas karena hanya bidang keagamaan sajalah yang dimiliki serta diprioritaskan.

Seiring perubahan tersebut, keilmuan Islam kini tidak berdiri sendiri karena  memiliki keterkaitan dengan keilmuan umum yang lainnya. Dalam hal ini, UIN Sunan Kalijaga memiliki istilah, yaitu “Integrasi-Interkoneksi” keilmuan, dengan tiga model utama keilmuan, yakni ilmu agama, ilmu sosial, dan ilmu sains. Ketiganya ditopang oleh filsafat ilmu dalam perspektif ontologi, epistimologi dan aksiologis.

Menjadi Bagian dari IAIN Sunan Kalijaga 

22 Tahun lalu, setelah menyelesaikan 2 tahun kuliah magister di IAIN Alauddin Ujung Pandang, saya mendapat panggilan tugas negara. Tepatnya pada bulan Agustus saat reformasi 1998. Tugas tersebut menjadikan saya resmi bergabung dengan IAIN Sunan Kalijaga. Tugas ke Yogyakarta ini merupakan bayang-bayang abstrak, karena belum jelas penempatannnya. Setelah diadakan pertemuan di rektorat baru, segera saya ketahui bahwa penugasan tersebut berada di Fakultas Ushuluddin.

Sebagai seorang pendatang (bukan alumni atau anak kandung IAIN Sunan Kalijaga), saya tentu saja memerlukan proses adaptasi yang progresif. Sebab, kawan-kawan dosen tak ada keterkaitan antara dosen dan murid. Untungnya pada rentang waktu 1998, kebijakan dosen baru tak hanya satu jalur (alumni) saja. Melainkan ada dua jalur lainnya, yakni alumni magister dalam negeri dan pembibitan luar negeri. Saya dan kawan-kawan banyak berasal dari ketiga sumber dosen tersebut, dengan lulusan magister yang berasal dari seluruh Indonesia

Isyarat bergabungnya saya ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebenarnya sudah ada sejak 1997. Walaupun tidak memahami secara langsung bahwasanya tugas tersebut akan ditempatkan pada Fakultas Ushuluddin. Karena pada tahun itu, IAIN Alauddin mengadakan seminar internasional dengan pesertanya seluruh dekan Ushuluddin se-Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Drs. Nadjib Muhtar, M.A. selaku Dekan Ushuluddin IAIN Jakarta. Beliau masih memiliki ikatan keluarga dengan saya dan biasanya saya memanggilnya dengan sebutan Mbah.

Acara seminar tersebut berjalan dengan lancar. Saat jeda acara, kawan-kawan magister dan beberapa peserta seminar melakukan foto bersama. Dalam foto tersebut, terdapat pula dekan Ushuluddin dari IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta. Foto itu biasa saja. Hanya foto bersama dalam formalitas, yang saya rasa tanpa makna.

Baca Juga: Mengenang Sosok Pendidik: Prof. Dr. Suryadi, M.Ag

Namun, foto tersebut menguakkan makna dari langit dengan sendirinya. Saat saya datang di Yogyakarta pada tahun 1998. Saya menghadap Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, yang saat itu dijabat oleh Prof. Dr. H. Burhanuddin Daja. Saat itu pulalah makna dari foto itu seakan telah ditorehkan dari Yang Kuasa. Sebab, orang yang saya hadapi−Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga−merupakan orang yang pernah bertemu serta melakukan foto bersama saya di Hotel Makassar, 1996 silam.

Kini, tak terasa 22 tahun sudah mengabdi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan tantangan yang berbeda dan semakin terbuka dengan lahirnya media sosial melalui dunia maya.

Tantangan Civitas Akademika 

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta harus memegang kembali peranannya dalam skala nasional dan internasional. Hal tersebut telah digaungkan oleh rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. Al Makin, MA. dengan membuat slogan “UIN Sunan Kalijaga Untuk Bangsa dan UIN Sunan Kalijaga Mendunia.”

Indikator pemeringkatan sebuah perguruan tinggi memang sering terdengar. Hal tersebut tidak saja  melalui hasil akreditasi lewat BAN-PT saja, melainkan juga dalam hal publikasi dan rangking tertentu lewat webometric dan sebagainya. Hal ini masih membutuhkan perjuangan dalam mewujudkannya, khususnya di kalangan PTKI.

Kacamata pemeringkatan Dikti menjadi bagian penilaian di perguruan tinggi. Kegiatan Tridharma perguruan tinggi menjadi acuan utama di dalamnya. Jumlah rasio dosen dan mahasiswa menjadi hal yang penting. Selain itu, terdapat pula citasi publikasi masing-masing dosen di dalamnya, yang tidak saja memiliki akses dalam negeri, melainkan juga luar negeri. Peringkat tersebutlah yang menjadikan ITB, UGM dan IPB sebagai PTU terbaik di Indoneia.  Atas dasar ini pula, PTKI harus mulai berbenah, termasuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Perubahan di atas menjadi bagian penting dalam kehidupan akademik. Di mana tantangan tidak hanya dari dalam melainkan juga dari luar. Atas dasar inilah UIN Sunan KAlijaga mampu mewujudkan kembali “UIN Sunan Kalijaga untuk Bangsa, UIN Sunan Kalijaga Mendunia.”

Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Dr. H. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag. M.Ag. (alm.)
Almarhum Dr. H. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag. M.Ag. adalah Wakil Dekan Bidang Akademik Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (2020-2024). Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) dan Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin Lamongan Jawa Timur. Karya tulisan bisa dilihat https://scholar.google.co.id/citations?user=JZMT7NkAAAAJ&hl=id.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals