Polemik Terjal Asmara Perempuan Jawa

Segala sesuatu yang menimpa diri secara pasti menghadirkan makna, meskipun acap kali manusia sulit memahaminya.6 min


3
3 points
Sumber gambar: Pinterest.com/hanamayra02

Pertengahan 2018 lalu, tepatnya pada bulan Juli, saya sempat bercengkrama akrab dengan Mbak El. Sabila El Raihany. Mbak El, panggilan akrab saya kepadanya. Pertemuan yang singkat itu cukup lihai mengalihkan dunia saya. Hampir setiap saat saya merasa terbelenggu dalam penasaran yang kian meletup-letup. Apalagi, tatkala Mbak El spontanitas tanpa sungkan kian menyodorkan jamuan cerita yang terus-menerus melilit iba dan simpati. Sekujur awak rasanya telah kaku terpenjarakan bingkai kata dan setiap penggal kalimatnya memasung hasrat saya untuk segera menyimpul pungkasan dalam alur cerita.

Mbak El mengemas ceritanya dalam tema yang cukup menarik, “Di Atas Pena Engkau Melamarku”, imbuhnya memulai percakapan. Tak ada keraguan yang menyelimuti dirinya, setiap celah cerita ditampilkan apa adanya. Konflik batin, pergulatan cinta, mengejar nasib, kecongkakan tradisi hingga upaya memerdekakan diri dari perbudakan emosi. Dengan penuh kesadaran, Mbak El menegaskan bahwa latar belakang kehidupannya yang bercorak ala santri telah banyak mempengaruhi bagaimana cerita itu tersampaikan. Ditambah dengan kehidupan keluarganya di Jawa Tengah yang ketat memegang tradisi Jawa turut menjadi warna dan cambuk pengingat dalam menentukan pilihan hidup.

Sarmila Albilqis menjadi kunci utama dalam kompleksitas kisah yang dipaparkan Mbak El. Bilqis, panggilan akrab Mbak El kepadanya. Perempuan yang mengabdikan dan menata diri di penjara suci, pondok pesantren. Sebagai anak pertama, Bilqis tahu betul bahwa semakin usianya beranjak dewasa, maka semakin dekat pula takdir masa lajangnya akan terenggut dari dirinya.

Terlebih-lebih Bilqis pada akhirnya menyadari bahwa orangtuanya memiliki hak paten terhadap anak perawannya hendak dijodohkan dengan siapa. Termasuk tatkala kedua orangtua menjodohkannya dengan anak seorang teman sebayanya. Fahmi nama lelaki itu. Entahlah, suka atau tidak, cinta atau tidak, sesuai selera atau tidak, Bilqis harus siap memantapkan diri untuk lelaki itu. Meskipun, sesungguhnya Bilqis belum sama sekali tahu tentang bagaimana lelaki itu, yang dikenalinya hanya sebatas nama.

Akan tetapi, Bilqis tidak mampu menolak kehendak baik orangtuanya tersebut. Sebab bagaimanapun baginya perjodohan itu adalah bentuk pengabdian diri kepada kedua orangtua. Kehendak baik orangtua, adalah jembatan terbaik untuk mengarungi kehidupannya di masa depan. Yang tertanam dalam benaknya, hanyalah pikiran positif belaka. Terlebih lagi hadis tentang birul walidain yang dipelajari di pondok pesantren masih lekat dalam sanubarinya.

Namun apa jadinya, tatkala Bilqis yang telah menata hati dan diri untuk orang yang dalam angannya hendak menjadi imamnya, tetapi dalam acara khitbah itu, ternyata orang tua Fahmi malah memilih adiknya, Zulfa. Perempuan yang masih berada di kelas tiga Madrasah Aliyah.

Permainan psikis pun tak dapat terelakkan. Setelah kejadian itu, seakan-akan jurang yang curam telah menganga menjadi pemisah di atas persaudaraan. Namun wujudnya telah tersamarkan dengan genangan tangisan yang siap menenggelamkan ikatan nasab dalam peperangan. Ibunya adalah pelabuhan yang berisikan tongkang. Mondar-mandir menguras kesedihan, sembari mereda perselisihan.

Sementara Bilqis, tanpa sungkan kerap mencaci takdir, mencerca Tuhan di balik kesunyian. Ambisinya terus membabi buta mencari kambing hitam di balik kemalangan. Dan Zulfa, luput dalam gamang. Sesekali berjingkrak dalam riang, sebagai wujud ketidakpercayaan. Namun, di sisi lain ia merasa bersalah dan berdosa atas nasib kakaknya. Seiring waktu dan usaha ibunya, persaudaraan itu pun kembali membaik. Bak salju yang turun di musim semi.

Maksud hati hendak menghibur diri dengan mengunjungi adik pertamanya di pondok pesantren, yang memang pada hari itu bertepatan dengan hari penentuan tanggal baik untuk Zulfa dan Fahmi. Ternyata ibunya mencium luka yang masih belum kering dan disembunyikan Bilqis. Hingga akhirnya ibunya mengizinkan Bilqis pergi menemui adiknya, Azmi. Sesampai di pondok itu, Bilqis menumpahkan rasa sakit yang dibedungnya selama dalam perjalanan dengan memeluk erat Azmi.

Namun di pondok itu pula Bilqis bertemu dengan kawan lamanya, Fahrur. Fahrur memang kebetulan sahabat baik Azmi di pondok. Fahrur sendiri telah menjadi seorang ustad di pondok pesantren itu, sama seperti Azmi. Akhirnya perjumpaan itu pun merekatkan kembali silaturahmi antara Bilqis dengan Fahrur. Diam-diam, Fahrur meminta nomor Bilqis ke Azmi, dan kian sering mereka saling menegur sapa melalui sms atau telepon, hingga akhirnya masing-masing di antara mereka menyimpan rasa suka.

Namun, tetap saja di balik rasa yang mulai beralih tersebut, Bilqis dibuat risih dengan diundurnya pernikahan Zulfa dan Fahmi. Sebab di Jawa ada larangan adik tidak boleh menikah mendahului kakak. Setidaknya, Zulfa dan Fahmi boleh menikah setelah Bilqis dikhitbah seorang lelaki. Hal ini pula yang mendesak dan menjadikan orangtuanya tergesa-gesa mencarikan lelaki untuk Bilqis. Hingga akhirnya seorang duda yang memiliki seorang anak meminangnya.

Hati Bilqis merasa lega, namun di sisi lain, ia harus membuang jauh harapannya pada Fahrur. Tetapi ternyata, duda yang telah meminangnya tersebut pada akhirnya diketahui bukanlah lelaki yang berakhlak baik, dan dengan segera Bilqis mengadu pada orangtuanya bahwa ia ingin memutuskan ikatan pertunangan itu.

Lagi dan lagi, Bilqis merasa menjadi korban dari kecongkakan tradisi yang disakralkan oleh keluarganya. Padahal, sangat jelas kedua orangtuanya memahami agama Islam. Oleh karena itu, sesekali Bilqis ingin rasanya menegur kedua orangtuanya dengan beberapa nasihat dalam balutan dalil naqli yang telah dipelajarinya. Namun apa daya, orangtuanya adalah sosok yang harus dihormati dan diseganinya.

Bilqis pun kembali berkabung dalam kesendirian dan keputusasaan. Ia memandang cinta tidak pernah berpihak baik padanya. Utamanya, tatkala ia diberi tahu Azmi bahwa lelaki yang menjadi pelabuhan harapan terakhirnya, Fahrur telah dijodohkan dengan Ning Aida. Putri dari gurunya sendiri tatkala ia mengadu nasib di perkampungan ilmu itu. Pupuslah harapannya. Tapi, Bilqis merasa tatkala itu adalah waktu yang tepat untuknya kembali ke tempat pengasingan, pondok pesantren. Sementara perasaannya dicampakkan begitu saja, sembari berharap waktu yang mampu menyembuhkannya.

Naas, justru tatkala berada di pondok itu pula, ia harus menyaksikan sendiri pertemuan kedua belah pihak orangtua. Sementara ia sibuk melayani dan menyediakan jamuannya, entah di mana tatkala itu Bilqis berusaha menaruh rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Mungkin bisa jadi bersemayam dalam manisnya teh yang diaduknya. Atau mungkin bersandar dalam baki yang dengan tegang ditentengnya. Ah, Bilqis yang malang.

Benar saja, kejadian itu membuatnya mutung, dan tidak sanggup lagi berlayar jauh di pondok pesantren. Apalagi, jika harus terus-menerus menjadi saksi dua sejoli itu yang sedang kasmaran untuk melangkah lebih lanjut pada mimbar pelaminan, tak sanggup rasanya. Remuk sudah hati yang tak bertulang. Bilqis pun memilih berdiam di rumah. Sesekali ia mengurusi urusan domestik untuk menghibur gundahnya. Namun tatkala malam menyapa ia harus bergelut dengan nasib yang terus digelisahkannya.

Sementara Fahrur dan Ning Aida akan segera melangsungkan pernikahan. Bahagia pun seakan-akan hanya milik mereka berdua. Akan tetapi seolah-olah Tuhan sedang cemburu kepada pasangan yang terlanjur dimabuk cinta, hingga akhirnya Ning Aida pun harus kembali lebih cepat pada pangkuan-Nya. Ning Aida meninggal sebab sakit akut yang telah lama dideritanya. Padahal kedua pasangan itu, belum sempat menikmati bulan madunya. Terlebih lagi, menata setiap isi kado pernikahannya.

Kurang lebih seusai masa idah, akhirnya Fahrur berusaha menyambung kembali silaturahmi dengan Bilqis. Namun Bilqis tidak merespon apa pun, mengabaikan sms yang dikirimnya. Sebab mana mungkin, perempuan baik-baik seperti Bilqis akan berani mengganggu suami orang. Apalagi itu menantu gurunya sendiri. Bagaimanapun kabar kematian Ning Aida belum sampai ke daun telinganya. Wajar saja, jika Bilqis membuat jarak dengan yang bukan mahramnya. Baru beberapa hari kemudian setelahnya, kabar duka itu pun akhirnya sampai meliputi kedua gendang telinganya.

Singkat cerita, Fahrur dengan penuh kesungguhan hendak langsung melamarnya. Namun, hal itu ia wakilkan kepada gurunya sekaligus sebagai mertuanya. Dengan bergegas, gurunya bertamu ke rumah Bilqis dan secara spontan menegaskan kepada kedua orangtuanya, bahwa dirinya hendak menjodohkan Bilqis dengan seorang lelaki. Sontak Bilqis merasa ragu dengan perjodohan yang ditawarkan oleh sang guru. Sebab ia sendiri telah banyak belajar dengan perjodohan yang sudah terjadi pada dirinya.

Namun, sang guru dengan gigih berusaha meyakinkan Bilqis, bahwa lelaki yang hendak dijodohkan dengan dirinya adalah lelaki yang luar biasa, berakhlak baik dan cocok dengan dirinya. Terdiam, Bilqis hanya memberikan isyarat untuk memberi jawaban di kemudian hari. Hingga akhirnya petunjuk itu pun muncul tatkala Bilqis telah melaksanakan shalat istikharah. Dan langsung saja Bilqis pun memberi jawaban ‘ya’ untuk siap dipinang.

Akhirnya tiba juga hari pertunangannya. Bilqis merasa gugup, gelisah dan tak karuan rasa yang bermuara di lubuk hatinya. Trauma masa lalu masih saja membayanginya. Belum juga persiapan itu selesai, namun tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Ternyata yang bersembunyi di balik daun pintu adalah Fahrur bersama keluarga besarnya. Sontak, Bilqis langsung berbinar-binar, namun dengan segera ia menepis angannya yang tidak-tidak tersebut. Bilqis harus menerima kenyataan bahwa dirinya hari ini akan bertunangan dengan seorang lelaki pilihan gurunya.

Namun, belum sempat Bilqis menurunkan pandangan, Fahrur memandangnya lekat dengan mengimbuhkan senyuman manis seraya berucap, “Bilqis, bagaimana kabarmu?” “Alhamdulillah selalu sehat, Fah. Gerangan ada apakah engkau ke sini memboyong keluargamu? Kok tumben?”, tukas Bilqis. Belum juga, Fahrur menjawab, Bilqis langsung teringat bahwa ia belum mempersilakannya masuk dan duduk. Setelah duduk di atas kursi barulah Fahrur menjawab, “aku hendak melamarmu Bil”, tegasnya sembari melemparkan senyuman.

Mendadak pupil mata Bilqis menjadi kaku, mematung bukan kepalang. Rasanya pengungkapan itu bagi Bilqis sudah terlambat, mengingat dirinya tinggal beberapa menit lagi akan melangsungkan pertungan dengan lelaki yang belum ia ketahui identitasnya. Dengan membabi buta Bilqis menangis tak tertahankan sembari mengatakan, “a.. a.. aku sudah terlanjur akan bertunangan dengan lelaki pilihan guruku, hari ini. Jadi mohon maaf aku tidak bisa Fah”.

Hampir saja, Fahrur tidak percaya bahwa dirinya telah ditolak oleh Bilqis. Lututnya bergetar lemas, tak kuasa untuk berdiri. Namun sebelum Fahrur beranjak meninggalkan kursi yang didudukinya, sang guru pun datang dengan penuh penyesalan dan permintaan maaf kalau dirinya sudah terlambat. Tanpa panjang lebar akhirnya sang guru pun menegaskan kalau lelaki yang dijodohkan dengan Bilqis itu adalah Fahrur. Tangis pun berubah menjadi air mata kebahagiaan. Dan nyatanya, penantian panjang dan kepasrahannya kepada Allah berbuah manis.

Sejujurnya saya telah mereduksi banyak hal dalam mendeskripsikan kembali alur cerita Mbak El. Mulai dari penokohan Azmi yang menaruh harapan pada Ning Aina Mardiyah, adiknya Ning Aida yang wafat lajang karena maag kronis. Hingga akhirnya Azmi berjodoh dengan Safitri, perempuan nakal yang memantapkan diri untuk berhijrah. Sampai dengan beberapa setting cerita yang dengan sengaja diskip. Namun meskipun demikian, saya di sini bermaksud memotret bagaimana alur kehidupan terjal Bilqis semata-mata dan mengambil hikmahnya.

Penokohan Bilqis merepresentasikan bagaimana seorang perempuan Jawa tulen menghadapi kenyataan tradisi yang turut mengonstruksi kesadaran diri sebagai perempuan dalam ranah domestik maupun di ruang publik. Ada pemahaman, bahwa seberapa pun tinggi ilmu, wawasan dan kedudukan seorang perempuan Jawa, nyatanya dalam menentukan masa depan termasuk dalam memilih pasangan hidup tak memiliki kekuasaan penuh. Terlebih lagi jika ia adalah seorang perawan. Sehingga tidak menutup kemungkinan, praktek perjodohan adalah tradisi yang dilegalkan. Nampak, di sini perempuan sebagai personalitas yang diobjektivikasikan.

Hal lain yang menarik dari kisah Bilqis selanjutnya ialah mengenai falsafah hidup dan tatanan moral orang Jawa dalam menyikapi realitas kehidupan. Sabar yang tak bertapal batas dalam menghadapi setiap masalah diyakini akan berbuah manis. Berani mengalah untuk menghindari hadirnya masalah yang lebih besar adalah pilihan yang terbaik, dan yang demikian itu sesungguhnya kemenangan hakiki. Sikap menerima atas segala keputusan dan keadaan adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang hamba. Sebab bagaimanapun takdir manusia hanyalah menjalankan dan menikmati setiap proses kehidupan. Termasuk pula menerima dalam urusan kasih sayang dan cinta.

Sementara terjalnya kisah cinta Bilqis turut menerjemahkan bagaimana asmara dalam pandangan perempuan Jawa. Di mana cinta dianggap sebagai ladang subur untuk penghidupan. Jangan sesekali terjebak dengan ambisi nafsu yang mengejawantahkan diri sebagai cinta. Sebab cinta sejati senantiasa beralaskan keikhlasan tanpa sedikit pun menaruh harapan. Manusia bisa saja menaruh harapan setinggi gunung, namun takdir dan keinginan manusia bisa jadi bertentangan.

Alangkah baiknya apabila kita merenungkan nasihat Nizami, bahwa segala sesuatu yang menimpa diri secara pasti menghadirkan makna, meskipun acap kali manusia sulit memahaminya. Kitab suci kehidupan manusia, selalu diimbuhi dua sisi. Di satu pihak manusia dengan giat menuliskan semua impian, rencana dan harapan. Namun di sisi yang lain berisikan goresan takdir, di mana ketetapannya sangat begitu jarang sesuai dengan kehendak manusia. Manusia kerap was-was dan ketakutan karena urusan perut dan egonya yang tidak terpenuhi. Namun manusia kerap lupa bahwa kepuasaan barangkali bisa menjadi sumber malapetaka untuk dirinya. (Nizami Ganjavi, 2011: 223).

 


Like it? Share with your friends!

3
3 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
3
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
3
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Roni Ramlan, M.Ag
Tim Redaksi Artikula.id

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals