Saya tidak tahu sejak kapan kita menjadi begitu merasa perlu selalu serius. Bahkan dalam kesempatan apa pun. Tidak hanya saat duduk di depan meja belajar, saat sedang duduk santai di pantai pun demikian. Padahal Nabi saja pernah bercanda. Tidak hanya sekali, lho. Beliau tidak hanya tahu bagaimana dan kapan harus khusyu dan serius. Tetapi beliau juga dikenal luas sebagai pribadi yang humoris, suka tersenyum bahkan tertawa dan bercanda.
Ah, itu kan Nabi. Manusia sempurna! Tidak akan salah dalam bersikap. Apa pun pilihannya, pada akhirnya akan dituntun oleh wahyu.
Mungkin begitu pembelaan sebagian orang.
Bagaimana pun, tradisi bercanda dilestarikan oleh generasi awal Islam. Generasi yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini. Canda tawa yang diwariskan oleh Nabi, dipraktikkan oleh para sahabat; pun demikian, para tabiin bercanda dengan sesamanya berdasarkan pada apa yang mereka jumpai dari generasi bebelumnya.
Adalah asy-Sya‘bi merupakan salah satu tokoh tabiin besar yang sempat berguru langsung pada para sahabat senior, seperti ‘Aisyah, Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari,Sa’d ibn Abi Waqqash dan lain-lain. Murid-muridnya pun merupakan tokoh-tokoh terkenal di masanya, seperti Abu Hanifah, Makhul asy-Syami, Ibn Abi Laila, Hammad dan lain-lain.
Tidak hanya itu, sebagai sosok yang dibimbing dan membimbing orang-orang besar dan perpengaruh selama masa hidupnya, asy-Sya’bi memiliki reputasi luar biasa positif dari tokoh kenamaan lainnya, misalnya, Ibn ‘Uyainah dengan lantang menegaskan: “Ulamanya manusia itu ada tiga orang: Ibn ‘Abbas pada masanya, asy-Sya‘bi pada masanya dan ats-Tsauri pada masanya.”
Selain itu, Ibn Sirin juga pernah berpesan: “Bergurulah pada asy-Asya‘bi. Aku melihat dia sudah berfatwa meskipun para sahabat Nabi masih banyak.”
Namun, terlepas dari nama besar dan ketokohannya yang dijunjung tinggi sepanjang masa, tidak berarti bahwa dia selalu hidup dengan serius. Ada saat di mana dia bercanda bersama yang lain.
Disebutkan, pada suatu ketika seorang bertanya pada asy-Sya‘bi, “Siapakah nama istri Iblis?” Dengan enteng dia menjawab, “’Ursun maa syahidtuh.” Kira-kira kalau diterjemahkan ke dalam bahasa sekarang menjadi, “Dia nikah aja aku nggak hadir.”
Pernah juga suatu ketika seorang lelaki masuk ke dalam masjid guna mencari asy-Sya‘bi. Di dalam, asy-Sya‘bi sedang bersama seorang perempuan. Lelaki tersebut kemudian bertanya, “Siapakah dari kalian yang bernama asy-Sya‘bi?” Serta merta asy-Sya‘bi menjawab, “Dia.” Sambil menunjuk si perempuan.
Kisah yang tidak kalah gokil yang pernah terjadi pada seorang pemuka agama lainnya, yaitu Abu Hanifah, pendiri mazhab fikih Hanafi, yang sekaligus murid asy-Sya‘bi. Pada suatu ketika, seorang lelaki mendatangi Abu Hanifah untuk meminta fatwa, “Ketika aku sudah melepas baju dan berendam dalam sungai, ke manakah gerangan aku harus menghadap: ke arah kiblat atau ke tempat bajuku ditaruh?” Abu Hanifah menjawab, “Sebaiknya kamu menghadap ke arah di mana bajumu ditaruh. Biar tidak ada yang mencuri.”
Tidak jauh berbeda dengan yang dialami Abu Hanifah, al-Qadli Abu Yusuf, salah seorang murid Abu Hanifah yang paling terkenal pernah mengalami hal yang sama; suatu ketika dia bersama seorang lelaki yang hanya diam saja. Dia pun menegurnya, “Ayo ngomong.” Dia nyahut: “Kapan sih waktu berbuka bagi yang sedang puasa?” “Kalau matahari sudah terbenam.” Jawab Abu Yusuf. “Kalau ternyata mataharinya baru terbenam saat tengah malam?” Abu Yusuf hanya bisa tertawa sambil berujar, “Benar juga sih kalau kamu diam saja dari tadi. Salahku memintamu untuk berbicara.”
Begitulah, orang-orang besar saja masih menyempatkan diri untuk bercanda dengan sesama bahkan dalam konteks sedang membahas hal yang relatif penting. Lalu, kenapa kita harus selalu mengerutkan alis?
Seorang tokoh kenamaan, Zainuddin Mar‘i al-Maqdisi (w. 1033 H) sampai menulis sebuah karya khusus tentang canda yang berjudul, Ghizaaul arwaah bil Muhaadatsah wal Mizaah. Secara tegas dia pun mengatakan: “Pada intinya, canda yang sesuai dengan konteksnya tidak ada masalah.” Menyitir sebuah riwayat, dia bercerita, “Suatu ketika Sufyan ditanya orang, “Apakah bercanda itu jelek?” “Malah sunah. Suatu ketika Nabi bersabda, ”Aku hanya bercanda. Tapi bisa dipastikan candaanku benar.” Jawab Sufyan.
Memang semua harus sesuai konteks. Jangan serius terus. Tapi juga jangan bercanda terus. Bila harus serius, seriuslah. Bila harus bercanda, bercandalah. Dalam kehidupan nyata, kita seperti lupa akan hal ini. Contohnya saja, menyelipkan humor saat diskusi soal agama dikira menista. Menghangatkan suasana dengan candaan ringan saat diskusi tentang pembangunan jembatan dinilai menghina.
Zainuddin al-Maqdisi mengatakan, ada saat di mana bercanda justru dianjurkan. Yaitu saat sebuah candaan dimaksudkan sebagai salah satu bentuk dari pergaulan yang baik terhadap orang lain, rendah hati terhadap sesama, menciptakan suasana menyenangkan dan lain-lain; tanpa ada unsur merendahkan, menjatuhkan dan sebagainya.
Ya, karena hidup akan terlalu singkat bila hanya dijalani dengan selalu mengerutkan alis. Padahal, konon, selalu mengerutkan alis berimbas pada proses penuaan dini, lho.
Write a comment *
keren. 👍
Berrek kawan. Kin pergeseran alis mulai menuai kontraversi. Apalagi sampai main alis 🙂