Sabar merupakan akhlak terpuji yang harus ditanamkan dalam segala aspek kehidupan. Sabar bukanlah masalah sekunder atau pelengkap, tetapi masalah primer yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas material dan moral serta mencapai kebahagian individual dan sosial. Untuk itu diperlukan penjelasan tentang sifat sabar.
Sabar mendapat porsi yang signifikan penyebutannya dalam Alqur’an, baik dalam surat Makiyyah maupun Madaniyah. Abu Thalib al-Makky dalam Qut al-Qulub menyatakan bahwa tidak sifat yang lebih utama dari sabar karena Allah menyebutkannya dalam Alqur’an pada 90 tempat dan tidak ada yang dinyatakan dalam Alqur’an sebanyak itu kecuali sabar (Yusuf al-Qaradhawi, 2008).
Sabar secara etimologi berarti menahan dan mengekang. Kebalikan dari sabar adalah jaza’u` atau sedih dan keluh kesah (QS. Ibrahim: 21). Secara terminologi, sabar didefenisikan menahan diri atas sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah. (al-Qaradhawi, 2008). Defenisi ini sering kali dipahami bahwa sabar itu hanya berlaku dalam hal yang tidak disukai seperti saat mendapat musibah, padahal sabar itu mempunyai cakupan yang luas.
Ibnu Qayyim, dalam ‘Uddah al-Shabirin wa Dzakirah al-Syakirin (2005), telah menjelaskan cukup rinci tentang sabar, klasifikasinya beserta tingkatan-tingkatannya. Adapun klasifikasi sabar menurut Ibnu Qayyim adalah sebagai berikut.
Pertama, sabar dalam kaitannya dengan sang pelaku. Ibnu Qayyim Jauziyah menjelaskan bahwa sabar dalam hal ini ada tiga macam, yakni sabar untuk mengejakan perintah dan keta’atan terhadap Allah; Sabar untuk meninggalkan perbuatan maksiat; dan Sabar atas berbagai takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Klasifikasi ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Ibn Abi Dunya berikut.
‘’Sabar itu ada tiga macam : sabar menghadapi musibah, sabar untuk taat dan sabar menhindari kedurhakaan. Barang siapa sabar menghadapi musibah hingga dia dapat menolak musibah itu dengan menganggap baik kedukaannya itu, maka Allah akan menetapkan baginya tiga ratus derajat, yang jarak antara satu derajat dengan yang lainnya seperti jarak antara langit dan bumi. Barangsiapa sabar untuk ta’at, ditetapkan baginya enam ratus derajat, yang jarak antara yang satu dengan yang lainnya seperti jarak antara batas bumi hingga ke ujung ‘arasy . barangsiapa sabar dalam menghindari kedurhakaan, Allah menetapkan sembilan ratus derajat baginya, yang jarak antara satu derajat dengan yang lainnya seperti jarak antara batas bumi hingga ke ujung ‘arasy dua kali lipat’’. (HR. Ibnu Abi Dunya)
Tiga jenis sabar di atas memiliki kedudukan atau tingkatan yang berbeda. Sebagian ulama menilai bahwa kesabaran untuk meniggalkan maksiat itu lebih utama daripada kesabaran yang lainnya, karena lebih berat dan lebih susah, dan tidak ada yang bisa berlaku sabar untuk meninggalkan perbuatan haram kecuali orang yang jujur dan tulus. Berbeda dengan perbuatan baik yang bisa dikerjakan oleh orang baik maupun orang sesat. (Ibnu Qayyim, 2005).
Seseorang mampu meninggalkan perbuatan haram, itu sama halnya dengan kemampuan menahan syahwat dan kesenangannya. Orang yang bisa menahan diri, padahal ada faktor pendorong yang kuat untuk melakukannya dan kemudian tidak melakukannya, itu merupakan pekerjaan yang sangat susah dan berat. Oleh karena itu, sebagian ulama memandang bahwa sabar meninggalkan maksiat merupakan sabar yang tertinggi.
Berbeda dengan pendapat di atas, sebagian ulama lain menilai bahwa kesabaran dalam mengerjakan perintah Allah itu lebih utama derajatnya dari pada kesabaran lainnya. Kelompok ini berargumentasi bahwa mengerjakan perintah itu lebih disukai oleh Allah. Kesabaran dalam melakukan sesuatu yang dicintai oleh Allah itu lebih utama dan baik karena mengerjakan perintah Allah adalah sebuah tujuan yang ingin dicapai.
Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa menyembah Allah semata, kembali kepada-Nya, ikhlas dan beramal untuk-Nya adalah tujuan utama diciptakannya manusia (QS. Az-zariat: 56).Selain itu, kelompok ini juga menyebutkan bahwa jika seseorang mengerjakan bermacam larangan, dari awal hingga akhir, namun dia sempat mengerjakan perbuatan yang diperintahkan walaupun hanya sedikit, ibaratnya sebesar biji zarrah, maka bisa dipastikan ia tidak kekal di neraka.
Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa berbagai macam larangan yang dikerjakan bisa dihapus dengan taubat.Di samping itu, mengerjakan perintah akan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Sedangkan melakukan larangan hanya dibalas sesuai dengan larangan yang dilakukannya. Atas dasar itu, kelompok ini menyimpulkan bahwa kesabaran menjalankan perintah Allah merupakan kesabaran yang lebih utama dari kesabaran lainnya.
Kedua, sabar dilihat dari konteksnya. Ibnu Qayyim menguraikan bahwa kesabaran dalam hal ini terbagi kepada dua macam, yakni kesabaran fisikبدني dan kesabaran jiwa نفسي. Kesabaran fisik ( بدني) ada dua jenis yakni ikhtiyari dan idthirari. اختياري adalah kesabaran fisik yang besifat kehendak penuh atau sejalan dengan keinginan. Seperti, melakukan pekerjaan berat yang dilakukan oleh anggota tubuh atas dasar kehendak penuh dari pelaku sendiri. Sedangkan اضطراري adalah kesabaran fisik yang bersifat keterpaksaan atau tidak sejalan dengan keinginan. Seperti, sabar karena dipukul, sakit, luka, panas, dingin.
Sementara itu, Kesabaran psikis/jiwa ( نفسي) juga ada dua bentuk, ikhtiyari dan idthirari. اختياري adalah kesabaran jiwa yang besifat kehendak penuh, seperti kesabaran jiwa untuk mengerjakan segala hal yang dianjurkan oleh Allah. Sedangkan اضطراري adalah kesabaran jiwa yang besifat keterpaksaan, seperti kesabaran jiwa atas kehilangan orang yang dicintai yang memisahkan dirinya dengan dia. Jika tidak sabar, maka dia akan berkeluh kesah yang diharamkan, meratap, dan lain-lain.
Dari kedua jenis sabar di atas, kesabaran karena kehendak penuh merupakan kesabaran yang lebih utama daripada terpaksa. Karena dalam kondisi terpaksa semua orang pasti akan berlaku sabar, tetapi tidak mesti semua orang bisa berlaku sabar dengan kehendak penuh.Contoh paling dekat adalah kesabaran Nabi yusuf untuk menjauhi segala bujuk rayu istri ‘Aziz. Kesabaran itu lebih utama daripada kesabarannya untuk terpaksa berpisah dengan orang tuanya dan dijual sebagai budak.
Ketiga, sabar dalam kaitannya dengan hukum yang lima (al-Ahkam al-Khomsah). Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim menguraikan bahwa hukum sabar ada lima, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Sabar yang hukumnya wajibmeliputi sabar untuk mengerjakan perintah-perintah wajib, sabar untuk meningggalkan maksiat dan sabar atas segala musibah seperti sakit,kefakiran dan lain-lain.
Sabar yang hukumnya sunnahmencakup sabar untuk meniggalkan perbuatan makruh, sabar untuk menjalankan perintah yang sunnah dan sabar untuk tidak membalas perbuatan jahat dengan kejahatan pula.
Sabar yang haram berupa sabar untuk memakan bangkai darah dan segala yang diharamkan oleh Allah ketika darurat, sabar untuk menta’ati hawa nafsu dan sabar untuk membiarkan apa saja yang mengancam jiwanya, seperti binatang buas.
Adapun sabar yang makruh meliputi sabar untuk makan, minum, berpakaian dan menggauli keluarganya dengan baik sampai membahayakan tubuhnya, kesabaran dalam mengerjakan perbuatan yang makruh dan kesabaran untuk tidak mengerjakan amalan sunnah. Terakhir, sabar yang mubah seperti sabar atas segala sesuatu yang seimbang antara hukum mengerjakan dan meninggalkannya.
Keempat, sabar dalam kaitannya dengan hawa nafsu. Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah membagi sabar jenis ini menjadi kepada tiga tingkatan.Tingkatan tertinggi yaitu, dorongan agama bisa menguasai dan mendominasi seseorang sehingga mengalahkan hawa nafsu dan memporak-porandakannya. Tingkatan ini bisa dicapai dengan kesabaran yangcontinue.
Orang yang bisa mewujudkan tingkatan ini berarti mendapatkan pertolongan dari Allah, sehingga mereka bahagia dunia akhirat. Mereka adalah orang-orang yang dinyatakan Alqur’an “Tuhan kami Allah’’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (QS. Fushshilat :30).
Tingkatan pertengahan yaitu, kondisi berkecamuknya pertempuran dalam hati antara dorongan keagamaan dan hawa nafsu. Pertempuran ini, membuahkan kemenangan dan kekalahan yang silih berganti. Inilah kondisi kaum muslimin yang telah mencampuradukkan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk.
Adapun tingkatan terendah yaitu, hawa nafsu lebih berkuasa dan dominan daripada dorongan agama, sehingga perlawanan yang dikobarkan oleh dorongan keagamaan sama sekali tidak ada hasilnya. Dari kondisi ini, manusia hanya bisa pasrah terhadap bujuk rayu setan. Ini adalah sikap yang lemah dan rapuh. Sabar dan tidak berdaya melawan hawa nafsu adalah tercela.
Dari paparan di atas, tentang klasifikasi sabar dan tingkatannya menurut Ibnu Qayyim, menunjukkan bahwa sabar mencakup hal yang sangat luas tidak hanya terbatas sabar dalam menghadapi musibah sebagaimana umum dipahami. Dengan kata lain, sabar merupakan sifat yang mutlak diperlukan oleh masnusia dalam menjalani segala aspek kehidupan, tidak hanya saat menghadapi ujian atau cobaan saja.
2 Comments