Berada di Tepi Zaman: Sagu Singkil, Nasibmu

Jika kita mau berpikir reflektif, betapa kita sebagai manusia sudah bersikap sombong dengan mengingkari semua nikmat dan karunia-Nya.6 min


Sumber gambar: kompasiana.com

Ketika saya melakukan penelitian ke Aceh Singkil 1 April 2021 lalu, tak sengaja saya singgah ke warung Sinanggel 580 di Desa Rimo. Betapa beruntungnya saya, ternyata warung itu adalah satu-satunya warung yang menjual makanan tradisional khas Singkil Hulu. Warung ini ternyata milik seorang milenial pegiat literasi, aktivis pariwisata, dan pecinta budaya bernama Wanhar Lingga. Di desanya, ia dikenal sebagai tokoh pemuda yang aktif mengangkat budaya yang ada melalui berbagai aksi dan literasi.

Saya membuka menu yang telah disediakan, lalu mulai memilih makanan. Saya sedikit bingung dengan nama makanannya, tetapi saya meminta rekomendasi dari pramusaji mana yang khas dan bisa menuntaskan rasa lapar saya. Tak berselang lama, pramusaji itu pun memilihkan menu spesial untuk saya, “coba ini bang..” ucapnya. Di menu itu tertulis gedah sagu, harganya lima belas ribu. Saya pun menjawab, “boleh juga..”. Kemudian jemari saya menunjuk ke sebuah minuman, sembari berkata “ini minuman apa dek?”. Dengan sabar pramusaji itu menjelaskan, “ini godekh bang, minuman manis khas Singkil. Abang mau coba?”. Saya menjawab, “bolehlah, saya coba juga..”.

Sekitar sepuluh menit kemudian, pramusaji itu mengantarkan makanan dan minuman yang saya pesan. Nampak tersaji sebuah makanan berbentuk lingkaran, bertekstur keras dan kasar di bagian atas, serta beberapa titik bekas gosong yang tersebar di permukaannya. Makanan itu disajikan dengan kuah durian (tekhutung) yang lezat, dan saya pun mulai mencicipinya. Saya mulai ritual makan gedah sagu dengan mencuilnya sedikit, dan ternyata dibalik tekstur atas yang kelihatan renyah, bagian bawahnya lengket seperti lem. Saya kunyah potongan kecil itu sembari menikmati sensasi makan yang berbeda dari makanan lainnya, sangat lezat dan penuh citarasa.

Baca juga: Menikmati Kotagede Sebagai Upaya Menjaga Krisis Ruang Publik Kultural

Perhatian saya beralih ke minuman dingin berwarna merah dan putih yang sudah tersaji. Di luar Singkil, minuman ini dikenal dengan nama Goder, tapi orang Singkil Hulu menyebutnya Godekh. Hal ini dikarenakan orang Singkil Hulu punya kebiasaan melafalkan huruf ‘r’ menjadi ‘kh’. Minuman itu menggunakan gula merah dan santan, itu yang membuat minuman ini punya dua warna. Saya aduk hingga warna putih dan merahnya menyatu, lalu saya seruput sedikit demi sedikit. Tak terasa, sesuatu tersangkut di bibir saya. Sebuah benda bertekstur lembut dan kenyal, yang setelah saya cicipi ternyata ini juga terbuat dari bahan sagu.

Usut punya usut, ternyata sagu adalah bahan makanan asli dari Kabupaten Aceh Singkil. Orang Singkil Hulu menyebut pohonnya sebagai Rumbia. Pohon penghasil sagu ini hidup subur di kawasan rawa, dan memang sudah dikonsumsi oleh masyarakat jauh sebelum mereka mengenal beras. Tak heran, ada banyak jenis makanan tradisional Singkil Hulu yang terbuat dari bahan sagu, seperti makanan dan minuman yang saya pesan tadi misalnya. Meskipun sudah jarang disajikan, tetapi masih melekat dalam ingatan orang-orang di masa sekarang.

Pada dasarnya, semua jenis makanan dan minuman tradisional yang ada di Singkil saat ini tengah berada di tepi zaman. Tapi untungnya, sebagian besar makanan dan minuman tersebut sudah diregistrasikan sebagai warisan budaya takbenda asal etnis Singkil oleh BPNB Provinsi Aceh. Hanya tinggal memenuhi persyaratan administratif saja sampai ia ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelahnya, biar waktu yang menjawab apakah warisan budaya itu akan bertahan atau malah ditinggalkan seiring perkembangan zaman.

Sagu: Potensi Singkil yang Terabaikan

Meskipun sagu merupakan bahan dasar dari aneka ragam makanan tradisional Singkil Hulu, jumlah populasi pohon sagu sudah tidak sebanyak dulu. Di Kecamatan Singkil saja, hanya tinggal Desa Teluk Rumbia yang masih memilikinya. Itu juga pohonnya dibudidayakan oleh orang luar, yakni pengusaha pemilik pabrik tepung sagu yang berasal dari Medan. Ia mulai membudidayakan pohon sagu sendiri karena pasokan dari masyarakat semakin berkurang setiap harinya, sehingga ia merasa perlu menyediakan sendiri bahan baku untuk menjamin kelangsungan bisnisnya.

Berkurangnya sagu di Singkil tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan ada proses panjang yang melatarbelakanginya. Ketika beras mulai masuk ke Singkil, popularitas sagu sebagai bahan pangan utama perlahan mulai tergeser dan citranya pun jatuh menjadi ‘makanan orang miskin’. Sejak saat itu masyarakat mulai mengurangi makan sagu, dan makanan tradisional Singkil Hulu yang terbuat dari sagu pun hanya tersedia pada saat pesta. Dampaknya, anak-anak Singkil Hulu hari ini banyak yang asing dengan makanan berbahan dasar sagu.

Lebih parahnya lagi, citra sebagai ‘makanan orang miskin’ ini menjadikan sagu sebagai komoditi kelas dua yang dianggap tidak begitu menguntungkan. Alhasil, masyarakat hanya mengambil dan tidak lagi tertarik untuk membudidayakannya. Pohon sagu pun kian langka di daerah asalnya. Untuk harga jualnya sendiri, tiap satu bambu (sekitar dua liter) dihargai dua belas ribu rupiah oleh para penampung.

Baca juga: Memori Anak dan Cermin Kehancuran Ekologi

Dari satu pohon, mereka bisa mendapatkan pati antara tiga puluh hingga delapan puluh liter. Dari hasil penjualan itu, mereka membeli kebutuhan pangan seperti beras dan lauk pauk lainnya. Ironinya, ketika ada hajatan mereka justru membeli tepung sagu dengan harga yang lebih mahal di pasar. Fenomena ini sama seperti nelayan yang membeli ikan.

Terlebih sejak relokasi yang sudah direncanakan sejak tahun 1991, sebagian besar masyarakat yang awalnya hidup di pinggir sungai diarahkan untuk pindah ke wilayah daratan yang lokasinya relatif jauh dari desa asalnya. Alasannya, lokasi yang mereka huni saat ini adalah daerah terisolir dan rawan bencana banjir. Mereka pun semakin sulit untuk melakukan aktivitas lama sebagai nelayan, mengumpulkan sagu, merambah hutan, berburu, dan aktivitas lainnya.

Sejak awal, beras di Singkil sudah menjadi komoditi yang mahal. Selain karena sulit untuk dibudidayakan, beras juga relatif sulit untuk didapat. Akses mendapatkannya, beras harus didatangkan dari luar. Daerah pinggiran sungai memang tidak sesuai untuk bertani sawah, karena sungai sering meluap ketika debit air bertambah. Air sungai yang meluap membanjiri sawah milik warga dan mengakibatkan gagal panen. Mau lahan baru pun saat ini sudah semakin sulit, sebab wilayah Singkil masih dikelilingi oleh perkebunan sawit milik perusahaan asing yang HGU-nya baru akan berakhir 2023 mendatang.

Wilayah bekas permukiman mereka saat ini sudah diklaim oleh BKSDA sebagai kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil sejak tahun 2000. Mau masuk saja sudah dilarang, apalagi mengambil sesuatu dari sana. Bisa-bisa tidak pulang karena dipenjara, anak istri pun terlantar jadinya. Itu sebabnya, banyak dari mereka yang sudah beralih profesi menjadi kuli (pekerja) di perkebunan sawit milik perusahaan asing, membuka warung, berladang, dan melakoni jenis pekerjaan lain yang menghasilkan uang tunai setiap harinya. Sebagian dari mereka bahkan pergi merantau ke luar daerah, karena menganggap tidak ada apa-apa lagi yang tersisa di desanya.

Menanam Sagu, Menyelamatkan Masa Depan

Wilayah Kabupaten Aceh Singkil sebagian besar merupakan areal HGU perkebunan sawit swasta, baik milik perusahaan asing maupun perusahaan nasional. Sepanjang perjalanan dari Kota Subulussalam ke Ibukota Kabupaten Aceh Singkil, perkebunan sawit menjadi pemandangan yang mendominasi. Tidak ada terlihat sawah milik warga seperti yang kita lihat di daerah lainnya, begitu juga ladang yang ditanami sayur dan tumbuhan palawija. Di luar dari kawasan permukiman, selebihnya adalah sungai, kawasan hutan lindung dan rawa singkil yang dijaga oleh BKSDA.

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kondisi ini menempatkan Kabupaten Aceh Singkil pada posisi yang sangat rentan dalam hal ketahanan pangan. Mereka tak punya sawah sebagai sumber penghasil pangan, mereka hanya punya satu akses jalan, dan mereka sangat bergantung pada pasokan bahan makanan dari luar daerah. Ketika jalan putus karena bencana alam atau terjadi sesuatu di daerah lain, pasokan bahan makanan akan terganggu dan mengakibatkan persoalan yang lebih besar.

Kalau sudah begitu, mau makan apa? Makan Sawit?. Tentu tidak, jawaban untuk persoalan ini sebenarnya ada pada masa lalu. Leluhur orang Singkil sudah menemukan sumber pangan yang selaras dengan alam dan terus terbarukan, yakni sagu dari pohon rumbia. Tetapi sayang, masyarakat saat ini meninggalkan kearifan tersebut dan berhenti mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok.

Lantas solusinya bagaimana? Sederhana, menengok kembali ke kearifan masa lalu dan berkampanye untuk mengonsumsi sagu. Dengan mengembalikan posisi sagu sebagai bahan pangan pokok dan menghapus stigma negatif sagu sebagai ‘makanan orang miskin’, pemerintah daerah tidak hanya memberikan jaminan ketahanan pangan kepada masyarakatnya tetapi juga menyelamatkan banyak warisan budaya takbenda dari ancaman kepunahan.

Jangan buru-buru mencibir dulu sebelum kita membuka mata dan membaca. Daerah lain yang kondisinya kurang lebih sama seperti di Singkil sudah mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap beras dan mulai mencari makanan alternatif yang relatif murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi. Lihat saja Maria Loretha, yang menghidupkan kembali Sorgum di Nusa Tenggara Timur setelah 30 tahun lebih mati suri karena kebijakan pusat yang memaksakan swasembada beras di lahan yang tak seharusnya.

Uniknya, selama program swasembada itu, sorgum juga dilabeli sebagai makanan kelas dua yang identik dengan kemiskinan dan kebodohan, padahal kadar gulanya lebih rendah dan nilai gizinya lebih tinggi dari nasi. Memang itu semua adalah soal bisnis, tetapi rasanya tak etis jika menjelek-jelekkan sagu hanya karena kita jualan beras. Saya pun teringat dengan akal-akalan Kolonialis yang dulu pernah menyebarkan hoax bahwa masyarakat kita akan cacingan kalau banyak makan ikan, padahal yang sebenarnya mereka butuh ikan itu untuk digunakan sebagai pupuk tanaman tebu dan tembakaunya.

Satu alasan, kenapa harus sagu?. Sama seperti Sorgum, menanam sagu ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. kondisi lahan Singkil yang dekat dengan sungai, sagu itu tumbuh dan berkembang seperti pisang. Ketika pohonnya mulai tumbuh besar, muncul bibit anakan yang menempel di batang induk. Sifat yang istimewa ini menjadikan sagu sebagai makanan pokok yang terus terbarukan, dan menanamnya pun nyaris tanpa modal.

Tidak seperti padi yang membutuhkan perhatian lebih. Sudahlah bibitnya mahal, butuh banyak pupuk dan pestisida, resiko gagal panennya juga sangat tinggi. Sebenarnya pun, mengembalikan sagu sebagai bahan pangan pokok di Aceh Singkil bukan hal yang sulit bagi pemerintah. Kalaupun kita tidak mampu, asal mau saja, selebihnya berkah Tuhan yang akan bekerja.

Baca juga: Rabuk Sikil dan Kearifan Lokal Masyarakat Agraris di Lereng Merapi

Nikmat Tuhan Mana Lagi yang Kita Dustakan

Sebagaimana manusia dan hewan, tanaman sagu juga adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun sagu tidak punya dewi seperti halnya padi, tetapi tidak ada satu pun manusia beragama yang dapat membantah bahwa sagu diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan makhluknya. Sebagaimana keyakinan kita, Tuhan menciptakan sagu pasti ada maksud baiknya, yang mungkin saat ini kita masih belum sampai pada pengetahuan tentang semua manfaatnya.

Jika kita mau berpikir reflektif, betapa kita sebagai manusia sudah bersikap sombong dengan mengingkari semua nikmat dan karunia-Nya. Lebih berdosanya lagi, kita yang lupa bersyukur ini justru mencaci nikmat itu dengan melekatkan stereotip sebagai ‘makanan orang miskin’ atau ‘bahan pangan kelas dua’. Padahal itu semua berada di luar kuasa kita sebagai manusia.

Akhirul Kalam. Tuhan sudah menciptakan, manusia hanya tinggal memanfaatkan. Kalau kita tidak memanfaatkan, bukan salah Tuhan yang menciptakan, tetapi mungkin kita yang sudah mengingkari dan mendustakan. Kalaupun nanti kita kelaparan di lumbung sendiri, itu semua ekses dari kesalahan yang kita lakukan. Semoga ini menjadi renungan kita bersama, dan semoga kita diampuni oleh Tuhan yang maha kaya.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Dharma Kelana Putra
Magister Antropologi UGM

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals