Radikalisme dan terorisme mulai bermunculan di Indonesia setelah Orde Baru. Masyarakat mengartikan radikalisme sebagai pemahaman yang mendasar dan dikaitkan dengan konsep agama, yang dapat menggiring pada laku ekstremisme dan merongrong ideologi bangsa dan negara. Seperti gerakan Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, ISIS (Islamic State in Iraq and Syria), dan negara Islam Indonesia. Tiga contoh tersebut merupakan gerakan radikal yang mempunyai tujuan untuk merubah ideologi dan sistem pemerintahan Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga pada awal tahun 1998 sampai sekarang telah menjamur gerakan radikal yang berujung aksi terorisme. Radikalisme seringkali dikaitkan dengan kebangkitan politik Islam dan al-Quran dan hadis dijadikan sebagai rujukan utama disebabkan kebangkitan yang fundamental dalam Islam. Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku yang berjudul “Islam dan Radikalisme di Indonesia” menjelaskan bahwa istilah radikalisme sering dikaitkan dengan politik, seperti paham fundamentalisme Islam yang menafsirkan ormas lain sulit untuk membedakan satu dengan yang lainnya.
Gerakan-gerakan tersebut yang memiliki visi dan misi untuk merubah sistem dan ideologi negara. Hal ini dapat merusak eksistensi Indonesia sebagai negara yang plural dan multibudaya.
Dalam penelitian Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos yang berjudul “From Radicalism toward Terrorism” menjelaskan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia adalah gerakan yang mempunyai tujuan jelas mendirikan negara Islam di Indonesia. Di satu sisi ada juga Laskar Mujahiddin Indonesia atau Laskar Hizbah yang terdapat di Solo. Munculnya gerakan-gerakan tersebut menimbulkan sebuah kekhawatiran besar akan adanya peruntuhan sistem pemerintahan Indonesia.
Secara substansi gerakan radikalisme dan terorisme sangat membahayakan untuk masyarakat. Terkhusus masyarakat yang pemahaman Islamnya masih awam. Karena visi dan misinya dapat menyebabkan perubahan sudut pandang masyarakat Indonesia yang dapat menimbulkan tindakan kekerasan dan mengikis ideologi Pancasila. Pada dasarnya, gerakan-gerakan tersebut menawarkan pemahaman dan doktrin yang sesat lagi menyesatkan, tentunya keterlibatan para pendakwah yang terindikasi radikal sangat besar peranannya di sini.
Mengutip dari buku karya Nasr Abas yang berjudul “Melawan Pemikiran Aksi Bob Imam Samudra dan Noordin M. Top”, bahwa Imam Samudra dan Noorudin M. Top sebagai pelaku bom Bali mempunyai prinsip yang kuat tentang keinginannya memerangi umat kafir dan kelompok yang tak sepaham dengan mereka lewat cara apa pun. Pemikiran tersebut telah mengakar ke masyarakat, terutama yang baru akrab dengan agama. Doktrin tersebut sangat membahayakan karena menyimpang dari tuntunan syariat sebenarnya.
Imam Samudra, Noorudin M. Top dan Ali Imron adalah penggerak atas pengeboman di Bali dan telah sukses membuat masyarakat Indonesia menjadi geger. Al-Quran dan hadis menjadi sumber rujukan mereka, sehingga mereka percaya diri melakukan aksi pengeboman karena sesuai dengan rujukannya.
Banyak dalil-dalil al-Quran yang dijadikan rujukan oleh kelompok radikalisme dan terorisme. Salah satunya Q.S. al-Baqarah ayat 190-193:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kau melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas (190). Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir (191). Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (192). Dan perangilah mereka itu, hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim (193).”
Ayat di atas yang dijadikan dalil oleh Imam Samudra, Amrozi, Ali Imron dan Noordin M. Top. Kalimat “fitnah lebih bersar bahayanya dari pembunuhan” selalu menjadi legitimasi dan justifikasi bagi gerakan radikal dan teroris.
Oleh sebab itu, penulis menyimpulkan bahwa munculnya paham-paham radikal dan teroris disebabkan oleh ketidakbenaran atau kekeliruan dalam menfasirkan al-Quran. Dengan demikian, supaya tidak terjadi kekeliruan maka perlu penafsiran lebih mendalam agar mendapatkan ide atau pesan moral yang kontekstual lagi bijak.
Jika al-Quran dipaksa untuk mengamini gerakan radikal, kenapa tidak diarahkan untuk menciptakan perdamaian dan menyemai keindahan?
0 Comments